Waktu Shalat Isyraq
Bismillah. Afwan nanya kalau waktu syuruq jam 5.45 kapan
kita shalat isyraqnya? Khawatirnya kita shalat di waktu yang terlarang
(matahari terbit). Jazakallahu khairan wa barakallahu fik.
Bismillah, bolehkah kita setelah shalat shalat subuh di
rumah duduk ibadah sampai waktu syuruq, terus shalat isyraq, walaupun tidak
dapat pahala seperti umrah, tetapi bolehkah shalat isyraq di rumah?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Syariat shalat isyraq datang pada hadits Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ،
تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
“Barang
siapa shalat subuh berjamaah (di masjid), lalu duduk berzikir hingga terbit
matahari, kemudian shalat dua rakaat, adalah hal itu berpahala seperti pahala
satu haji dan satu umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. at-Tirmidzi)
Kata
at-Tirmidzi, “Ini adalah hadits hasan gharib. Aku telah bertanya kepada
Muhammad bin Isma’il (yakni al-Imam al-Bukhari, pen) prihal Abu Zhilal. Ia
menjawab, ‘Muqaribul hadits (riwayat haditsnya mendekati).’ Kata Muhammad,
‘Namanya adalah Hilal’.”
Kata al-Albani,
“Akan tetapi, jumhur ahli hadits menvonis Abu Zhilal sebagai rawi yang dha’if
(lemah riwayatnya). Oleh karena itu, adz-Dzahabi menyatakan dalam kitabnya yang
berjudul al-Mughni, ‘Mereka mendha’ifkan Abu Zhilal’.”
Namun,
menurut al-Albani terdapat beberapa syahid (penguat) dari riwayat yang lain.
Hal itu beliau sebutkan dalam kitab ash-Shahihah (no. 3403) dan menghukuminya
sebagai hadits hasan dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi (no. 586) dan hasan
lighairih (hasan karena penguatnya) dalam kitab Shahih at-Targhib wat Tarhib
(no. 464).
Di antara
penguatnya adalah hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu dengan lafadz,
مَنْ صَلَّى صَلاَةَ
الصُّبْحِ فِيْ مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سَبْحَةَ
الضُّحَى كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ.
“Barang
siapa shalat subuh berjamaah di masjid jami’, kemudian tetap tinggal di
tempatnya hingga melaksanakan shalat dhuha (dua rakaat), adalah hal itu
berpahala seperti pahala orang berhaji atau berumrah dengan haji dan umrah yang
sempurna.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Abul Hasan
‘Ubaidullah al-Mubarakfuri menukil dalam kitab Mir’atul Mafatih Syarhu
Misykatil Mashabih[1] bahwa ath-Thibi berkata, “Maknanya adalah lalu shalat
setelah matahari meninggi seukuran batang tombak agar waktu terlarang telah
berakhir. Shalat ini dinamakan shalat isyraq dan merupakan awal shalat dhuha.”
Begitu pula
keterangan imam-imam ahli fikih di masa ini, seperti Ibnu ‘Utsaimin dan Ibnu
Baz.
Kata
asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, “Shalat isyraq adalah shalat dhuha. Namun, jika kamu
menunaikannya di awal waktu saat matahari terbit dan telah meninggi (dari ufuk)
seukuran batang tombak (menurut pandangan kasat mata), itu dinamakan shalat
isyraq. Apabila ditunaikan di akhir waktu atau di pertengahan waktu, itu
dinamakan shalat dhuha.
Akan
tetapi, shalat isyraq tergolong shalat dhuha, karena ulama –rahimahumullah–
mengatakan bahwa waktu shalat dhuha dimulai sejak matahari meninggi seukuran
batang tombak sampai menjelang zawal (matahari bergeser ke ke arah barat).”[2]
Ibnu
‘Utsaimin juga berkata, “Shalat isyraq adalah shalat yang dilaksanakan setelah
matahari meninggi seukuran batang tombak. Lamanya menurut perhitungan jam
sekitar lima belas menit atau semisal itu. Itu adalah shalat isyraq dan
merupakan shalat dhuha, karena pelaksanaan shalat dhuha dimulai sejak matahari
meninggi seukuran batang tombak hingga menjelang zawal. Shalat dhuha lebih
utama dilaksanakan di akhir waktu daripada di awal waktu.
