Amal Sunnah di
Bulan Syawal
Bulan Ramadhan memang telah berlalu. Namun, ketaatan
belumlah berakhir. Di antara amal sunnah yang bisa dilakukan selepas bulan
Ramadhan adalah sebagai berikut.
Pertama: Puasa Enam Hari
Disunnahkan puasa enam hari di bulan Syawal. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن
صامَ رمَضَانَ ثُمَّ أتبَعَهُ سِتّاً من شوَّالٍ كان كصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal,
maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim).
Kedua :
Mengganti Puasa Sunnah Sya’ban
Dianjurkan
mengqadha’ puasa sunnah Sya’ban di bulan Syawal. ‘Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bertanya kepada seorang laki-laki, “Apakah engkau berpuasa di awal,
tengah, atau akhir bulan ini?” Laki-laki tersebut menjawab, “Tidak.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Apabila engkau telah merampungkan
puasa Ramadhan, berpuasalah dua hari sebagai pengganti puasa sunnah yang
terlewat.” (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafazh Muslim)
Ibnu Hajar
mengomentari, “Hadits ini mengandung pensyariatan qadha’ puasa sunnah”.
Termasuk di dalamnya puasa bulan Sya’ban bagi yang belum sempat mengerjakannya.
Ketiga :
Mengqadha’ I’tikaf
Disunnahkan
mengganti i’tikaf bagi mereka yang meninggalkannya di bulan Ramadhan karena
suatu udzur. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa i’tikaf di setiap bulan Ramadhan. Jika beliau
selesai shalat subuh, beliau masuk ke tempat khusus yang beliau gunakan untuk
i’tikaf. Suatu ketika, Aisyah meminta izin kepada Nabi untuk i’tikaf dan Nabi
pun mengizinkannya sehingga Aisyah memasang tenda untuk i’tikaf. Tak lama
kemudian, Hafshah mendengar kabar tersebut sehingga beliau pun ikut mendirikan
tenda. Berita itu juga sampai ke telinga Zainab sehingga beliau pun membangun
tenda yang serupa. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai
shalat subuh, beliau melihat empat tenda. Beliau pun marah, ‘Apa-apaan ini?’
Lantas disampaikan perbuatan ketiga istri tersebut kepada beliau. Beliau
kembali bertanya, ‘Faktor apa yang mendorong mereka melakukannya? Berharap
kebaikan? Bongkar tenda-tenda itu! Aku tidak ingin melihatnya!’ Tenda-tenda
tersebut akhirnya dibongkar. Nabi pun tidak i’tikaf di bulan Ramadhan tersebut
dan menggantinya di sepuluh hari terakhir di bulan Syawal” (HR. Bukhari)
Ibnu Bathal
berpendapat, “I’tikaf di bulan Syawal dan di bulan lainnya hukumnya mubah bagi
mereka yang ingin melakukannya”.
Keempat
: Umrah
Dianjurkan
berangkat umrah di bulan-bulan haji. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Dahulu kaum
Quraisy berpandangan bahwa umrah di bulan-bulan haji termasuk kejahatan yang
paling besar di muka bumi, mereka mengganti bulan Muharram menjadi bulan
Shafar, dan mereka mengatakan, ‘Apabila luka telah sembuh, bekas-bekas haji
sudah hilang, dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru dihalalkan umrah bagi
mereka yang hendak mengerjakannya.’ Lantas, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dan para sahabatnya tiba di Mekah pada pagi hari ke-empat bulan Dzulhijjah.
Mereka bertalbiyah untuk melaksanakan haji. Kemudian, Nabi memerintahkan mereka
agar menggantinya menjadi umrah. Hal tersebut terasa berat bagi mereka sehingga
mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja yang diperbolehkan?’ Beliau
menjawab, ‘Semuanya halal.’” (Muttafaqun ‘alaih).
Sebab sikap
para sahabat tersebut adalah karena mereka menyangka terlarangnya umrah di
bulan-bulan haji. Padahal boleh melakukan umrah di bulan-bulan haji hingga hari
kiamat. Tujuannya adalah membatalkan keyakinan Jahiliyah yang mengira bahwa
umrah di bulan-bulan haji itu tidak diperbolehkan.
Qatadah
mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Anas, ‘Berapa kali Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam umrah?’ Beliau menjawab, ‘Empat kali yaitu umrah Hudaibiyah
di bulan Dzulqa’dah ketika beliau dihalangi oleh kaum musyrik, umrah di tahun
berikutnya di bulan Dzulqa’dah ketika beliau berdamai dengan kaum musyrik, dan
umrah Ji’ranah ketika beliau membagi harta rampasan perang Hunain.’ Aku pun
kembali bertanya, ‘Berapa kali beliau haji?’ Anas menjawab, ‘Sekali.’” (HR.
Bukhari).
Ibnu Hajar
menyanggah, “Akan tetapi, Sa’id bin Manshur meriwatkan hadits dari Darawardi,
dari Hisyam, dari bapaknya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam umrah sebanyak tiga kali, yaitu dua kali di bulan Dzulqa’dah,
dan sekali di bulan Syawal”. Sanadnya kuat. Diriwayatkan oleh Ibnu Malik dari
Hisyam dari ayahnya secara mursal.
Namun,
riwayat dengan lafazh ‘di bulan Syawal’ berbeda dengan riwayat lain dengan
lafazh ‘di bulan Dzulqa’dah’. Komprominya, Nabi umrah di akhir bulan Syawal dan
di awal bulan Dzulqa’dah. Hal ini diperkuat dengan hadits riwayat Ibnu Majah
dengan sanad yang shahih dari Mujahid dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah umrah kecuali di bulan Dzulqa’dah.”
Kelima :
Menikah
Disunnahkan
melangsungkan akad nikah di bulan Syawal apabila di suatu daerah muncul bid’ah
yakni anggapan sial menikah di bulan Syawal. Pada saat tersebut, dianjurkan
membangun rumah tangga di bulan Syawal untuk menyelisihi pelaku bid’ah.
‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menikahiku di bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku di bulan Syawal.
Lantas, siapakah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih
beliau cintai melebihi diriku?”
Aisyah
radhiyallahu ‘anha juga menyukai apabila para wanita dipertemukan dengan
suaminya di bulan Syawal (HR. Muslim).
An-Nawawi
menjelaskan, “Maksud ‘Aisyah dengan pernyataan tersebut adalah membantah
keyakinan Jahiliyah dan anggapan orang awam yang memakruhkan menikah dan
berkumpulnya suami istri di bulan Syawal. Pendapat ini keliru dan tidak ada
dasarnya sama sekali, bahkan termasuk peninggalan Jahiliyah. Mereka dahulu
tathayyur (beranggapan sial) dengan hal tersebut karena nama Syawal diambil
dari kata isyalah yang maknanya mengangkat.”
Semoga
Allah melimpahkan kita taufiq untuk mengamalkan ibadah sunnah di atas, begitu
pun ibadah sunnah lainnya.
**
Diterjemahkan
secara ringkas dari https://www.alukah.net/web/shathary/0/118263/ karya Syaikh Abdurrahman bin Sa’ad
Asy Syatsri.
Penyusun : Ummu Fathimah
Deni Putri
Kusumawati
Artikel Muslimah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar