KIAT KIAT MENUJU KELUARGA SAKINAH
Membangun Keluarga Sakinah Membentuk Keluarga Sakinah
Membina Keluarga Sakinah Keluarga Sakinah Adalah Dalil Tentang Keluarga Sakinah
Mawaddah Warahmah
KIAT-KIAT MENUJU KELUARGA SAKINAH
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan
rinci terhadap persoalan pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih
pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak,
serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai
dalam proses nafaqah (memberi nafkah) dan harta waris, semua diatur oleh Islam
secara rinci, detail dan gamblang.
Selanjutnya untuk memahami konsep pernikahan dalam Islam,
maka rujukan yang paling benar dan sah adalah Al Qur’an dan As Sunnah Ash
Shahihah yang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Berdasar rujukan ini,
kita akan memperoleh kejelasan tentang aspek-aspek pernikahan, maupun beberapa
penyimpangan dan pergeseran nilai pernikahan yang terjadi di dalam masyarakat
kita.
Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk menikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan). Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. [Ar Ruum : 30].
Islam
Menganjurkan Nikah
Penghargaan
Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, Allah menyebutkan sebagai ikatan
yang kuat.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“… Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. [An
Nisaa: 21].
Sampai-sampai
ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ اْلعَبْد،ُ
فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِي
“Barangsiapa
menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. [1]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras
kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik rahimahullah berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan
melarang kami membujang dengan larangan yang keras.” Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ
الْوَلُوْدَ، فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Nikahilah
wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya
umatku di hadapan umat-umat”.[2]
Pernah
suatu ketika, tiga orang sahabat g datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadahan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah
mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, akan puasa sepanjang
masa tanpa putus”. Sahabat yang lain berkata: “Adapun saya akan menjauhi
wanita, saya tidak akan nikah selamanya ….”. Ketika hal itu didengar oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau keluar seraya bersabda :
“أَنْتُمُ الَّذِيْنَ
قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إنِّي َلأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.”
“Benarkah
kalian telah berkata begini dan begitu? Sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah
yang paling takut dan taqwa kepada Allah diantara kalian, akan tetapi aku
berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga menikahi
wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”. [3]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menikah. Dan seandainya mereka fakir,
niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu dengan memberikan rezeki kepada
mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan suatu pertolongan kepada orang
yang menikah, dalam firmanNya:
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمْ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.”
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak
(bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan wanita. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”. [An Nuur:32].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
dengan sabdanya :
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ
عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ
الاَدَاءَ وَ النَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
“Ada tiga
golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu, mujahid fi
sabilillah, budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan orang yang menikah
karena ingin memelihara kehormatannya”. [4]
TUJUAN
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1. Untuk
Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Pernikahan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah
dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang kotor
dan menjijikan, seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang
dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk
Membentengi Akhlaq Yang Mulia
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ
أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا لصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai,
para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa
(shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.[5]
3. Untuk
Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al
Qur’an disebutkan, bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika
suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat berikut :
“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang yang zhalim”. [Al Baqarah:229].
Jadi tujuan
yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam
dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at
Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah harus berusaha
membina rumah tangga yang Islami. Ajaran Islam telah memberikan beberapa
kriteria tentang calon pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang
Islami. Di antara kriteria itu ialah harus kafa’ah dan shalihah.
Kafa’ah
Menurut Konsep Islam
Kafa’ah
(setaraf, sederajat) menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa
serta akhlaq seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan
lain-lainnya.
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Al Hujurat:13].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِ
َرْبَعٍِ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَ لِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang
wanita dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya
(ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung”.[6]
Memilih
Yang Shalihah
Orang yang
hendak menikah, harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus
memilih laki-laki yang shalih. Allah berfirman :
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ
لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلاَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ
وَرِزْقُُ كَرِيمُُ
“…Dan
wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik
untuk wanita-wanita yang baik pula…” [An Nuur:26]
.
