Keimanan Berkaitan
dengan Hujan
Ada beberapa hal keimanan yang mesti diimani seorang
muslim berkaitan dengan hujan, yaitu:
Pertama: Tidak ada yang mampu menurunkan hujan melainkan
Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا
يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ
فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa saja
yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun
yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak
seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Sebagian ulama seperti penulis tafsir Al
Jalalain mengatakan bahwa rahmat yang dimaksudkan di sini adalah rizki dan hujan.[1]
Al Qurthubi
mengatakan bahwa sebagian ulama menafsirkan rahmat dalam ayat di atas dengan
hujan atau rizki. Mereka mengatakan, “Hujan atau rizki yang Allah datangkan
pada mereka, tidak ada satu pun yang dapat menahannya. Jika Allah menahannya
untuk turun, maka tidak ada seorang pun yang dapat menurunkan hujan tersebut.”
Ada pula
ulama yang memaksudkan rahmat di sini dengan diutusnya rasul karena rasul
adalah rahmat untuk manusia. Ada pula ulama yang menafsirkan rahmat dengan
do’a, taubat, taufik dan hidayah. Namun yang lebih tepat, makna rahmat di sini
adalah umum mencakup segala apa yang dimaksudkan oleh para ulama tadi. Jadi
makna rahmat adalah hujan, rizki, do’a, taubat, taufik dan hidayah.[2]
Kedua:
Diturunkannya hujan termasuk kunci ilmu ghoib dan hanya Allah yang tahu kapan
turunnya
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ
عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ
تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ
لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللَّهُ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِى غَدٍ ، وَلاَ
يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِى الأَرْحَامِ ، وَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا ، وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ، وَمَا يَدْرِى
أَحَدٌ مَتَى يَجِىءُ الْمَطَرُ
“Kunci ilmu
ghoib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. [1] Tidak
ada seorang pun yang mengetahui apa yangg terjadi keesokan harinya. [2] Tidak
ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi dalam rahim. [3] Tidak ada satu
jiwa pun yang mengetahui apa yang ia lakukan besok. [4] Tidak ada satu jiwa pun
yang mengetahui di manakah ia akan mati. [5] Tidak ada seorang pun yang
mengetahui kapan turunnya hujan.”[3]
Inilah lima
hal yang disebut dengan mafatihul ghoib (kunci ilmu ghoib). Dan di antara kunci
ilmu ghoib adalah diturunkannya hujan.
Qotadah
mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapankah diturunkannya
hujan, malam ataukah siang hari.”[4]
Ketiga:
Ada Malaikat yang bertugas menurunkan hujan
Dalam Al
Mu’jam Al Kabir, Imam Ath Thobroni meriwayatkan tentang percakapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan malaikat Jibril, di antaranya,
قُلْتُ: عَلَى أَيِّ شَيْءٍ
مِيكَائِيلُ؟ قَالَ: عَلَى النَّبَاتِ وَالْقَطْرِ
“Aku
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya, “Tentang apakah Mikail itu
ditugaskan? Ia (yaitu Jibril) menjawab, “Ia ditugaskan mengurus tanaman dan
hujan.”
Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin
‘Abdirrahman bin Abi Laila. Ia telah didho’ifkan (dilemahkan) karena jeleknya
hafalan, namun ia tidak ditinggalkan.[5] Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits
ini ghorib dari sisi ini.[6]
Ibnu Katsir
menjelaskan, “Mikail ditugaskan untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan yang
darinya berbagai rizki diciptakan di alam ini. Mikail memiliki beberapa
pembantu. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka melalui
Mikail berdasarkan perintah dari Allah. Mereka mengatur angin dan awan,
sebagaimana yang dikehendaki oleh Rabb yang Maha Mulia. Sebagaimana pula telah kami riwayatkan bahwa
tidak ada satu tetes pun air yang turun dari langit melainkan Mikail bersama
malaikat lainnya menurunkannya di tempat tertentu di muka bumi ini.”[7]
Keempat:
Turunnya hujan telah ditulis di Lauhul Mahfuzh[8]
Kejadian
apa saja yang terjadi di muka bumi ini telah diketahui, tercatat dalam Lauhul
Mahfuzh sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi dan telah
ditakdirkan oleh Allah. Termasuk dalam hal ini adalah diturunkannya hujan,
kapan terjadinya, di mana diturunkan, berapa intensitasnya dan bagaimana dampak
dari hujan tersebut.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ
“Allah
telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.”[9]
Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ
اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ. قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ
اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya
yang pertama kali Allah ciptakan adalah qolam. Lalu Allah firmankan padanya,
‘Tulislah’. Qolam mengatakan, “Apa yang akan aku tulis?’ Allah berfirman,
’Tulislah berbagai takdir dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari
kiamat’. ”[10]
Berkaitan
dengan qadha’ Allah terhadap segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya,
Allah berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ
حَكِيمٍ
“Pada malam
itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 4). Malam yang
dimaksudkan di sini adalah malam Lailatul Qadar sebagaimana pendapat mayoritas
ulama tafsir.[11]
Asy
Syaukani menyebutkan sebagaimana dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr, Ibnul
Mundzir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat di atas, “Pada
malam lailatul qadar segala sesuatu dicatat dalam Ummul Kitab (yang ada di
Lauhul Mahfuzh) berupa rizki, kematian, kehidupan, hujan, sampai orang yang
berhaji yaitu si fulan akan berhaji dan si fulan akan berhaji.”[12]
Kelima:
Ucapan istighfar dapat menyebabkan turunnya hujan
Allah
Ta’ala berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا
رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10)
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11)
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ
لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku
katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Terdapat
sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah sebagai berikut.
أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ
الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ
اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة
Sesungguhnya
seseorang mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu
Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan
menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya).
Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian
orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki
anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada
Allah”.
Kemudian
setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas.[13]
Maksud
surat Nuh di atas sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Jika kalian meminta
ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan
mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian
akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman,
dilimpahkannya air susu, serta akan dilapangkan pula harta dan anak, yaitu
kalian akan diberi anak dan keturunan. Di samping itu, Allah juga akan
memberikan kepada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di
tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.”[14]
Keenam:
Suara geledek adalah malaikat yang membawa api
Ada tiga
istilah untuk kilatan petir dan geledek yaitu ar ro’du, ash showa’iq dan al
barq. Ar ro’du adalah istilah untuk suara petir atau geledek. Sedangkan ash
showa’iq dan al barq adalah istilah untuk kilatan petir, yaitu cahaya yang
muncul beberapa saat sebelum adanya suara petir.[15]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar ro’du, lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ
مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ
شَاءَ اللَّهُ
”Ar ro’du
adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari
api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.”[16]
Disebutkan
dalam Makarimil Akhlaq milik Al Khoro-ithi, ’Ali pernah ditanya mengenai ar
ro’du. Beliau menjawab, ”Ar ro’du adalah malaikat. Beliau ditanya pula mengenai
al barq. Beliau menjawab, ”Al barq (kilatan petir) itu adalah pengoyak di
tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga,” Al barq itu adalah pengoyak
dari besi di tangannya”.”
Kemudian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan lagi, ”Ar ro’du adalah mashdar (kata
kerja yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti
gemuruh, pen). … Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang
menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan dari satu tempat ke tempat
lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di atas (langit, pen) maupun
di bawah (bumi, pen) adalah dari
malaikat. Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi,
lidah, dan dan tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya,
bisa mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena
itu, ar ro’du (suara gemuruh) adalah
suara yang membentak awan. Dan al barq (kilatan petir) adalah kilauan air atau
kilauan cahaya. … ”[17]
Ketujuh:
Kewajiban zakat yang tidak ditunaikan dapat menghalangi turunnya hujan
Jika suatu
kaum yang sudah memiliki kewajiban mengeluarkan zakat enggan mengeluarkan
zakat, itu bisa menjadi sebab terhalangnya turunnya hujan.
Dari Ibnu
‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمْ يَمْنَعْ قَوْمٌ زَكَاةَ
أَمْوَالِهِمْ إِلا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ , وَلَوْلا الْبَهَائِمُ
لَمْ يُمْطَرُوا.
“Jika suatu
kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, maka mereka akan
dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang
ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.”[18]
Dari
Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَضَ قَوْمٌ العَهْدَ
قَطٌّ إِلاَّ كَانَ القَتْلُ بَيْنَهُمْ وَمَا ظَهَرَتْ فَاحِشَةً فِي قَوْمٍ
قَطٌّ إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِمْ المَوْتَ وَلاَ مَنَعَ
قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلاَّ حَبَسَ اللهُ عَنْهُمْ القَطْرَ
“Tidaklah
suatu kaum mengingkari janji mereka melainkan akan ada pembunuhan di
tengah-tengah mereka. Tidaklah tampak perbuatan keji di tengah-tengah suatu
kaum melainkan Allah akan kuasakan kematian pada mereka. Dan tidaklah suatu
kaum enggan mengeluarkan zakat melainkan Allah akan menahan hujan untuk
mereka.”[19]
Asy
Syaukani menjelaskan faedah hadits yang serupa dengan hadits di atas:
Enggan
menunaikan zakat menjadi sebab tidak diturunkannya hujan dari langit.
Jika hujan
itu diturunkan padahal maksiat merajalela, maka itu hanya karena rahmat Allah
Ta’ala pada binatang ternak.[20]
Hal ini
menunjukkan bahwa dengan seseorang menunaikan zakat, berarti ia telah
memakmurkan bumi Allah.
Semoga kita
bisa mengimani beberapa bentuk keimanan yang berkaitan dengan hujan ini dengan
keimanan yang benar, mantap dan kokoh.
Hanya Allah
yang memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
[1] Lihat Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Muhammad bin
Ahmad Al Muhalla dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, hal. 434,
Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[2] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al
Qurtubhi), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al Qurthubi, 17/344,
Muassasah Ar Risalah.
[3] HR.Bukhari no. 1039, dari Ibnu ‘Umar.
[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 11/86,
Muassasah Qurthubah.
[5] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 6/307,
Darul Ma’rifah.
[6] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/48, Mawqi’
Ya’sub
[7] Al Bidayah wan Nihayah, 1/50.
[8] Lauhul Mahfuzh adalah kitab Allah di mana Allah
mencatat setiap takdir makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut Al
Kitab, Al Kitabul Mubiin, Al Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Al Kitab Al
Masthur.
[9] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash.
[10] HR. Abu Daud (4700), dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit.
Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi (2156) dalam Al Qodr dan (3316) dalam at tafsir
dan selainnya. Ini adalah hadits shohih. Hadits ini dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud no. 4700 dan Sunan wa
Dho’if Sunan At Tirmidzi no. 2155.
[11] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 6/422, Mawqi’ At
Tafasir.
[12] Fathul Qodir, 6/425.
[13] Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di
Fathul Bari, 11/98, Darul Ma’rifah.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim Ibnu Katsir, 14/140,
Muassasah Qurthubah.
[15] Lihat penjelasan para ulama selanjutnya. Mengenai
makna istilah ar ro’du dan ash showa’iq, silakan lihat Rosysyul Barod Syarh Al
Adab Al Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, hal. 381, Dar Ad Da’i, cetakan
pertama, Jumadil Ula, 1426 H.
[16] HR. Tirmidzi no. 3117. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/263-264.
[18] HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir (13619).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami no.
5204.
[19] Lihat Ash Shahihah no. 107. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[20] Nailul Author, Asy Syaukani, 4/26.
https://rumaysho.com/811-iman-hujan.html
0 komentar:
Posting Komentar