Manisnya Iman
Tertulis sebuah kisah dimana manisnya iman telah
melingkupi hati seorang sahabat Nabi yaitu kisah indah tentang Abdullah bin
Hudzafah radhiyallahu ‘anhu . Diaadalah salah seorang panglima kaum muslimin
yang ikut serta dalam pembebasan negeri Syam. Dia diserahi misi penting untuk
memerangi penduduk Kaisariah, sebuah kota benteng di wilayah Palestina,
tepatnya di tepi Laut Tengah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan
Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu gagal dalam salah satu pertempuran,
sehingga akhirnya ia ditangkap oleh tentara Romawi.
Heraklius merasa berkesempatan untuk menyakiti dan
menyiksa kaum muslimin. Lalu ia mendatangkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu
‘anhu ke hadapannya. Ia ingin menguji seberapa kuat agamanya dan ingin
menjauhkannya dari Islam. Heraklius memulai dengan memberikan bujukan dan
penawaran. Ia menawarkan kepada Abdullah radhiyallahu ‘anhu beberapa tawaran
yang menggiurkan.
Heraklius berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama
Nasrani, maka engkau akan mendapatkan harta yang engkau inginkan.” Ibnu
Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak tawaran ini. Kemudian Heraklius
menambahkan, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan menikahkanmu
dengan putriku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu juga menolak tawaran kedua.
Lantas Heraklius berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan
merekrutmu menjadi orang penting dalam kerajaanku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu
‘anhu pun menolak tawaran ketiga ini.
Heraklius menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan
bukan sembarang lelaki. Maka ia pun memberikan penawaran keempat. Ia berkata
kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan memberikan kepadamu
separuh dari kerajaanku dan separuh hartaku.” Lantas Ibnu Hudzafah radhiyallahu
‘anhu memberikan jawaban yang tegas dan mematikan, “Meskipun kamu memberikan
kepadaku semua harta yang kamu miliki dan semua harta yang dimiliki oleh orang
Arab, saya tidak akan kembali meninggalkan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam meskipun hanya sekejap mata.”
Setelah Heraklius gagal dalam memberikan penawaran dan
bujukan, maka ia menekan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dengan cara memaksa,
menyiksa, mengintimidasi, dan mengancamnya. Maka, Heraklius berkata kepadanya,
“Kalau demikian, saya akan membunuhmu?” Heraklius tidak menyadari bahwa orang
yang tidak tergiur dengan tawaran dan bujukan, tentunya juga tidak akan
menyerah menghadapi paksaan dan siksaan. Orang yang menginjak dunia dengan
kedua kakinya, tidak akan kikir untuk menyerahkan nyawa untuk menebus agamanya.
Ia berkata kepada Heraklius, “Silakan kamu melakukan hal itu.”
Kemudian Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dijebloskan ke
dalam penjara dan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu ia
disuguhi arak dan daging babi agar ia memakannya. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah
radhiyallahu ‘anhu menolak mencicipinya. Akhirnya sampai berhari-hari ia tidak
menyentuh makanan dan minuman sehingga ia hampir mati. Kemudian Heraklius
mengeluarkannya dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu enggan minum arak
dan makan daging babi padahal engkau dalam kondisi terpaksa dan kelaparan?” Ia
menjawab, “Ketahuilah! Kondisi darurat memang telah menjadikan hal tersebut
halal bagi saya dan tidak ada keharaman bagi saya memakannya. Akan tetapi, saya
lebih memilih untuk tidak memakannya, sehingga saya tidak memberikan kesempatan
kepadamu untuk bersorak melihat kemalangan Islam.”
Kemudian Heraklius memerintahkan kepada anak buahnya agar
mereka menyalib Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengikatnya pada kayu. Para
pemanah siap-siap melesakkan anak panah dari posisi yang dekat darinya. Ia pun
tetap bertahan. Heraklius masih menawarkan agar ia memeluk agama Nasrani,
tetapi ia tetap menolak. Kemudian ia diturunkan. Heraklius memerintahkan agar
disiapkan air di dalam kuali besar dan dinyalakan api di bawahnya. Ketika air
di dalam kuali telah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan muslim, lalu ia
diceburkan ke dalamnya, maka dagingnya pun meleleh sehingga tinggal tulang
kerangka. Kemudian tawanan muslim yang kedua diceburkan di dalamnya sedangkan
Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu melihatnya.