Menurut Al
Qur’an, wanita yang shalihah adalah :
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita
yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami
tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. [An Nisaa:34].
Menurut Al
Qur’an dan Al Hadits yang shahih, diantara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah
:
a. Ta’at
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ta’at kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
b. Ta’at
kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada, serta
menjaga harta suaminya.
c. Menjaga
shalat yang lima waktu tepat pada waktunya.
d.
Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan.
e. Banyak
shadaqah dengan seizin suaminya.
f. Memakai
jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan
(tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al Ahzab:33).
g. Tidak
berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya,
karena yang ketiganya adalah syetan.
h. Tidak
menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya.
i. Ta’at
kepada kedua orang tua dalam kebaikan.
j. Berbuat
baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
k. Mendidik
anak-anaknya dengan pendidikan Islami.
Bila
kriteria ini dipenuhi, insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud.
4. Untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
..وَفِي بُضْعِ
أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا
فِي الْحَرَامِ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا
فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا…
“…Dan di
hubungan suami-isteri salah seorang diantara kalian adalah sedekah! Mendengar
sabda Rasulullah, para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai, Rasulullah.
Apakah salah seorang dari kita memuaskan syahwatnya (kebutuhan biologisnya)
terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Bagaimana menurut kalian, jika mereka (para suami) bersetubuh dengan
selain isterinya, bukankah mereka berdosa?” Jawab para sahabat: “Ya, benar”.
Beliau bersabda lagi: “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan isterinya (di
tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”[7]
5. Untuk
Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan
pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan Bani Adam,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ
أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً
وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ
اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah
telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ? ” [An Nahl:72].
Yang
terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَكُمْ
“… dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian (yaitu anak)”. [Al
Baqarah:187].
Yang
dimaksud dengan ayat ini, “Hendaklah kalian mencampuri isteri kalian dan
berusaha untuk memperoleh anak”.[8]
TATA CARA
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1.Khitbah
(Peminangan)
Seorang
muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaknya ia meminang terlebih
dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini
Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang
lain.
2. Aqad Nikah
Dalam aqad
nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi :
-. Adanya
suka sama suka dari kedua calon mempelai.
-. Adanya
ijab qabul.
-. Adanya
mahar
-. Adanya
wali.
-. Adanya
saksi-saksi.
3. Walimah
Walimatul
‘urusy (pesta pernikahan) hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan
dalam walimah hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…أَوْلِمْ
وَلَوْبِشَاةٍ
“Selenggarakanlah
walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing”.[9]
SEBAGIAN
PELANGGARAN YANG TERJADI DALAM PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN (DIHILANGKAN)
1. Pacaran.
2. Tukar
cincin.
3. Menuntut
mahar yang tinggi.
4.
Mengikuti upacara adat.
5. Mencukur
jenggot bagi laki-laki dan mencukur alis mata bagi wanita.
6.
Kepercayaan terhadap hari baik dan sial dalam menentukan waktu pernikahan.
7.
Mengucapkan ucapan selamat ala kaum jahiliyah.
8. Adanya
ikhtilath (bercampurnya, berbaurnya antara laki-laki dan wanita).
9. Musik,
nyanyi dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Marilah
kita berupaya untuk melaksanakan pernikahan secara Islami dan membina rumah
tangga yang Islami, serta kita berusaha meninggalkan aturan, tata-cara, upacara
dan adat-istiadat yang bertentangan dengan Islam. Jangan meniru cara-cara
orang-orang kafir dan orang-orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat.
HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Anjuran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah mengandung berbagai
manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1. Dapat menundukkan
pandangan,
2. Akan
terjaga kehormatan.
3.
Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
4. Akan
ditolong dan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Dapat
menjaga syahwat, yang merupakan salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke
dalam surga.
5.
Mendatangkan ketenangan dalam hidup.
6. Akan
terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan
dijadikanNya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. [Ar
Ruum:21].
