Keutamaan tetap
duduk hingga waktu syuruq dan shalat sunnah syuruq
Shalat isyraq adalah shalat dua raka’at yang dilaksanakan
setelah melaksanakan shalat shubuh; lalu ia duduk ditempat ia shalat menunggu
waktu syuruq; kemudian shalat isyraq ketika memasuki waktu tersebut. waktu
syuruq kira-kira 90 menit setelah adzan shubuh. Silahkan lihat disini jadwal
syuruq disini. Maka ketika masuk waktu syuruq berdasarkan jadwalnya, maka KITA
TIDAK LANGSUNG SHALAT SUNNAH SYURUQ, karena waktu tersebut adalah waktu
DIHARAMKAN UNTUK SHALAT, akan tetapi menunggu kira-kira 15 menit (sebagaimana
nanti akan dijelaskan dalam atsar ‘aa-isyah radhiyallahu ‘anha).
Waktu isyraq merupakan AWAL WAKTU DHUHA; sehingga orang
yang melaksanakan shalat isyraq berarti ia telah melaksanakan shalat dhuha.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas
tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan
kukatakan :
“Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan
kepdaku”.
Lalu Ummu Hani berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke
rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta
dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta
dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara
diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan
ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang
saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama,
yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata :
“Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah
mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang…
إِنَّا
سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Artinya :
Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku
pernah bertanya :
“Mana
shalat Isyraq ?”
Dan setelah
itu dia berkata :
“Itulah
shalat Isyraq”
[Hasan
Lighairihi; Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim]
Jabir bin
Samurah rådhiyallåhu ‘anhu menyifati petunjuk nabi shållallåhu ‘alayhi wa
sallam, ia mengatakan:
كان لا يقوم من مصلاه الذي
يصلي فيه الصبح أو الغداة حتى تطلع الشمس فىإ ذا طلعت الشمس قام
“Beliau
tidak berdiri dari tempat shalatnya -dimana beliau melakukan shalat shubuh-
hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit, (maka) beliau berdiri
(untuk shalat sunnah isyraq).”
[Shahiih
Muslim (I/463) no. 670]
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى
جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
تَامَّةٍ
“Barangsiapa
yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala
sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti
pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy
no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan
At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat
juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
‘Aisyah
radhiyallåhu ‘anha berkata:
حَتَّى إِذَا
كَانَتْ السَّاعَةُ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهَا الصَّلَاةُ قَامُوا يُصَلُّونَ
“…(Mereka
duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka
mendirikan shalat”
(AR.
Bukhåriy no. 1522; dinukil dari applikasi hadits 9 imam, lidwa pusaka)
Untuk
menunggu waktu tersebut, dapat kita gunakan untuk BERDZIKIR PAGI PETANG dan
MEMBACA serta MEMPELAJARI al Qur-aan (beserta tafsirnya; spti: tafsir ibn
katsir) untuk mendulang lebih banyak keutamaan.
Apa makna
“tetap duduk ditempatnya”?
Para
ulamaa’ berbeda menjadi tiga pendapat:
Pendapat
pertama: Disyaratkan harus tetap duduk ditempat shalatnya
Syaikh
Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadis ini, bahwa keutamaan ini hanya
dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
Pertama,
Shalat subuh secara berjamaah.
Sehingga
tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah
di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah
bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
Kedua,
duduk berdzikir.
Jika duduk
tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir
adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memebrikan
nasihat, diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga,
duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari.
Tidak boleh
pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran
atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena
keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah
“sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud (duduk di tempat shalatnya di
sini) adalah dalam rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang
lain), dan dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak
boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan
fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang
keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin
menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
Keempat,
shalat dua rakaat.
Shalat ini
dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari
setinggi tombak.
(Syarh
Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68)
Pendapat
kedua: selama ia tidak meninggalkan masjid yang ia shalat didalamnya
Al Hafidz
Ibn Rajab Al Hambali mengatakan,
“Ada
perbedaan dalam memahami lafadz ‘..tempat shalatnya..’. Apakah maksudnya itu tempat
yang digunakan untuk shalat ataukah masjid yang digunakan untuk shalat?”
kemudian
Ibn Rajab membawakan hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bangkit dari tempat shalat subuh sampai
terbit matahari.
Setelah
membawakan dalil ini, Ibn Rajab berkomentar,
“…dan
diketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di
tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena setelah shalat (wajib), beliau
berpaling dan menghadapkan wajahnya kepada para sahabat radhiallahu’anhum.”
(Fathul
Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28)
Pendapat
ketiga: Tidak ada syarat untuk duduk ditempatnya, atau tetap di masjid;
barangsiapa yang terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat
(beberapa saat setelahnya), maka ia mendapatkan keutamaan hadits diatas
Mula Ali Al
Qori mengatakan,
“…kemudian
duduk berdzikir… maksudnya adalah terus-menerus di tempatnya dan masjid (yang
dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal ini tidaklah (menunjukkan)
terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf, belajar, atau mengikuti majlis
pengajian, selama masih di dalam masjid. Bahkan andaikan orang itu pulang ke
rumahnya sambil terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua
rakaat, dia masih (mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadis ini.”
(Mirqatul
Mafatih, 4:57)
Tarjih
Keterangan
Mula Ali Al Qori yang memasukkan orang yang pulang ke rumah selama berdzikir ke
dalam hadis ini, bisa dianggap kurang tepat. Karena zhahir hadis secara tegas
menunjukkan harus duduk berdzikir di dalam masjid.
Sedangkan
keterangan Ibn Rajab bolehnya berpindah tempat ketika berdzikir selama masih di
dalam masjid lebih mendekati kebenaran. Mengingat tidak adanya persyaratan
dalam hadis di atas yang menunjukkan tidak bolehnya bergeser dari tempat yang
digunakan untuk shalat.
Akan
tetapi, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga amal maka ada baiknya jika
mengikuti pendapatnya Syaikh As Sinqithy dengan tidak bergeser dari tempat
shalatnya. Wallahu a’lam.
(sumber
konsultasi syari’ah, oleh Ustadz Ammi Nur Baits)
DIPOSTING OLEH MUADZ HENDRISMAN DI 17.28 5 KOMENTAR
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Player vs Player WOW langsung saja kunjungin kami di ARENADOMINO tempat bermain Poker dan kartu yang sangat menyenangkan dan hadiah nyata menanti anda semua.. WA +855 96 4967353
Posting Komentar