Empat Kekeliruan
Menyambut Muharam
Kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw di bulan Muharam. Apa hukum perayaan
bulan Muharam?
Assalamu’alaikum. Ustad, biasanya setiap Muharram di
berbagai tempat diperingati perayaan. Ada yang mengadakan pengajian atau
menggelar serangkaian acara. Bahkan di beberapa tempat, kaum Syiah menggelar
peringatan peristiwa Karbala.
Sebebarnya, bagaimana sikap Islam dalam menyambut bulan
Muharram in?
Sekian, terima kasih. [Ahmad-Surabaya]
***
Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Bulan Muharam adalah bulan yang muliah. Namun demikian,
tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya. Bahkan lebih banyak
salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah
Bulan Muharam.
Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu
dikarenakan beberapa hal:
1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu
bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia,
seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “
Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa
bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan
yang lain.
2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang
dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya
terdapat empat bulan haram.” (Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya
semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas
bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan
berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang
terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah,
sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin
Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi
Muhammad saw.
Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa
Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya
untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada
bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas.
Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan kaum Muslimin untuk
melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan
puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa satu
bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa
paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “( HR Muslim )
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah saw
menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan,
padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan
bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya : Para ulama memberikan beberapa alasan,
diantaranya bahwa Rasulullah saw belum mengetahui keutamaan bulan Muharram
kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk
berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang menghalangi
beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan
perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.
Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas
adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan.
Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila
dilihat dari sisi hari.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.
Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.
(HR. Muslim)
Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’
Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram.
Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana yang tersebut di dalam
hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya :
“Hari apa ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari
ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa
berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : “Aku lebih berhak terhadap
Musa daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk
berpuasa.”(HR Bukhari dan Muslim)
Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura ? Menurut
keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa
dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau
berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan
11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir
ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang
Yahudi.
Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra,
bahwasanya ia berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan
memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah
ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah pun
bersabda :”Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan
berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).
Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah
saw. bersabda : “Puasalah pada hari Asyura’, dan berbuatlah sesuatu yang
berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau
sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat Ibnu Abbas
lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“
Apa keutamaan puasa pada hari Asyura’ ini ? Keutamaannya
adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas pada hari Asyura’ tersebut,
niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang telah dikerjakan selama satu
tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Qatadah ra,
bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang
puasa ‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt
agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )
Dosa-dosa yang dihapus disini adalah dosa-dosa kecil
saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim harus bertaubat dengan taubat
nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.
Adapun hikmah puasa Asyura’ adalah sebagai bentuk
kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan pengikutnya serta tenggelamnya
Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Ibnu Abbas
di atas.
Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram
Di dalam menghadapi Tahun Baru Hijriyah, sebagian kaum
Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut bisa dihindarkan dari kita.
Diantara kekeliruan tersebut adalah :
1. Menjadikan tanggal 1 bulan Muharram sebagai hari raya
kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan cara saling berkunjung satu dengan
yang lainnya, atau saling memberikan hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan
sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan doa’-do’a khusus pada malam
tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul
Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra,
bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu itu
penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya: Dua
hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah
merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya
Allah swt telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul
Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai )
Begitu juga, merayakan tahun baru adalah kebiasaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menjauhi
dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Musa Al
Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan
Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian
pada hari Asyura.”
2. Menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung,
sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi
kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail
Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa hari berkabung
nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama
bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul
tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet
badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang
lain melukai badan mereka dengan rantai.
3. Menjadikan malam 1 Muharram untuk memburu berkah
dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan
pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang
menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah
di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik
dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus. [www.hidayatullah.com]
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis
Akbar
0 komentar:
Posting Komentar