7. Akan mendapatkan keturunan yang shalih.
8.Menikah dapat menjadi sebab semakin
banyaknya jumlah ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada
sebagian kaum muslimin yang telah menikah dan dikaruniai oleh Allah seorang
anak atau dua orang anak, kemudian mereka membatasi kelahiran, tidak mau
mempunyai anak lagi dengan berbagai alasan yang tidak syar’i. Perbuatan mereka
telah melanggar syari’at Islam. Fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
telah menjelaskan dengan tegas, bahwa membatasi kelahiran atau dengan istilah
lainnya “keluarga berencana”, hukumnya adalah haram.
Sesungguhnya
banyak anak itu banyak manfaatnya. Diantara manfaat dengan banyaknya anak dan
keturunan, adalah :
1. Di dunia
mereka akan saling menolong dalam kebajikan.
2. Mereka
akan membantu meringankan beban orang tuanya.
3. Do’a
mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa
lagi beramal (telah meninggal dunia).
4. Jika
ditaqdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala anaknya meninggal ketika masih
kecil, insya Allah, ia akan menjadi syafa’at (penolong) bagi orang tuanya nanti
di akhirat.
5. Anak
akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api neraka, manakala orang tuanya
mampu menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih dan shalihah.
6. Dengan
banyaknya anak, akan menjadikan salah satu sebab bagi kemenangan kaum muslimin
ketika dikumandangkan jihad fi sabilillah, karena jumlahnya yang sangat banyak.
7.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangga dengan jumlah umatnya yang
banyak. Apabila seorang muslim cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka hendaklah ia mengikuti keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memperbanyak anak, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangga dengan banyaknya ummatnya pada hari kiamat.
Bila Belum
Dikaruniai Anak
Apabila
ditaqdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sepasang suami-isteri sudah menikah
sekian lama, namun belum juga dikaruniai anak, maka janganlah ia berputus asa
dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaknya ia terus berdo’a sebagaimana
Nabi Ibrahim Alaihissallam dan Zakaria Alaihissallam telah berdo’a kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan do’a mereka.
Dan hendaknya bersabar dan ridha dengan qadha’ dan qadar yang Allah tentukan,
serta meyakini bahwa semua itu ada hikmahnya.
Do’a mohon
dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al Qur’an, yaitu :
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih”.
[Ash Shaafat : 100]
.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ
أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
“Ya Rabb
kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”. [Al Furqaan : 74].
رَبِّ لاَ تَذَرْنِي فَرْدًا
وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Ya Rabbku,
janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah warits yang
paling baik”. [Al Anbiyaa : 89].
Mudah-mudahan
Allah l memberikan keturunan yang shalih kepada pasangan suami-isteri yang
belum dikaruniai anak.
HAK ISTERI
YANG HARUS DIPENUHI SUAMI
Diantara
kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah seperti yang terdapat di dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Muawiyah bin Haidah bin
Mu’awiyah bin Ka’ab Al Qusyairy Radhiyallahu ‘anhu [10], ia berkata: Saya telah
bertanya,”Ya Rasulullah, apa hak seorang isteri yang harus dipenuhi oleh
suaminya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ
تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
1. Engkau
memberinya makan apabila engkau makan,
2. Engkau
memberinya pakaian apabila engkau berpakaian,
3.
Janganlah engkau memukul wajahnya, dan
4.
Janganlah engkau menjelek-jelekkannya, dan
5. Janganlah
engkau tinggalkan dia melainkan di dalam rumah (jangan berpisah tempat tidur
melainkan di dalam rumah). [11]
Mengajarkan
Ilmu Agama
Di samping
hak di atas harus dipenuhi oleh seorang suami, seorang suami juga wajib
mengajarkan ajaran Islam kepada isterinya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya (terbuat dari) manusia dan batu, penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak mendurhakai (perintah)
Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”. [At Tahrim : 6].
