Cara Puasa Syawal
Menurut Ulama Syafi’iyah
Bagaimana cara puasa Syawal? Coba lihat bahasan dari
ulama Syafi’iyah berikut ini yang telah dirangkum.
Imam Asy-Syirazi rahimahullah menyatakan bahwa
disunnahkan bagi yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, hendaknya mengikutkan
dengan puasa enam hari di bulan Syawal. (Al-Muhadzdzab, 2: 626)
Dalil yang dibawakan dalam hal ini adalah hadits berikut.
Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang
melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan
Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164)
Imam Nawawi
rahimahullah menyatakan bahwa dalil ini adalah dalil yang shahih dan tegas
(sharih). Beliau mengatakan bahwa ini dijadikan dalam dalam madzhab Syafi’i,
Ahmad dan Daud serta yang sejalan dengan mereka tentang disunnahkannya puasa
enam hari di bulan Syawal. Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8: 51.
Imam Nawawi
rahimahullah dalam Minhaj Ath-Thalibin (1: 440) menyatakan, “Disunnahkan
melakukan puasa Syawal, lebih afdhal dilakukan berturut-turut.” Hal yang sama
dinyatakan pula oleh Imam Ar-Rafi’i Al-Qazwini dalam Al-Muharrar (1: 389).
Imam Ibrahim
Al-Baijuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal
mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan
berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu
sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama
setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal
itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang
semisal.”
Mengenai
cara puasa Syawal, Imam Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan, “Yang lebih afdhal,
puasa Syawal dilakukan muttashil, langsung setelah sehari setelah shalat ied (2
Syawal). Puasa tersebut juga afdhalnya dilakukan mutatabi’ah, yaitu
berturut-turut. Walaupun jika puasa tersebut dilakukan tidak dari 2 Syawal
(tidak muttashil), juga tidak dilakukan berturut-turut (tidak mutatabi’ah),
tetap dapat ganjaran puasa setahun. Termasuk juga tetap dapat ganjaran puasa
Syawal walau tidak berpuasa Ramadhan (misalnya karena di Ramadhan punya udzur
sakit), hal ini dikatakan oleh ulama muta’akhirin (ulama belakangan).”
(Hasyiyah Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, 1: 579-580)
Kenapa
sampai mengerjakan puasa Syawal dengan segera setelah 1 Syawal lebih afdhal?
Imam Ar-Ramli rahimahullah mengatakan, “Mengerjakan puasa Syawal berturut-turut
sehari setelah Idul Fithri lebih afdhal dikarenakan: (1) lebih segera dalam
melakukan ibadah, (2) supaya tidak bertemu dengan halangan yang membuat sulit
untuk berpuasa.” (Nihayah Al-Muhtaj, 3: 315) Imam Asy-Syirbini rahimahullah
Mughni Al-Muhtaj (1: 654) juga menyatakan hal yang sama.
Syaikh
Muhammad Az-Zuhaili hafizahullah, pakar Syafi’iyah zaman ini menyatakan, “Jika
seseorang melaksanakan puasa di bulan Syawal dengan niatan qadha’ puasa,
menunaikan nadzar puasa atau lainnya, maka ia mendapatkan kesunnahan. Namun ia
tidak mendapatkan pahala yang disebutkan dalam hadits (puasa setahun penuh).
Terkhusus yang luput dari puasa Ramadhan dan ia melakukan puasa Syawal, maka ia
tidak mendapatkan pahala puasa setahun seperti yang disebut dalam hadits.”
(Al-Mu’tamad, 2: 209)
Dalam
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (8: 51) disebutkan bahwa yang afdhal adalah
melakukan puasa Syawal berurutan langsung selepas Idul Fithri. Jika puasa
tersebut terpisah-pisah (tidak berurutan) atau ia akhirkan dari awal Syawal
atau mengerjakan di akhir-akhir Syawal, masih boleh karena yang penting
dilakukan setelah puasa Ramadhan dan masih di bulan Syawal.
