ORANG TUA BERTANGGUNG JAWAB
Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta
utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai
pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang
anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tiada
seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan
Muslim][1]
Hadits ini
menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada
asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian
datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola
mereka.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Setiap
engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin
adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang
menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam
keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi
tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam
rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi
tanggung jawab pemeliharaannya. [HR. al-Bukhâri][2]
Maka orang
tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya
setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan
anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi
yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua
tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang
secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya
untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya
salah langkah.
Berikut
adalah beberapa kiat membentuk pribadi anak yang benar serta kiat melaksanakan
pendidikan anak.
TANGGUNG
JAWAB PENDIDIKAN
Jika
dikembalikan kepada tujuan diciptakannya manusia, yaitu hanya untuk beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla saja. Maka peran orang tua menjadi sangat besar
untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah Azza wa Jalla yang
shaleh, yang hanya beribadah kepada-Nya saja. Merupakan dosa besar jika orang
tua tidak sungguh-sungguh mengarahkan anak-anaknya menuju peribadatan yang
menjadi tujuan diciptakannya manusia.
Dalam hal
ini keteladanan para nabi ‘alaihimush shalâtu was salâm harus di ikuti. Sebagai
contoh, Allah Azza wa Jalla menceritakan perhatian Nabi Ya’kub Alaihissallam
terhadap anak-anaknya. Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan beliau kepada
anak-anaknya saat beliau menjelang wafat:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ
حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي
قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu
hadir ketika Ya’kûb kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya:”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab:”Kami akan
menyembah Sesembahan-mu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma’il, dan
Ishâk, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk
kepada-Nya”. [al-Baqarah/2:133]
Meskipun
ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab
bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan Ya’kûb adalah orang-orang yang beragama
Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi
tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka
selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Imam
ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Tafsir ayat tersebut
ialah: ‘Wahai orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang mendustakan
kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Apakah kalian hadir dan
menyaksikan keadaan Ya’kûb pada saat menjelang wafatnya?’ Maksudnya; kalian
saat itu tidak hadir. Oleh karenanya kalian jangan mengaku-aku secara bathil
bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul-Ku beragama Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya
Aku telah mengutus khalîl-Ku (kekasihku) Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ’îl dan anak
keturunannya untuk membawa risalah Islam yang lurus. Dengan risalah inilah
mereka memberikan wasiat dan memerintahkan kepada anak keturunannya agar mereka
mengikutinya. Seandainya kalian hadir pada saat kematian mereka, tentu kalian
mendengar dari mereka bahwa mereka tidak berada dalam agama yang kalian
anggap”.[3]
Begitu juga
perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Allah Azza wa
Jalla berfirman :
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ
وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ
Dan
(ingatlah) ketika Lukmân berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah Azza wa Jalla ,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah Azza wa Jalla ) adalah benar-benar
kezhaliman (ketidak adilan) yang besar”.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami
perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan Aku, hal yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, kemudian akan
Ku-beritakan kepadamu kelak apa yang telah kamu kerjakan.
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ
تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي
السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ
خَبِيرٌ
(Lukmân
berkata):”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
Azza wa Jalla akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus
lagi Maha mengetahui.
يَا بُنَيَّ أَقِمِ
الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ
مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah Azza wa Jalla )
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ
مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Dan
janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31:13-19]
Demikianlah
pelajaran penting dari Luqmân kepada anaknya yang termuat dalam Surah Luqman,
ayat 13-19. Intisari dari pelajaran Luqmân tersebut adalah pendidikan penting
bagi masa depan anaknya, terutama masa depan ukhrawi.
Secara
ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Disyari’atkannya agar orang tua memberikan pendidikan dan wasiat kepada
anak-anaknya tentang apa yang dapat memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.
2. Wasiat itu
harus dimulai dari persoalan tauhid dan peringatan dari syirik, karena syirik
merupakan kezhaliman serta ketidak-adilan yang akan menghapuskan amal.
3. Kemudian
tentang wajibnya bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla , bersyukur
(berterimakasih) kepada kedua orang tua, dan tentang wajibnya berbuat kebaikan
kepada kedua orang tua.
4.
Selanjutnya tentang tidak boleh taat kepada siapapun jika perintahnya merupakan
kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla . Ketaatan hanyalah dalam hal yang tidak
maksiat.
5. Tentang
wajibnya mengikuti jalan kaum Mu’minin yang bertauhid, serta haramnya mengikuti
jalan para ahli bid’ah.
6. Wajibnya
merasa selalu diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , baik dalam keadaan tertutup
atau terbuka. Dan tidak boleh meremehkan urusan kebaikan atau keburukan
meskipun kecil atau sedikit.
7. Wajibnya
mendirikan shalat secara benar sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya, dan
harus thuma’nînah di dalamnya.
8. Wajibnya
melaksanakan amar ma’ruf – nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan.
9. Tentang
keharusan bersabar dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan amar ma’ruf –
nahi mungkar.
10. Tentang
haramnya sombong dan haramnya congkak ketika berjalan.
11. Tentang
sikap sederhana dan sedang ketika berjalan, tidak lamban dan tidak terlalu
cepat.
12. Dan
juga tentang tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, sebab bersuara keras
di luar kebutuhan merupakan kebiasaan keledai.[4]
Sesungguhnya,
upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang beribadah hanya kepada Allah Azza
wa Jalla dan meninggalkan serta membenci kemusyrikan, akan dapat dilakukan
melalui proses tarbiyah (pendidikan). “Tarbiyah merupakan salah satu segi
kehidupan manusia yang terpenting”.[5]
Murabbi
atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu
baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam
semesta. Selanjutnya yang paling berhak untuk diikuti tarbiyahnya sesudah Allah
Azza wa Jalla adalah para Rasul; orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Azza
wa Jalla dan telah ditarbiyah langsung oleh-Nya dengan Kitab dan Hikmah,
sebagaimana telah ditarbiyah langsung dengan segala ni’mat dan karunia-Nya.
Kemudian, tarbiyah yang berhak diikuti sesudahnya lagi adalah tarbiyah para
pewaris nabi; orang yang yang mendapatkan tarbiyah langsung dari tangan para
nabi dan dibina dengan makanan ilmu serta akhlak para nabi. Sesudah itu
berlangsunglah secara bersambung pola tarbiyah ini pada generasi berikut yang
diambil dari generasi sebelumnya. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola
tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling
banyak ittiba’ terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun
da’wahnya.[6]
Lebih
jelasnya, tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk
pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus
bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi
sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum,
dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk
(huda) Allah Azza wa Jalla .
Sementara
itu, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan makna mengikuti
petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla yang dapat menghasilkan kebahagiaan,
hilangnya rasa takut di akhirat dan hilangnya kesedihan (karena tidak mengalami
bencana di akhirat-pen.) ialah;
Pertama:
Meyakini segala berita yang datang Allah Azza wa Jalla tanpa terkendala oleh
sesuatu syubhatpun yang dapat mengotori keyakinannya.
Kedua:
Melaksanakan segala perintah-Nya tanpa terkendala oleh sesuatu syahwatpun
hingga dapat menghalangi pelaksanaan perintah.
Pada dua
hal inilah keimanan berporos, yaitu meyakini berita dan mentaati perintah. Dua
hal ini diikuti oleh dua hal lain, yaitu: Mengenyahkan syubhat-syubhat batil
yang menyusup serta menghambat utuhnya keyakinan, dan mengenyahkan
syahwat-syahwat menyimpang yang menghambat utuhnya pengamalan terhadap
perintah”[7]
Bahaya
Syubhat dan Syahwat:
Sesungguhnya
di kehidupan dunia ini terdapat dua bahaya yang besar, yaitu:
1. Bahaya
syubhat. Yaitu bahaya yang akan merusak dan merubah keyakinan, dari yang benar
menjadi menyimpang.
2. Bahaya
syahwat. Yaitu bahaya yang akan merusak kepribadian dan ketaatan terhadap
perintah agama.
Dalam
pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua bahaya besar ini. Oleh
karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua bahaya ini. Bahaya yang
akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak, hingga menjerumuskannya
dalam bid’ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya syubhat. Sedangkan
bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta ketaatannya hingga
menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak teguhan dalam
menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat.
Bahaya
syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar dan baik. Sehingga,
orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya adalah
menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga pendidikan yang
bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan
filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan lingkungan pergaulan
yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat terhadap buku-buku yang
dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya adalah buku-buku yang membawa
penyimpangan pemikiran atau kesesatan.
Sedangkan
bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara kontinyu menuju
pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan pergaulan yang baik;
memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya terhadap kemaksiatan dan
pelanggaran syari’at; serta ketat dalam memberikan keteladanan yang baik dan
senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya kemaksiatan, penyimpangan serta
pelanggaran syar’i pada diri anak. Di samping itu orang tua juga harus
memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan anak.
Imam Ibnu
al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini, yaitu syubhat dan syahwat,
merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan kesengsaraannya di dunia maupun
di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama, yaitu meyakini segala berita
dari Allah Azza wa Jalla dan mentaati perintah-Nya, merupakan pangkal
kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun di akhirat.[8]
Tashfiyah
Dan Tarbiyah:
Pada
intinya, supaya peran orang tua dalam mengelola anak-anaknya bisa berjalan
secara optimal, harus dipenuhi dua hal penting:
1.
Tashfiyah, yaitu membersihkan pemahaman, pemikiran serta keyakinannya dari
segala hal yang merusak. Sehingga aqidah, pemahaman serta manhajnya dalam beragama
jadi lurus. Hal ini dilakukan dengan memberikan ilmu dan pengajaran ilmiah yang
lurus.
2.
Tarbiyah, yaitu membimbing, membina, membiasakan dan memberikan keteladanan
agar anak terbiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla serta
meninggalkan segala kemaksiatan.
Dalam hal
ini Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Yang demikian itu karena
manusia memiliki dua potensi;
1. Potensi
daya tangkap dan daya selidik beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya
berupa kekuatan ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara.
2. Potensi
kehendak dan kesukaan beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa
niat, tekad dan (semangat) berbuat.
Syubhat
akan berpengaruh bagi rusak (menyimpang)nya potensi ilmiah dan pemahamannya,
selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan menyingkirkan syubhat itu.
Sedangkan syahwat akan berpengaruh bagi potensi rusak (menyeleweng)nya kehendak
beramal, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan mengenyahkan syubhat
itu.[9]
Ini pula
tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendidik umat sesuai
dengan perintah Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[Ali Imrân/3:164]
Itu pula
keharusan bagi setiap da’i dan pendidik termasuk ayah bunda.
Tazkiyah
(pembersihan jiwa) tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa adanya tarbiyah.
Sedangkan Ta’lîm (pengajaran ilmu) tidak akan bisa sempurna tanpa adanya
tashfiyah. Karena keduanya saling berkaitan erat dan tidak bisa
dipisah-pisahkan [10].
Seseorang
menjadi bersih jiwanya jika mengamalkan semua ketentuan syari’at Allah Azza wa
Jalla yang meliputi aqidah, ibadah hingga mu’âmalah. Tanpa itu, bagaimana
mungkin seseorang akan bersih jiwanya. Tetapi semua itu tidak akan terwujud
kecuali dengan tarbiyah dan keteladanan yang benar.
Sementara,
ilmu dan pemahaman seseorang akan lurus dan benar jika pengajaran ilmiah
kepadanya dilakukan dengan benar berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah sesuai
pemahaman para Salafush-Shalih, melalui tangan-tangan atau sumber-sumber
pengajaran yang benar pula.
Apabila
seseorang mempelajari Islam melalui tangan ahli bid’ah, orang-orang menyimpang,
orang-orang Barat kafir, atau sumber-sumber lain yang salah pemahamannya
terhadap Islam, tentu hasilnyapun adalah ilmu serta pemahaman yang menyimpang
dan sesat. Itulah pentingnya proses tashfiyah.
Karena itu
setiap orang tua mempunyai peranan penting dalam proses tashfiyah dan tarbiyah
ini.
Demikianlah
beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan ayah bunda dalam mengasuh
anak-anaknya.
Selanjutnya,
yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan orang tua adalah berdoa kepada
Allah Azza wa Jalla agar upayanya mengasuh anak-anaknya sukses dan benar-benar
menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Wallâhu al-Muwaffiq.
Daftar
bacaan:
1. Tafsir
ath-Thabari, Dhabth wa Ta’lîq : Mahmûd Syâkir, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi,
Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M.
2.
Fathul-Bâri Syarh Shahîhil-Bukhâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
3. Shahîh
Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syiha.
4.
Al-Asâlîb at-Tarbawiyyah ‘Inda Syaikhi al-Islam Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb
bin Ya’qûb as-Sa’di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Amman, Yordan, cet. I –
1429 H/2008 M.
5. Miftah
Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta’lîq, taqdîm dan Takhrîj : Syaikh
Ali Hasan al-Halabi, Murâja’ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , Dâr Ibnu al-Qayyim,
Riyâdh – Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M
6. Nida’
Ila al-Murabbîn wa al-Murabiyât, Muhammad bin Jamîl Zainu.
7.
At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti’nâf al-Hayat al-Islamiyah,
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh, KSA. Cet. II,
1414 H.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat
Fathul-Bâri, Kitab al-Janâiz III/219, hadits no. 1358, 1359, dan Shahîh Muslim
Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syiha, XVI/423 dst. Hadits no. 6697.
[2]. Lihat
Fathul-Bâri, Kitab al-Jumu’ah, II/380, hadits no. 893. Hadits senada juga
dkeluarkan oleh Imam Muslim. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl
Ma’mûn Syiha, XII/417, hadits no. 4701.
[3]. Lihat
Tafsir ath-Thabari, Surat al-Baqarah : 133, I/650, Dhabth wa Ta’lîq : Mahmûd
Syâkir, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M]
[4]. Lihat
Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu dalam kutaibnya: Nidâ’ Ilâ al-Murabbîn wa
al-Murabiyât, hal. 24.
[5]. Lihat
al-Asâlîb at-Tarbawiyyah ‘Inda Syaikhil-Islâm Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb
bin Ya’qûb as-Sa’di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Ammân, Yordan, cet. I –
1429 H/2008 M, hal. 9, Khulâshah ad-Dirâsah.
[6]. Ibid.
[7]. Lihat
Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta’lîq, taqdîm dan Takhrîj :
Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Murâja’ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , I/195 Fashl 4
Madâr al-Imân wa Qâ’idatuhu, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyâdh – Dâr Ibnu ‘Affân,
Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M dengan sedikit ringkas dan bahasa bebas.
[8]. Lihat
Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, hal. 196.]
[9]. Lihat
Miftâh Dâr as-Sa’âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, hal. 196.
[10]. Lihat
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dalam kitabnya : At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa
Atsaruha fi Isti’nâf al-Hayat al-Islâmiyah. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh,
KSA. Cet. II, 1414 H. Hal 109.]
Oleh Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
0 komentar:
Posting Komentar