Untuk
itulah, kewajiban sang suami untuk membekali dirinya dengan menuntut ilmu
syar’i (thalabul ‘ilmi) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan
Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih –generasi yang
terbaik, yang mendapat jaminan dari Allah– sehingga dengan bekal tersebut,
serang suami mampu mengajarkannya kepada isteri, anak dan keluarganya. Jika ia
tidak sanggup mengajarkan mereka, seorang suami harus mengajak isterinya
menuntut ilmu syar’i dan menghadiri majelis-majelis taklim yang mengajarkan
tentang aqidah, tauhid mengikhlaskan agama kepada Allah, dan mengajarkan
tentang bersuci, berwudhu’, shalat, adab dan lainnya.
HAK SUAMI
YANG HARUS DIPENUHI ISTERI
Ketaatan
Istri Kepada Suaminya.
Setelah
wali (orang tua) sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat
kepada sang suami menjadi hak yang tertinggi yang harus dipenuhi, setelah
kewajiban taatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا
أَنْ يَسْجُدَ لأَِ حَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau
seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan
perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya”.[12]
Sang isteri
harus taat kepada suaminya, dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan
dalam hal agama), misalnya ketika diperintahkan untuk shalat, berpuasa,
mengenakan busana muslimah, menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah
lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru
akan mendatangkan surga bagi dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ
خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا،
دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَةِ شَاءَتْ
“Apabila
seorang wanita mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
menjaga kemaluannya, menjaga kehormatannya dan dia taat kepada suaminya,
niscaya ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki”.
[13]
Istri Harus
Banyak Bersyukur Dan Tidak Banyak Menuntut.
Perintah
ini sangat ditekankan dalam Islam, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
melihatnya pada hari kiamat, manakala sang isteri banyak menuntut kepada
suaminya dan tidak bersyukur kepadanya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُرِيْتُ النَّارَ، فَإِذَا
أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ. يَكْفُرْنَ. قِيْلَ : أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟
يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى
إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئاً، قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ
مِنْكَ خَيْرًا قَطٌّ
“Sesungguhnya
aku diperlihatkan neraka dan melihat kebanyakan penghuni neraka adalah wanita.”
Sahabat bertanya: “Sebab apa yang menjadikan mereka paling banyak menghuni
neraka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dengan sebab
kufur”. Sahabat bertanya: “Apakah dengan sebab mereka kufur kepada Allah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak), mereka kufur
kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari
kalian berbuat kebaikan kepada isterinya selama setahun, kemudian isterinya
melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka dia mengatakan ‘Aku tidak
pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [14]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَيَنْظُرُ اللهُ إِلَى
امْرَأَةٍ لاَتَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada
suaminya, dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup)”.[15]
Isteri
Wajib Berbuat Baik Kepada Suaminya
Perbuatan
ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau
yang lebih baik. Isteri harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah
mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah
tangganya, mengurus anak-anaknya.
Nasihat
Untuk Suami-Isteri
1. Bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan bersama maupun sendiri, di
rumahnya maupun di luar rumah.
2. Wajib
menegakkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga batas-batas
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam keluarga.
3.
Melaksanakan kewajiban terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan minta tolong
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Laki-laki wajib mengerjakan shalat lima waktu
di masjid secara berjama’ah. Dan perintahkan anak-anak untuk shalat pada
waktunya.
4.
Menegakan shalat-shalat sunnah, terutama shalat malam.
5.
Perbanyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bacalah Al Qur’an setiap
hari, terutama surat Al Baqarah. Bacalah pula do’a dan dzikir yang telah
diajarkan oleh Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ingatlah, bahwa syetan
tidak senang kepada keutuhan rumah tangga dan syetan selalu berusaha
mencerai-beraikan suamiisteri. Dan ajarkan anak-anak untuk membaca Al Qur’an
dan dzikir.
6. Bersabar
atas musibah yang menimpa dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala nikmatNya.
7.
Terus-menerus berintropeksi antara suami-isteri. Saling menasihati, tolong
menolong dan mema’afkan serta mendo’akan. Jangan egois dan gengsi.
8. Berbakti
kepada kedua orang tua.