Kalau tidak
sempat melakukan puasa enam hari ini di bulan Syawal, apakah boleh diqadha di
bulan Dzulqa’dah (bulan setelah Syawal)? Ulama Syafi’iyah menganggap masih
dibolehkan bagi yang luput dari puasa enam hari Syawal, boleh diqadha’ di bulan
Dzulqa’dah. Namun pahalanya di bawah dari pahala jika dilakukan di bulan
Syawal.
Ibnu Hajar
Al-Haitami rahimahullah menyatakan dalam Tuhfah Al-Muhtaj (3: 456), “Siapa yang
lakukan puasa Ramadhan lalu mengikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal,
maka seperti puasa setahun dengan pahala puasa wajib (tanpa dilipatgandakan).
Namun siapa yang melakukan puasa enam hari di bulan selain Syawal, maka
pahalanya seperti puasa setahun namun dengan ganjaran puasa sunnah.” Dinukil
dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 83292.
Kesimpulan
dari bahasan di atas:
1.
Hukum
puasa Syawal itu sunnah, bukan wajib.
2.
Lebih
afdhal melakukan puasa Syawal langsung setelah Idul Fithri agar lebih cepat
tertunaikan dan tidak ada penghalang yang akan menghalangi belakangan.
3.
Lebih
afdhal melakukan puasa Syawal berturut-turut.
4.
Puasa
Syawal boleh dilakukan secara terpisah (tidak berturut-turut) dan boleh tidak
di awal Syawal.
5.
Puasa
Ramadhan diikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan puasa
setahun penuh.
6.
Boleh
melaksanakan puasa Syawal di akhir Syawal yang penting masih di bulan Syawal.
7.
Masih
boleh mengganti puasa Syawal di bulan Dzulqa’dah bagi yang punya udzur. Namun
pahala melakukannya di bulan Syawal lebih besar.
8.
Terkhusus
yang luput dari puasa Ramadhan dan ia melakukan puasa Syawal, maka ia tidak
mendapatkan pahala puasa setahun seperti yang disebut dalam hadits.
Waktu Puasa
Syawal yang Afdal
Waktu Puasa Keutamaan
– Berpuasa
muttashilah (bersambung dengan hari Id), yaitu mulai dari 2 Syawal dan
mutatabi’ah (secara berurutan), hari puasanya berarti 2 – 7 Syawal Lebih afdal karena lebih segera dalam
menunaikan ibadah dan agar tidak luput karena menunda.
– Berpuasa
tidak dari 2 Syawal dan tidak berurutan, yang penting masih di bulan
Syawal.Boleh
Semoga
bermanfaat.
Referensi:
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan
pertama, tahun 1433 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar
Ibnu Hazm.
Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i. Cetakan kedua,
tahun 1422 H. Abu Ishaq Asy-Syirazi. Tahqiq: Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili.
Penerbit Darul Qalam Damaskus.
Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Cetakan kelima, tahun
1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili. Penerbit Darul Qalam Damaskus.
Al-Muharrar fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i. Cetakan pertama,
tahun 1434 H. Syaikh ‘Abdul Karim bin Muhammad bin ‘Abdil Karim Ar-Rafi’i
Al-Qazwini Asy-Syafi’i. Penerbit Darus Salam.
Hasyiyah Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarh
Al-‘Allamah Ibnu Al-Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matni Asy-Syaikh Abi Syuja’. Cetakan
kesepuluh, tahun 1433 H. Syaikh Ibrahim Al-Baijuri. Penerbit Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah.
Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi
‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Al-Imam Al-Faqih Ibrahim bin
Muhammad bin Ahmad Al-Baajuri. Penerbit Daar Al-Minhaj.
Minhaj Ath-Thalibin. Cetakan kedua, tahun 1426 H. Abu
Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Tahqiq: Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz
Al-Haddad. Penerbit Dar Al-Basyair.
Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh Al-Minhaj.
Cetakan keempat, tahun 1431 H. Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syirbini. Penerbit
Darul Ma’rifah.
Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj. Cetakan tahun 2012.
Muhammad bin Syihabuddin Ar-Ramli. Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyyah.
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar