24 JAM BERSAMA RASULULLAH
Dua puluh empat jam bersama Rasulullah ternyata menjadi
sebuah tema yang segar dan menyejukkan. Laksana meresapi dan merasakan
kehadiran sosok sempurna nan dirindu jiwa manusia dan semesta. Sosok yang belum
pernah kita ketahui seperti apa, namun harum namanya semerbak menembus dari
dunia hingga Sidratul Muntaha.
Sebelum menyelami lebih dalam keseharian Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya, ada satu hal yang patut disyukuri dan dievaluasi oleh
setiap Muslim di dunia, ialah shalat wajib 5 waktu. Shalat yang menjadi
kewajiban syari’at dan kebutuhan setiap Muslim ini ternyata menyimpan sebuah
rahasia mendalam tentang keseharian yang seharusnya dilakukan oleh setiap
Mu’min.
Perintah shalat 5 waktu tidak hanya beresensi tentang
shalat saja, namun lebih dari itu. Mari simak ayat cinta dari Allah SWT:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS
Al-A’raaf: 31).
Dari ayat di atas disampaikan oleh Allah bahwa setiap
kita akan masuk ke masjid (melaksanakan shalat wajib 5 waktu secara berjama’ah)
kita diperintahkan Allah untuk memakai pakaian yang indah, dan makan, dan
minum, dan jangan berlebihan (secukupnya). Artinya adalah, bahwa Islam
mengajarkan kita untuk makan 5 kali sehari, tentu saja dalam kadar yang cukup
dan tidak berlebihan.
Selain sebagai “pengatur” pola makan, shalat 5 waktu
jugalah yang mengatur kehidupan kita. Dari awal kita terbangun setelah tidur
malam hingga akan menuju pembaringan lagi, kehidupan seorang Muslim benar-benar
“dijaga” oleh shalat 5 waktu.
Malam hingga Fajar
Rasulullah SAW biasa memulai hari (terbangun) pada tengah
malam. Sesuai firman Allah SWT dalam surat Al-Muzammil (1-4):
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk
sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. Dan
bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.
Beliau akan melaksanakan tahajjud sepanjang malam hingga
terdengar adzan fajar pertama. Pada zaman Rasulullah SAW adzan subuh dilakukan
dua kali, yaitu adzan pertama untuk membangunkan yang masih terlelap atau
memberi isyarat kepada yang sedang melaksanakan qiyamul-lail agar bersegera
menyelesaikan shalatnya karena subuh akan segera datang. Jarak antara adzan
subuh pertama hingga adzan kedua kira-kira adalah sepanjang dibacakannya 50
ayat Al-Qur’an.
Jeda antara dua adzan tersebut biasanya dimanfaatkan
Rasulullah SAW untuk istirahat sejenak (tidur) setelah beliau melaksanakan
shalat sepanjang malam. Seperti yang kita tahu bahwa kualitas dan durasi
qiyamul-lail Rasulullah SAW adalah yang terbaik. Lalu akhirnya, Rasulullah akan
terbangun pada adzan kedua dan bersiap untuk memimpin shalat kaum Muslimin di
Madinah.
Dhuha
Selepas shalat subuh Rasulullah SAW dan para sahabat
tidak langsung meninggalkan masjid, namun mereka mengisi waktu dengan berdzikir
hingga terbit matahari.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ
يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ
لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
»
“Barangsiapa
yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia
menetap di mesjid (HR ath-Thabrani) – untuk berdzikir kepada Allah sampai
matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala)
seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“ (HR at-Tirmidzi (no.
586).
Shalat yang
dilakukan setelah subuh hingga matahari menjelang itu adalah shalat isyraq.
Kebiasaan ini senantiasa dilakukan oleh Nabi dan para sahabat.
Selesai
berdzikir hingga terbitnya matahari dan melaksanakan shalat isyraq, maka Nabi
kembali ke rumahnya, bertemu ‘Aisyah, lalu beliau bertanya, “Adakah sesuatu
yang kau miliki?”
Betapa
halus dan lembut pertanyaan Rasulullah SAW. Berbeda dengan kita yang mungkin
akan bertanya kepada istri, “Ada makanan, enggak?” atau “Lauknya apa?”
Namun
Rasulullah tidaklah begitu, bahkan Allah pun telah menyatakan kemuliaan
akhlaqnya pada surat Al-Qalam: 4.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ
عَظِيمٍ
Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Saat
ditanya seperti itu terkadang ‘Aisyah menjawab dengan menghidangkan makanan
atau beliau berkata tidak ada yang bisa dimakan. Jika tidak ada makanan yang
dihidangkan oleh ‘Aisyah maka Rasulullah akan berpuasa hari itu. Namun pernah pula
suatu hari ‘Aisyah sengaja menyimpan sebuah makanan yang sangat disukai
Rasulullah SAW dan ketika Rasulullah masuk ke rumahnya dan bertanya, “Adakah
sesuatu yang kau miliki?”.
Dengan
penuh rasa cinta ‘Aisyah mengeluarkan makanan yang telah ia simpan untuk
suaminya tercinta itu dan Rasulullah pun menerimanya dengan mengucapkan terima
kasih yang jua penuh cinta, dan berkata
bahwa sebenarnya beliau berniat puasa, namun karena ini maka beliau
membatalkannya.
Betapa
rendah hatinya Rasulullah bahkan terhadap istri-istrinya. Maka ini menjadi
sebuah pelajaran berharga bagi urusan rumah tangga kaum muslimin, bahwa
menghargai apa-apa yang telah dilakukan oleh istri meskipun terkadang dianggap
oleh suami adalah hal sederhana namun harus diberikan apresiasi yang luar
biasa, bahkan Rasulullah pun membatalkan puasa sunnahnya untuk membalas cinta
murni ‘Aisyah kepadanya.
Setelah
selesai dengan urusan pagi di rumahnya, Nabi akan “menggelar” majelis dhuha,
majelis yang memiliki durasi terpanjang jika dibandingkan dengan
majelis-majelis Nabi yang lain. Pada saat menggelar majelis ini, Nabi akan
bersandar ke bilik Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA. Ini adalah sebuah bentuk
pembelajaran mulia yang patut ditiru oleh para suami, yaitu senantiasa
memberikan bekal pemahaman ilmu kepada istri-istrinya. Dengan kebiasaan seperti
inilah ‘Aisyah menjadi istri Nabi yang meriwayatkan hadits terbanyak dari yang
lainnya. Maka menjadi suami adalah jua menggenggam tanggung jawab untuk
senantiasa meng-upgrade kualitas tsaqafah istri-istrinya.
Meskipun
majelis ini senantiasa diselenggarakan oleh Rasulullah SAW, namun tidak semua
sahabat senantiasa mengikutinya. Mungkin ia hadir hari ini namun esok hari
tidak, dan sebaliknya. Hal ini dikarenakan para sahabat memiliki kesibukan yang
bermacam-macam, seperti berdagang, melakukan perjalanan, dsb. Namun yang
menarik adalah, anak-anak merekalah yang justru lebih intens mengaji kepada
Rasulullah SAW. Itulah mengapa generasi anak-anak para sahabat meriwayatkan
hadits lebih banyak daripada ayah-ayahnya.
Majelis dhuha Nabi ini berbentuk lingkaran
jika jumlah pesertanya sedikit, namun akan dibentuk dua baris jika jumlah
pesertanya banyak. Pada mulanya Nabi duduk membaur saja dengan para sahabat.
Namun hal itu membuat membingungkan tamu-tamu yang ingin berkunjung dan menemui
Rasulullah yang sama sekali belum pernah melihat Rasulullah, maka sahabat
berinisiatif untuk membuatkan tempat duduk dari tanah liat sehingga jika ada
orang/kaum yang datang dari jauh bisa langsung mengenali Rasulullah SAW.
Jika
majelis ini berbentuk dua baris, maka jika ada orang yang datang dan hanya
ingin bertanya kepada Rasulullah, maka ia dapat langsung berjalan menuju
Rasulullah, bertanya, lalu Rasulullah menjelaskan, dan setelah urusannya
selesai maka ia pergi. Jika kita teringat akan hadits Nabi ketika malaikat
Jibril AS datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang apa itu Islam, iman,
dan ihsan, serta kapan terjadinya hari kiamat, lalu di akhir perbincangan
mereka, Jibril membenarkan semua penjelasan Rasulullah SAW, beberapa ‘ulama’ berpendapat
bahwa kejadian tersebut terjadi di dalam
majelis dhuha Rasulullah SAW.
Pernah pula
pada majelis dhuha tersebut ada sahabat (Abu Musa) yang membawa bayinya yang
masih merah untuk di-tahnik, yaitu meminta Rasulullah untuk mengunyahkan kurma
dan memasukkannya ke mulut bagian atas bayi tersebut dan mendoakan keberkahan
untuknya.
Majelis
dhuha Nabi pun pernah berisi canda-canda ringan dan juga “sharing session” dari
para sahabat saat mengingat kebodohan mereka di zaman jahiliyah terdahulu.
Majelis dhuha Nabi sangat beragam, inovatif, dan sama sekali tidak monoton. Ini
dapat menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para pendidik bagaimana
mengkondisikan suasana kelas ketika menyampaikan ilmu di sana.
Durasi
majeiis dhuha Nabi ini akan berakhir menjelang dzuhur. Menjelang dzuhur Nabi
akan beristirahat lagi (tidur siang sejenak) hingga saat Bilal mengumandangkan
adzan dzuhur.
Dzuhur
hingga Maghrib
Selepas
dzuhur terdapat majelis ilmu lagi namun durasinya tidaklah panjang. Setelah itu
Rasulullah akan pergi berkeliling Madinah, atau keluar kota, atau menyelesaikan
berbagai macam permasalahan kaum Muslimin di Madinah dan daerah-daerah
tetangganya.
Selepas
shalat ashar, Rasulullah akan mengunjungi rumah-rumah istri-istrinya, bercanda
dan bersenda gurau bersama keluarga besarnya. Jika suatu kali beliau tidak
dapat mengunjungi istri-istrinya maka beliau akan meminta mereka berkumpul di
rumah salah satu istri yang pada hari itu mendapatkan jatah bersama Rasulullah
SAW. Hal ini lagi-lagi menjadi pelajaran berharga bahwa senantiasa meluangkan
waktu setiap hari untuk bersenda-gurau, bercanda, dan memeriksa kondisi
keluarga adalah hal yang harus dilakukan. Rasulullah meluangkan waktu ini
selepas ashar. Maka sebenarnya selepas ashar adalah saat terbaik untuk
berkumpul bersama keluarga. Beliau akan berkunjung kepada keluarganya hingga
maghrib menjelang.
Maghrib
hingga ‘Isya’
Maghrib
menjelang ‘isya tidak diisi dengan majelis ta’lim karena saat itu adalah saat
beristirahat para sahabat yang baru saja menyelesaikan urusan-urusannya juga
adalah waktu untuk makan para sahabat.
Sebelum
melaksanakan shalat ‘isya’ Rasulullah akan mengamati jumlah jama’ah yang hadir,
apakah para sahabat sudah hadir atau belum. Jika jumlah yang hadir sudah banyak
maka Rasulullah SAW akan melaksanakan shalat ‘isya’ di awal waktu namun jika
jumlah jama’ah yang menghadiri shalat berjama’ah masih sedikit maka Rasulullah
akan menunda pelaksanaan shalat ‘isya’ di tengah malam. Salah satu hikmah di
balik menunda shalat ‘isya’ hingga tengah malam adalah agar para jama’ah dapat
istirahat terlebih dahulu sehingga shalat dilaksanakan tidak dengan energi
sisa. Akan tetapi hal yang perlu diingat adalah penundaan shalat ‘isya’ ini
tetap harus dilaksanakan secara berjama’ah di masjid.
Selepas
‘isya’ Rasulullah SAW tidak pernah menyengaja berlama-lama menuju pembaringan
kecuali jika ada urusan kaum Muslimin yang sangat penting dan darurat.
Demikianlah
siklus hari-hari Rasulullah SAW yang sangat efektif, efisien, dan penuh
barakah. Tentu saja habit ini pun tidak selalu dilakukan Rasulullah karena
terkadang beliau dan para sahabat berada pada kondisi darurat perang, paceklik,
dsb yang bisa jadi membutuhkan adaptasi kondisi. Sungguh beliau adalah contoh
terindah makhluk yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Semoga Allah mudahkan
kita agar senantiasa mampu mengikuti sunnah-sunnah Nabi-Nya.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ
عَظِيمٍ
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Disarikan dari: Kajian mabit yang diadakan
oleh Majelis Ta’lim Telkomsel (MTT) dengan tema “24 jam bersama Rasulullah”
yang dibawakan oleh Ust. Budi Ashari, LC pada Jum’at-Sabtu (13-14/09/13).
0 komentar:
Posting Komentar