9. Mendidik
anak-anak agar menjadi anak-anak yang shalih, ajarkan tentang aqidah, ibadah
dan akhlak yang benar dan mulia.
10. Jagalah
anak-anak dari media yang merusak aqidah dan akhlak.
NASIHAT
KHUSUS UNTUK SUAMI
Wahai para
Suami!!
1. Apa yang
memberatkanmu –wahai hamba Allah– untuk tersenyum di hadapan isterimu ketika
engkau masuk menemuinya, agar engkau memperoleh ganjaran dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala ?!!
2. Apa yang
membebanimu untuk bermuka cerah ketika engkau melihat isteri dan anak-anakmu?!!
Engkau akan dapat pahala?!!
3. Apa
sulitnya apabila engkau masuk ke rumah sambil mengucapkan salam secara
sempurna: “Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh” agar engkau memperoleh
tiga puluh kebaikan?!!
4. Apa yang
kira-kira akan menimpamu jika engkau berkata kepada isterimu dengan perkataan
yang baik, sehingga dia meridhaimu, sekalipun dalam perkataanmu tersebut agak
sedikit dipaksakan?!!
5. Apakah
menyusahkanmu -wahai hamba Allah- jika engkau berdo’a: ”Ya Allah!! Perbaikilah
isteriku, dan curahkan keberkahan padanya.”
6. Tahukah
engkau bahwa ucapan yang lembut merupakan shadaqah?!!
NASIHAT
UNTUK ISTERI
Wahai para
isteri !!
1. Apakah
menyulitkanmu, jika engkau menemui suamimu ketika dia masuk ke rumahmu dengan
wajah yang cerah sambil tersenyum manis?!!
2.
Berhiaslah untuk suamimu dan raihlah pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, gunakanlah wangi-wangian!
Bercelaklah! Berpakaianlah dengan busana terindah yang kau miliki untuk
menyambut kedatangan suamimu. Ingat, janganlah sekali-kali engkau bermuka muram
dan cemberut di hadapannya.
3. Jadilah
engkau seorang isteri yang memiliki sifat lapang dada, tenang dan selalu ingat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala keadaan.
4. Didiklah
anak-anakmu dengan baik, penuhilah rumahmu dengan tasbih, takbir, tahmid dan
tahlil serta perbanyaklah membaca Al Qur’an, khususnya surat Al Baqarah, karena
surat tersebut dapat mengusir syetan
5.
Bangunkanlah suamimu untuk mengerjakan shalat malam, anjurkanlah dia untuk
berpuasa sunnah dan ingatkanlah dia kembali tentang keutamaan berinfak, serta
janganlah melarangnya untuk bersilaturahim.
6.
Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tuamu, dan semua kaum
muslimin, dan berdo’alah selalu agar diberikan keturunan yang shalih dan
memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, dan ketahuilah bahwasannya Rabb-mu Maha
Mendengar do’a. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَقَالَ رَبُّكُمْ ادعُوْنِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabb
kalian berfirman: ”Berdo’alah kepadaKu, niscaya Aku akan mengabulkan untuk
kalian”. [Al Mu’min:60].
Kepemimpinan
Laki-laki Atas Wanita
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ وَاللاّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلاً إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu, maka wanita yang shalih ialah yang ta’at kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar”. [An Nisaa:34].
KEWAJIBAN
MENDIDIK ANAK
Sang suami
sebagai kepala rumah tangga haruslah memberikan teladan yang baik dalam
mengemban tanggung-jawabnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mempertanyakannya di hari kelak Akhir.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، أَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kamu
sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung-jawab atas orang yang
dipimpinnya. Seorang Amir (Raja) adalah pemimpin, laki-laki pun pemimpin atas
keluarganya, dan perempuan juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya,
ingatlah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta
pertanggung-jawabannya atas kepemimpinannya”.[17]
Seorang
suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih,
dengan mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta melaksanakan dan mengamalkan
apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhkan diri dari setiap yang dilarang
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian dia mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat demikian juga,
sehingga anak-anaknya akan meneladani kedua orang tuanya, karena tabiat anak
memang cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.
