Muharram Bukan Bulan yang Sial
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Saat ini kita berada di penghujung bulan Dzulhijjah,
bulan terakhir di dalam urutan bulan kalender hijriyah atau kalender Islam.
Sebentar lagi kita memasuki tahun 1437 H, yang dibuka dengan bulan Muharram.
Bulan yang disebut juga dengan nama bulan Sura. Belum ada hasil penelitian yang
final dan disepakati oleh para ahli sejarah Islam mengapa orang Islam di
wilayah Nusantara (Asia Tenggara) terutama bangsa Jawa lebih suka menyebut nama
bulan Muharram dengan nama bulan Sura. Salah satu teori yang agak masuk akal
adalah karena pada bulan Muharram ini pernah terjadi peristiwa besar di dalam
sejarah Islam. Yaitu peristiwa Asyura.
Ada dua peristiwa di hari Asyura (10 Muharram) di dalam
Islam, pertama hari yang diyakini hari kebebasan Musa dari kejaran Fira’un, dan
kita disunahkan berpuasa pada tanggal itu. Yang kedua adalah peristiwa gugurnya
Husein bin Ali, cucu Rasulullah di tanah Karbala.
Asyura yang manakah yang dijadikan rujukan orang Jawa.
Dari cara memperlakukan bulan muharram tampaknya peristiwa kedualah yang
dijadikan rujukan. Mengapa demikian, karena orang Jawa cenderung menganggap
bulan Sura sebagai bulan yang sial bukan bulan yang menggembirakan sebagaimana
peristiwa pertama.
Yang jelas, di dalam mantra-mantra tradisional Jawa yang
berbau Islam, banyak tersirat ritual yang memuliakan Fatimah (yang di Jawa
disebut Dewi Pertimah yang disejajarkan dengan Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi).
Ali bin Thalib yang disebut Baginda Ngali, Hasan, Husein, maupun Muhammad
Hanafiah. Mirip dengan kepercayaan kaum Syi’ah. Mereka juga sangat membenci
Yazid yang disebut Raja Yazid Kang Duraka. Walau begitu mereka menghormati Abu
Bakar, Umar, dan Usman juga Muawiyah.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Terkait atau tidaknya peristiwa Asyura dengan penamaan
bulan Muharram dengan istilah bulan Sura oleh masyarakat Islam di wilayah
Nusantara. Masyarakat di sini cenderung mengeramatkan bulan pertama di dalam
kalender Islam ini. Bahkan ada pula yang menyatakan kalau bulan muharram
sebagai bulan yang sial. Bulan yang tidak cocok untuk melakukan apa pun.
Terutama untuk melakukan pernikahan, membangun rumah, pindah tempat tinggal,
ataupun bepergian.
Menurut yang percaya pada mitos ini, bulan Muharram
dianggap sebagai bulan yang dikhususkan untuk para makhluk halus
menyelenggarakan perayaan pernikahan.
Terkait dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Janganlah
kalian menamakan ‘inab (anggur) sebagai karam (kemuliaan), dan janganlah kalian
mengatakan alangkah sialnya masa (waktu) karena sesungguhnya Allah adalah
(pencipta) masa.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Hadits lain juga dijelaskan:
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Allah
Azza wa Jalla berfirman: Anak Adam telah menyakiti-Ku dia suka mencela masa.
Padahal Aku adalah (pencipta) masa. Akulah yang menggilir siang dan malam.” (HR
Muslim)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Kalau kita mau membuka sejarah, maka kita akan tahu kalau
banyak peristiwa penting yang menggembirakan juga pernah terjadi di bulan
Muharram. Di antaranya terbelahnya laut merah saat Nabi Musa mau menyeberang
sehingga Musa dan kaumnya yang setia selamat dari kejaran Raja Fir’aun.
Peristiwa ini terjadi di bulan Muharram. Ini berarti
menunjukkan kalau rahmat Allah sangat besar bagi hamba-Nya, khususnya bagi
mereka yang tertindas justru terlimpah di bulan Muharram.
Perang Khaibar juga terjadi di bulan Muharram. Perang
yang terjadi di tahun ketujuh hijriyah ini menandai penumpasan total kaum
Yahudi yang suka bikin kekacauan dan perpecahan di kota Madinah.
Maka sungguh tidak tepat menganggap Muharram sebagai
bulan sial. Semua bulan dan hari adalah sama saja. Tidak ada yang boleh disebut
hari baik baik atau hari sial. Bulan baik atau bulan sial. Termasuk bulan
Zulhijjah, bulan terbunuhnya dua khalifah, Umar dan Usman. Apalagi bulan
Muharram. Bulan pertama di kalender Islam.
https://www.suaramuhammadiyah.id
0 komentar:
Posting Komentar