Hadits 16: Manisnya Iman
3 Manisnya Iman
Kini kita akan memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari
ke-16. Pembahasan hadits ke-16 ini kita beri judul “Manisnya Iman”. Terjemah
dari judul yang telah diberikan oleh Imam Bukhari yaitu باب حَلاَوَةِ الإِيمَانِ.
Hadits ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih
Bukhari.
Berikut ini
matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-16:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dari Anas,
dari Nabi SAW beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia
akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan
benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam
api neraka."
Penjelasan
Hadits
قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
Tiga hal,
barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman
Dalam
hadits ini dipakai istilah حَلاَوَةُ الإِيمَانِ (manisnya
iman). Dalam ilmu balaghah, istilah seperti ini disebut isti'arah takhyiliyyah,
yaitu majaz (kiasan) yang dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi.
Semacam majas metafora dalam bahasa Indonesia. Bahwa iman itu terasa manis.
Menurut
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua
orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh
orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan
manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang
yang imannya "sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang
disebutkan dalam penggalan hadits berikutnya.
Manisnya
iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) juga mengingatkan
kita ibarat pohon, iman itu memiliki buah manisnya bisa dirasakan oleh seorang
mukmin. Tentu saja pohon baru bisa berbuah ketika akarnya teguh dan pohonnya
kuat. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ
وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
(QS. Ibrahim : 24-25)
Sebagian
ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki
daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah, lebih mengutamakan
ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada
Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
menjadikan
Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya
Inilah hal
pertama yang membuahkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi
selainnya. Seorang mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya, baru ia mendapati manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya.
Manusia akan
merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi
buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya
dengan sempurna. Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya
pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan
Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan
manisnya iman melalui lisannya: "ahad, ahad..."
Manisnya
iman buah cinta ini pula yang membuat Khabab bin Al Art seakan tak merasakan
luka-luka menganga di tubuhnya yang disalib. Maka ketika diminta pendapatnya
bagaimana jika Rasulullah yang menggantikannya, ia menjawab dalam nada manisnya
iman: "Bahkan aku tak rela jika kaki Rasulullah tertusuk duri"
Dalam
manisnya iman pula, sahabat-sahabat Ansar rela pulang tangan kosong tanpa
ghanimah dalam Perang Hunain. Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar
bahwa Rasulullah hendak meneguhkan Islam para muallaf Makkah. Sementara mereka
pulang membawa Rasulullah, biarlah orang lain pulang membawa unta dan kambing.
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ
يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ
Dan
mencintai seseorang semata-mata karena Allah
Jika
kecintaan kepada Allah adalah yang ertama dan tidak boleh terkalahkan oleh
selainnya, demikian pula Rasulullah sebagai manusia yang paling dicintai, bukan
berarti kita tidak diperkenankan mencintai sesama. Cinta itu fitrah manusia.
Maka mencintai kedua orang tua, anak, saudara, sahabat, dan sesama mukmin juga
dibutuhkan. Dan tatkala cinta itu karena Allah semata, maka iman akan manisnya
iman akan bisa dirasakan.
Generasi
pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah
ini. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan
menjadi bersaudara di bawah satu bendera: Ansar. Pada saat itu, mereka
merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua
pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun
dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Pada saat
itu, mereka merasakan manisnya iman.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dan benci
kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api
neraka
Jika dua
hal yang pertama adalah pekerjaan mencintai, hal ketiga yang membawa manisnya
iman ini adalah pekerjaan sebaliknya: membenci. Yakni membenci kekufuran.
Khususnya kekufuran yang telah ditinggalkannya dan diganti dengan Islam.
Dalam
riwayat Muslim, redaksi hadits tentang manisnya iman (حَلاَوَةُ
الإِيمَانِ) ini pada poin ketiga berbunyi :
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dan benci
kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana
kebenciannya dilempar ke dalam api neraka
Dan itulah
yang, lagi-lagi, kita dapati pada generasi sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid
Quthb memotret tiga karakter sahabat yang menjadi faktor utama keberhasilan
mereka, salah satunya ia catat: "Saat mereka masuk Islam dan mendapat
Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh kejahiliyahan"
Rasulullah
SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai
kembali kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Maka Rasulullah
mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara
suku Aus dan Khazraj seperti perang bu'ats. Rasulullah juga pernah mengingatkan
Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen
kesukuan. "Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah" tegur
Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai
dan menghormati Bilal.
Diantara
pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai
berikut:
2. Iman
memiliki buah yang manis yang bisa dirasakan mukmin ketika memenuhi kriteria
atau syarat-syaratnya, sebaliknya tidak semua orang bisa merasakan manisnya
iman ini;
3. Manisnya
iman bisa dirasakan seorang mukmin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi
selainnya, mencintai orang lain karena Allah semata, dan membenci kembali
kepada kekufuran.
Wallahu
a’lam bish shawab.[]
0 komentar:
Posting Komentar