1. Mendidik
anak dengan cara-cara yang baik dan sabar, agar mereka mengenal dan mencintai
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang menciptakannya dan seluruh alam semesta,
mengenal dan mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pada diri
Beliau terdapat suri tauladan yang mulia, serta agar mereka mengenal dan
memahami Islam untuk diamalkan.
2. Pada usia
dini (sekitar 2-3 tahun), kita ajarkan kepada mereka kalimat-kalimat yang baik
serta bacaan Al Qur’an, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan
generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in, sehingga banyak dari mereka yang sudah
hafal Al Qur’an pada usia sangat belia.
3.
Perhatian terhadap shalat juga harus menjadi prioritas utama bagi orang tua
kepada anaknya.
4.
Perhatian orang tua kepada anaknya juga dalam hal akhlaqnya, dan yang harus
menjadi penekanan utama adalah akhlaq (berbakti) kepada orang tua.
5. Juga
perlu diperhatikan teman pergaulan anaknya, karena sangat bisa jadi pengaruh
jelek temannya akan berimbas pada perilaku dan akhlaq anaknya.
6.
Disamping ikhtiar yang dilakukan untuk menjadikan isterinya menjadi isteri yang
shalihah, hendaknya sang suami juga memanjatkan do’a kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada waktu-waktu yang mustajab (waktu terkabulkannya do’a), seperti
sepertiga malam yang terakhir, agar keluarganya dijadikan keluarga yang shalih,
dan rumah tangganya diberikan sakinah, mawaddah wa rahmah, seperti do’a yang
tercantum di dalam Al Qur’an :
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan
orang-orang yang berdo’a : ”Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri
kami, keturunan-keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. [Al Furqan:74].
Paling
tidak, seorang suami hendaknya bisa menjadi teladan dalam keluarganya,
dihormati oleh sang isteri dan anak-anaknya, kemudian mereka menjadi
hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih dan shalihah, bertaqwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah
kiat-kiat yang hendaknya seorang muslim dan muslimah lakukan untuk mewujudkan
keluarga sakinah. Wallaahu a’lam bish shawab.
MARAJI’
1. ‘Isyratun Nisaa’, Imam Abu
Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali An Nasa-i, tahqiq dan ta’liq ‘Amir ‘Ali
‘Umar, Cet. Maktabah As Sunnah, Kairo, Th. 1408 H.
2. Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al
Muthahharah, ta’lif (karya) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Daarus
Salam, Th. 1423 H.
3. Irwaa-ul Ghaliil Fii Takhriji
Ahaadits Manaaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Cet. Al Maktab
Al Islami.
4. Al Insyirah Fii Adaabin Nikah,
ta’lif Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari, Cet. II, Darul Kitab Al ‘Arabi, Th. 1408
H.
5. Fiqhut Ta’aamul Baina Az Zaujaini
Wa Qabasat Min Baitin Nubuwwah, ta’lif Syaikh Abu Abdillah Mushthafa bin Al
‘Adawi, Cet. I, Darul Qasim, 1417 H.
6. Tuhfatul ‘Arus, Syaikh Mahmud Mahdi
Al Istanbuli.
7. Adaabul Khitbah Wa Zifaaf Fis
Sunnah Al Muthahharah, ta’lif ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim, Cet. I, Daarudh
Dhiyaa’, Th. 1421 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. HR Ath-Thabrani di kitab Mu’jamul
Ausath dan Syaikh Al Albani rahimahullah menghasankannya. Lihat Silsilah Al
Ahadits Ash Shahihah, no. 625.
[2]. HR Abu Dawud, no. 2.050, An
Nasa-i (VI/65-66), Al Hakim (II/162), Al Baihaqi (VII/81) dari Ma’qil bin Yasar
dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah di dalam Irwaa-ul Ghaliil,
no. 1.784.
[3]. HR Bukhari no. 5.063, Muslim no.