Kemudian Heraklius memerintahkan agar Ibnu Hudzafah
radhiyallahu ‘anhu dilemparkan ke dalam air mendidih. Ketika mereka memegang
Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu untuk dilemparkan ke dalam air mendidih, maka
ia menangis. Lantas dilaporkan kepada Heraklius bahwa Ibnu Hudzafah
radhiyallahu ‘anhu menangis. Heraklius mengira bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu
‘anhu menangis karena ia takut mati serta menunjukkan bahwa ia mundur dari posisinya
dan membatalkan ketetapan hatinya dan ia akan mengabulkan keinginan Heraklius.
Lantas Heraklius memanggilnya dan memberi tawaran kepadanya agar ia memeluk
agama Nasrani. Ia pun tetap menolaknya. Lalu Heraklus bertanya kepadanya,
“Kalau demikian mengapa engkau menangis?” Lalu ia memberikan jawaban yang
menakjubkan, benar-benar melemahkan, dan menetapkan kegagalan dan kekalahan
Heraklius, “Saya menangis karena saya hanya memiliki satu jiwa saja, seandainya
saya memiliki jiwa sebanyak rambut saya, pastilah saya korbankan untuk menebus
agamaku. Sehingga, semuanya mati di jalan Allah.” Akhirnya Heraklius mengakui
kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Kekalahannya yaitu
bahwa ia memiliki harta, pangkat, kekuatan, dan dunia berhadapan dengan
seseorang muslim yang tidak bersenjata dan tidak menyandang apa-apa. Lantas ia
memberikan tawaran terakhir sebagai bentuk kekalahan.
Demi menjaga martabatnya, Heraklius berkata, “Hai Ibnu
Hudzafah! Maukah kamu mengecup kepalaku? Saya akan membebaskanmu dan
melepaskanmu?” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Baiklah, dengan
syarat engkau harus melepaskan semua tawanan kaum muslimin yang berada di dalam
penjara kalian saat itu ada lebih dari 300 tawanan.” Lantas Umar radhiyallahu
‘anhu berdiri menghampiri Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengecup
kepalanya, lalu para sahabat lainnya mengikutinya.
Itulah kisah ketika iman begitu manis terasa dalam diri
seseorang. Lalu mengapa hati kita tak kunjung menikmati manisnya iman itu. Mungkin saat ini kita adalah manusia
yang sedang sakit yang tidak mampu
merasakan manisnya gula, bukan karena
gula itu tidak manis tapi karena lidah kita yang sedang sakit. Mungkin hati
kita sedang sakit.
Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Anas bin Malik
radhiyallahu'anhu, dia berkata, " Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam
bersabda, yang artinya, :
"Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada
seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya
lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak
mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah
Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam
api."
Ada tiga hal, yang ketika tiga hal itu ada dalam hatimya maka dia akan merasakan
manisnya iman. Maksudnya tiga hal itu ada pada dirinya secara utuh
keseluruhannya. Lalu yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat
ketika melakukan ketaatan kepada Allah, ketenangan hati dan lapangnya dada.
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Syaikh Abu
Muhammad bin Abu Hamzah berkata, "Pengungkapan dengan lafal
"manis" karena Allah subhanahu wataala mengumpamakan iman sebagaimana
pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim ayat 24, "Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik."
Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash,
kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya
adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala
amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala
macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan
puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika
itulah akan terasa manisnya buah tersebut.
Yang pertama Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari
pada selain keduanya, artinya mencintai Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya
melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan
semua orang.
Yang kedua Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya
kecuali karena Allah. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim
dengan saudaranya -muslim yang lain- dilandasi dengan iman kepada Allah
subhanahu wata’ala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena
mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya
manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.
yang ketiga Benci jika kembali kepada kekufuran,
sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain
disebutkan, "Bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada
kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan dia dari kekufuran
itu." Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat
di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci
jika dibakar di dalam api.