Kesimpulannya,
dua rakaat shalat isyraq adalah dua rakaat shalat dhuha. Hanya saja, jika
disegerakan pelaksanaannya di awal waktu, yaitu saat matahari meninggi seukuran
batang tombak, itu adalah shalat isyraq dan dhuha. Jika diakhirkan
pelaksanaannya di akhir waktu, itu adalah shalat dhuha, bukan shalat
isyraq.”[3]
Ibnu
‘Utsaimin menerangkan perbedaan istilah syuruq dan isyraq. Syuruq artinya
terbitnya matahari tanpa meninggi seukuran batang tombak. Isyraq artinya
terbitnya matahari dengan meninggi seukuran batang tombak.[4]
Kata
asy-Syaikh Ibnu Baz, “Shalat isyraq adalah shalat dhuha di awal waktu. Yang
lebih utama adalah dilaksanakan ketika waktu dhuha telah meninggi dan terik
matahari amat panas. Hal itu sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ
حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat
orang-orang yang gemar bertobat adalah ketika anak-anak onta kepanasan dari
teriknya matahari.” (HR. Muslim)
Maknanya
adalah ketika panas terik matahari menyengat anak-anak onta. Inilah makna
hadits tersebut. Shalat dhuha setidaknya dua rakaat.”[5]
Kata
asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazamul dalam kitabnya yang bertajuk Bughyatul
Mutathawwi’ fi Shalatit Tathawwu’, Shalatul Isyraq, “Telah tsabit (tetap)
penamaan shalat dhuha yang dilaksanakan di awal waktu sebagai shalat isyraq dari
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. ‘Abdullah bin Harits bin Naufal meriwayatkan,
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ
لَا يُصَلِّي الضُّحَى. فَأَدْخَلْتُهُ عَلَى أُمِّ هَانِئٍ، فَقُلْتُ: أَخْبِريْ
هَذَا بِمَا أَخْبَرْتِنِيْ
بِهِ. فَقَالَتْ أُمُّ
هَانِئٍ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمَ الْفَتْحِ فِيْ بَيْتِيْ، فَأَمَرَ
بِمَاءٍ، فَصَبَّ فِيْ قَصْعَةٍ، ثُمَّ أَمَرَ بِثَوْبٍ، فَأَخَذَ بَيْنِيْ
وَبَيْنَهُ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ رَشَّ نَاحِيَةَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى ثَمَانِ
رَكَعَاتٍ، وَذَلِكَ مِنَ الضُّحَى، قِيَامُهُنَّ وَرُكُوعُهُنَّ وَسُجُودُهُنَّ
وَجُلُوسُهُنَّ سَوَاءٌ، قَرِيبٌ بَعْضُهُنَّ مِنْ بَعْضٍ.
فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ
وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ، مَا عَرَفْتُ صَلاَةَ
الضُّحَى إِلَّا الْآنَ: { يُسَبِّحۡنَ بِٱلۡعَشِيِّ وَٱلۡإِشۡرَاقِ }، وَكُنْتُ
أَقُولُ: أَيْنَ صَلاَةُ الْإِشْرَاقِ؟ ثُمَّ قَالَ بَعْدُ: هُنَّ صَلاَةُ
الْإشْرَاقِ.
Sesungguhnya
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tidak pernah shalat dhuha. Lantas aku
membawanya masuk ke Ummu Hani’, aku berkata, “Beritakan padanya apa yang kamu
beritakan padaku.”
Ummu Hani’
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui aku di rumahku pada
hari penaklukan kota Mekah, lalu memerintahkan agar disiapkan air, lalu beliau
menuangnya ke dalam bejana, lalu memerintahkan disiapkan pakaian, lalu
mengambil tempat terpisah antara dirinya dan aku, lalu beliau mandi, lalu
memerciki salah satu sudut rumah, lalu shalat delapan rakaat. Itu adalah shalat
dhuha. Lama berdirinya, rukuknya, dan sujudnya hampir sama.”
Kemudian
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma keluar seraya berkata, “(Demi Allah) sungguh
aku telah membaca di mushaf, tetapi tidaklah aku mengetahui shalat dhuha
kecuali sekarang. (Allah berfirman),
يُسَبِّحۡنَ بِٱلۡعَشِيِّ
وَٱلۡإِشۡرَاقِ ١٨
“Gunung-gunung
itu bertasbih di pagi hari dan petang hari.” (Shad: 18)
Adalah aku
sebelumnya bertanyatanya, ‘Mana shalat isyraq itu?’ Ternyata itulah shalat
isyraq.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tafsir-nya dan al- Hakim[6]
Dari
keterangan di atas tampaklah jawaban untuk pertanyaan pertama bahwa Anda bisa
melaksanakan shalat isyraq ketika telah berlalu sekitar lima belas menit
(seperempat jam) dari waktu syuruq (terbitnya matahari).
Adapun
jawaban pertanyaan kedua, kami nukil fatwa al-Imam Ibnu Baz ketika ditanya
dengan pertanyaan yang teksnya sebagai berikut, “Apakah tinggal di rumah
setelah shalat fajar untuk membaca al-Qur’an hingga matahari terbit, kemudian
shalat dua rakaat syuruq, akan mendapat pahala yang sama yang diraih dengan
berdiam menunggu di masjid? Kami berharap dari kemuliaan Anda agar memberi
faidah dalam masalah ini. Semoga Allah memanjangkan umur Anda di atas ketaatan
kepada-Nya.”
Asy-Syaikh
Ibnu Baz menjawab, “Amal tersebut memiliki kebaikan yang banyak dan pahala yang
besar. Akan tetapi, lahiriah hadits-hadits yang datang tentang hal itu
menunjukkan bahwa amalan di atas tidak mendapat pahala yang dijanjikan untuk
orang yang duduk di tempat shalatnya di masjid.
Namun, jika
dia shalat subuh di rumah karena uzur sakit atau takut, kemudian duduk di
tempat shalatnya berzikir atau baca Qur’an hingga matahari meninggi, kemudian
shalat dua rakaat, ia meraih pahala yang dijanjikan dalam hadits-hadits itu
lantaran dia beruzur tatkala shalat di rumahnya.
Demikian
pula halnya jika seorang wanita duduk di tempat shalatnya (di rumah) setelah shalat
subuh, berzikir atau membaca Qur’an hingga matahari meninggi lalu shalat dua
rakaat, sesungguhnya ia mendapatkan pahala tersebut yang dijanjikan dalam
hadits-hadits itu, bahwa Allah ‘azza wa jalla menuliskan bagi orang yang
melakukannya pahala berhaji dan umrah yang sempurna.
Hadits-hadits
dalam hal itu jumlahnya banyak, saling menguatkan satu sama lainnya dan
tergolong dalam jenis hadits hasan lighairih (hasan karena penguatnya). Hanya
Allah yang memberi taufik.”[7]
Wallahu
a’lam.
[1] Pada Kitab ash-Shalah, Bab adz-Dzikri ba’da
ash-Shalah, al-Fashlu ats-Tsani (3/328).
[2] Lihat kitab Liqa’ Bab al-Maftuh (141/25).
[3] Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (14/305).
[4] Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il
(14/298-299).
[5] Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa li Ibni Baz
(11/400-401).
[6] Kata guru besar kami al-Imam al-Muhaddits Muqbil bin
Hadi al-Wadi’i dalam Tatabbu’ Auham al-Hakim (4/142, no. 6952), “Asal hadits
ini dalam Shahih Muslim dari riwayat Ummu Hani’.”
[7] Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa li Ibni Baz
(11/403-404).
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Mainkan dan menangkan hadiah nya bersama kami di ARENADOMINO beragam permainan POKER menanti anda semua fair play silahkan di add WA +855 96 4967353
Posting Komentar