1.401, Ahmad (III/241, 259, 285), An Nasa-i (IV/60) dan Al Baihaqi (VII/77)
dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
[4]. HR Ahmad (II/251 dan 437), An
Nasa-i (VI/61), At Tirmidzi no. 1.655, Ibnu Majah no. 2.518 dan Al Hakim
(II/160-161) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Lafazh ini milik At
Tirmidzi, ia berkata: “Hadits ini hasan”.
[5]. HR Ahmad (I/424, 425, 432),
Bukhari no. 1905, 5065, 5066, Muslim (IV/128), At Tirmidzi no. 1.081, An Nasa-i
(VI/56-58), Ad Darimi (II/132) dan Al Baihaqi (VII/77) dari sahabat Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
[5]. HR Bukhari no. 5.090, Muslim no.
1.466, Abu Dawud no. 2.047, Nasa’i (6/68), Ibnu Majah 1.858, Ahmad (2/428) dari
sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[6]. HR Bukhari no. 5.090, Muslim no.
1.466, Abu Dawud no. 2.047, Nasa’i (6/68), Ibnu Majah 1.858, Ahmad (2/428) dari
sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[7]. HR Muslim no. 1.006, dan Ahmad
(5/167-168), Ibnu Hibban no. 1.298 (Mawarid) dari sahabat Abu Dzar z . Lafazh
ini milik Muslim.
[8]. Tafsir Ibnu Katsir (I/236), Cet.
Daarus Salam.
[9]. HR Bukhari no. 5.155, Muslim no.
1.427, Abu Dawud no. 2.109, At Tirmidzi no. 1.094, An Nasa-i (VI/119-120), Ad
Darimi (II/143), Ahmad (III/190, 271) dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu
‘anhu.
[10]. Taqribut Tahdzib (II/195 no.
6.779).
[11]. HR Abu Dawud no. 2.142, Ibnu
Majah no. 1.850 dan Ahmad (IV/447, V/3,5), Ibnu Hibban (no. 1.286-Mawarid), Al
Baihaqi (VII/295, 305, 466, 467), Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/159-160)
no. 2.330, An Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ no. 289 dengan sanad yang shahih,
Irwaa-ul Ghalil no. 2.033. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi
dan Ibnu Hibban.
[12]. HR Tirmidzi 1.159, Ibnu Hibban
1.291-Al Mawarid dan Al Baihaqi (7/291) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu. Ini adalah lafazh milik At Tirmidzi, ia berkata,”Hadits ini hasan
shahih.” Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat. Lihat Irwaul Ghalil no.
1.998.
[13]. HR Ibnu Hibban no.
1.296-Mawarid, Shahih Mawaridu Zham’an, no. 1.081 dari sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini hasan shahih. Lihat Adabuz Zifaf, hlm. 286.
[14]. HR Bukhari no. 29, 1.052, 5.197
dan Muslim no. 907(17), Abu ‘Awanah (II/379-380), Malik (I/166-167) no. 2, An
Nasa-i (III/146, 147, 148) serta Al Baihaqi (VII/294), dari sahabat Ibnu ‘Abbas
dan diriwayatkan pula dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
[15]. HR An Nasa-i dalam kitab
Isyratin Nisaa’ no. 249 , Al Hakim (II/190) dan Al Baihaqi (VII/294) dari
sahabat Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu. Al Hakim berkata,”Hadits ini
sanadnya shahih,” dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi.
[16]. Diringkas dari Fiqhut Ta’aamul
Baina Az Zaujaini Wa Qabasat Min Baitin Nubuwwah (hlm. 107-112) ta’lif Abu
Abdillah Mushthafa bin Al ‘Adawi, Cet. I, Darul Qasim.
[17]. HR Bukhari no. 893, 5.188,
Muslim no. 1829, Ahmad (II/5, 54, 111) dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma.
[18]. Untuk mengetahui lebih jelas
tentang Kiat-Kiat Menuju Keluarga Sakinah, silahkan baca buku Bingkisan
Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, oleh Penulis.
Oleh Al
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
0 komentar:
Posting Komentar