Ada beberapa faisah dari hadits diatas:
Iman kepada Allah subhanahu wata’ala memiliki rasa manis
yang tidak mungkin dinikmati, kecuali
oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri
yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang
menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.
Cinta Allah, kemudian disusul cinta Rasul-Nya shallallahu
?alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja
yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah dan cinta rasul-Nya tidak boleh
diungguli oleh cinta kepada siapa pun selain keduanya. Bahkan cinta Allah dan
Rasul-Nya merupakan parameter dan tolok ukur bagi kecintaan terhadap diri
sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.
Suatu ketika Umar radhiyallahu’anhu berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku
cintai dari pada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku." Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak demikian, demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu
sendiri." Maka Umar menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau
sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi mejawab,
"Sekarang hai Umar," (telah sempurna imanmu). Anas radhiyallahu’anhu
juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
artinya,
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian,
sehingga aku lebih dia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh
manusia." Dan konsekuensi dari
cinta ini adalah memenuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul serta menjauhi
apa yang dilarang Allah dan Rasul dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang
utuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, Katakanlah, "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (QS.
3:31)
Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang
memperoleh kecintaan Allah -setelah melakukan kewajiban- adalah sebagaimana
yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu:
Membaca al-Qur'an dengan merenungkan dan memahami
maknanya.
Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dengan
melakukan amalan sunnah.
Terus menerus berdzikir kepada Allah dalam segala
kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.
Mendahulukan apa yang dicintai Allah dibanding yang dicintai
diri sendiri.
Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah
dan sesama muslim.
Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara
hati dengan Allah.
Mencintai Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah
merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah subhanahu wata’ala. Ia berada
di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:
Beriman bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
utusan Allah, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi
peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah dengan membawa
cahaya yang terang benderang.
Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir
jika tidak dapat bertemu beliau.
Menjalankan perintah-perintah beliau dan menjauhi
larangan beliau, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya.
Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahu’aihi
wasallam namun tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.
Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan
memperjuangkannya.
Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam.
Berakhlaq dengan akhlaq beliau dan beradab dengan
adab-adab beliau.
Mencintai sahabat-sahabat beliau dan membela mereka.
Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau serta
mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau.
Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain
dibangun di atas landasan cinta kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena jenis
cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala
yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi
shallallahu’alaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh
Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada
tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak
ada naungan kecuali naungan-Nya:
1. Pemimpin yang
adil.
2. Pemuda yang
tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
3. Lelaki yang
hatinya terpaut dengan masjid.
4. Dua orang
yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak
juga berpisah kecuali karena Allah.
5. Lelaki yang
diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu
dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
6. Orang yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
7. Orang yang
berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena
menangis.”
(HR. Al-Bukhari no. 620 dan Muslim no. 1712)
Saling mencintai karena Allah mempunyai hak-hak yang
harus ditunaikan, di antaranya:
Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan
itu, sebagaimana di dalam hadits, "Sebaik-baik orang adalah yang paling
memberi manfaat kepada orang lain."
Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan
kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan,
maka mereka pun demikian.
Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang
diberikan Allah kepada saudara kita.
Mendoakan saudara kita -tanpa sepengetahuannya- baik
ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan
tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang
berdoa.
Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya
tentang kabar dan keadaanya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.
Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah. Maka seorang
mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api,
bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah, maka orang mukmin
juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka.
Atas dasar ini maka bersikap loyal (berwala') kepada orang kafir adalah
merupakan sebab dari kemurkaan Allah subhanahu wata’ala dan kemarahan-Nya. Di
antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka,
menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah
(berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga
terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab
dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah).
Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya,
“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu)”? (QS. 3:28)
Semoga kita menjadi orang-orang yang dikaruniai
kenikmatan iman ini dan menyatukan kita semuabersama orang-orang yang telah
menikmati manisnya iman di Jannah-Nya.Amin.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar