Hukum Jual Kulit
Hewan Kurban
Sebagian masyarakat Indonesia belakangan ini banyak yang
menjual kulit dan kepala hewan kurban. Motifnya beraneka ragam. Ada yang karena
berada di daerah dengan tingkat kemampuan perekonomian tinggi sehingga jumlah
hewan kurban di daerahnya sangat banyak. Karena saking banyaknya daging, mereka
tidak punya banyak waktu untuk mengurus kulit dan kepala hewan kurban.
Atau mungkin ada sebagian yang mempunyai motif ingin
menghemat biaya operasional sehingga kulit dan kepala dijual untuk kemudian
hasil penjualannya selain dibuat untuk biaya operasional, juga bisa dibuat
membayar tukang jagal.
Imam Nawawi mengatakan, berbagai macam teks redaksional
dalam madzhab Syafi'i menyatakan bahwa menjual hewan kurban yang meliputi
daging, kulit, tanduk, dan rambut, semunya dilarang. Begitu pula menjadikannya
sebagai upah para penjagal.
واتفقت
نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد
والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي
والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك
Artinya, “Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi'i dan
para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu)
haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik
berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.
Dan juga dilarang menjadikan kulit dan sebagainya itu
untuk upah bagi tukang jagal. Akan tetapi (yang diperbolehkan) adalah seorang
yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh
mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air
atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya. (Lihat Imam Nawawi,
Al-Majmu', Maktabah Al-Irsyad, juz 8, halaman 397).
Menyikapi hal ini, panitia bisa memotong-motong kulit
tersebut lalu dicampur dengan daging sehingga semuanya terdistribusikan kepada
masyarakat. Bagi orang yang kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk
konsumsi lebih.
Bukan tanpa risiko, akibat dari menjual kulit dan kepala
hewan sebagaimana yang berlaku, bisa menjadikan kurban tersebut tidak sah.
Artinya, hewan yang disembelih pada hari raya kurban hanya menjadi sembelihan
biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana
sabda Rasulullah SAW.
من باع
جلد أضحيته فلا أضحية له) أي لا يحصل له الثواب الموعود للمضحي على أضحيته
Artinya,
“Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya.
Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban
atas pengorbanannya,” (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah,
juz 6, halaman 121).
Apabila
sudah terlanjur, karena jual belinya tidak sah, maka perlu ditelaah lebih
lanjut. Apabila pembeli adalah orang yang sebenarnya tidak berhak menerima
kurban, pembeli seperti ini harus mengembalikan lagi daging yang telah ia beli,
uang juga ditarik. Jika terlanjur dimakan, ia harus membelikan daging pengganti
untuk kemudian dikembalikan.
Sedangkan jika yang membeli adalah orang yang
sebenarnya berhak, ia cukup dikembalikan uangnya dan daging yang ia terima
merupakan daging sedekah.
Sebagaimana
orang yang berkurban, begitu pula penerima daging kurban juga tidak boleh
menjual kembali daging yang telah ia terima apabila penerima ini adalah orang
yang termasuk kategori kaya. Orang kaya mempunyai kedudukan sama dengan orang
yang berqurban karena ia sama-sama mendapat tuntutan untuk berkurban.
Oleh karena
ia sama kedudukannya, walaupun yang ia terima sudah berupa daging, ia tidak
boleh menjualnya kembali kepada orang lain. Ia hanya boleh mengonsumsi atau
membagikan kembali kepada orang lain.
Berbeda
dengan orang miskin. Sebab ia tidak mendapat tuntutan sebagaimana orang kaya,
jika ia mendapat daging kurban, boleh menjual kepada orang lain. Keterangan ini
diungkapkan oleh Habib Abdurrahman Ba'alawi sebagai berikut.
وللفقير التصرف في المأخوذ
ولو بنحو بيع الْمُسْلَمِ لملكه ما يعطاه، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له
التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه،
قاله في التحفة والنهاية
Artinya,
“Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima
meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi
miliknya atas barang yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh
melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang
telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, sedekah, sajian tamu
meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai
posisi seperti orang yang berqurban pada dirinya sendiri. Demikianlah yang
dikatakan dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah. (Lihat Bughyatul Mustarsyidin,
Darul Fikr, halaman 423).
Kesimpulan
dari penjelasan di atas, hewan kurban yang meliputi daging, kulit dan tanduk
semuanya tidak diperbolehkan untuk dijual. Apabila dijual, orang yang berkurban
tidak mendapatkan pahalanya. Sedangkan penerima daging juga tidak boleh menjual
daging atau kulit yang ia terima kecuali penerima tersebut merupakan orang
fakir.
Adapun
masalah operasional panitia, jika mengambil jalan paling selamat tanpa 'hilah'
transaksional adalah dengan cara bagi siapa saja yang ingin berkurban melalui
panitia, diwajibkan menyerahkan sejumlah uang untuk biaya operasional termasuk
membayar tukang jagal, biaya plastik dan sebagainya.
Tukang
jagal juga berhak menerima qurban sebagaimana biasa, namun bukan atas nama
mereka sebagai tukang jagal, tetapi sebagai mustahiq. Jadi jika atas nama
mustahiq, sudah semestinya ia mendapatkan jatah sebagaimana lazimnya, tidak
lebih.
Daging yang diberikan atas nama mustahiq ini
diterimakan setelah mereka para penjagal sudah menerima upah jagal. Ini jalan
yang paling hati-hati. Wallahu a'lam. (Ahmad Mundzir)
Sumber: https://islam.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar