Sahkah Melakukan
I’tikaf di Rumah?
BincangMuslimah.Com – Sampai hari ini jumlah yang terkena
pandemi Covid-19 masih terus meningkat. Pemerintah pun telah menginstruksikan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak beberapa pekan yang lalu.
Masyarakat diminta mengurangi aktfitas luar, terutama yang berada dalam daerah
zona merah. Mungkin ini yang membuat bulan Ramadhan kali ini tampak sangat
berbeda dari tahun kemarin.
Banyak ibadah yang selama bulan Ramadhan dilakukan di
masjid, seperti tarawih dan i’tikaf, kini ditiadakan. Jika jamah tarawih masih
bisa dilakukan berjamaah di rumah, tapi bagaimana dengan i’tikaf? Sahkah
i’tikaf yang tidak dilaksanakan di Masjid?
Menurut para ulama fiqih, i’tikaf adalah berdiam dirinya
seorang muslim di dalam masjid dengan niat ibadah. Sebagaimana definisi Imam
al-Bujairimi dalam Hasyiyah ‘ala Syarhi al-Minhaj berikut ini
الاعتكاف: اللبث بمسجد من شخص بنية. والأصل فيه قبل الإجماع
آيَةُ (وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ)، وقوله
تعالى (وَعَهِدْنَا إلَى إبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِي
لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ).
“I’tikaf
adalah berdiam dirinya seseorang di masjid dengan niat (ibadah). Dasar hukum
ijma’ adalah ayat; dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam mesjid (QS. Al-Baqarah; 187) . Dan juga firman Allah; Dan
telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf.(QS. Al-Baqarah; 125).”
Berdasarkan
firman Allah Swt tersebut, berdiam diri di masjid termasuk rukun i’tikaf.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa syarat i’tikaf bagi laki-laki harus berdiam
diri di masjid dan masjid jami’ lebih utama. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, Imam Nawawi dalam al-Majmu’, al-Syaukani
dalam Nailul Authar dan al-Badru al-Tamam dalam Syarah Bulugh al-Maram.
Namun
meskipun jumhur ulama mensyaratkan berdiam diri di masjid sebagai syarat sah
i’tikaf, tapi terdapat pendapat yang membolehkan. Di antaranya pendapat
sebagian madzhab Maliki dan imam Syafi’i dalam qaul qadim-nya. Sebagaimana Ibnu Hajar dalam kitab Fathul
Bari mennjelaskan
واتفق العلماء على مشروطية
المسجد للاعتكاف إلا محمد بن عمر بن لبابة المالكي، فأجازه في كل مكان، وأجاز
الحنفية للمرأة أن تعتكف في مسجد بيتها وهو المكان المعد للصلاة فيه. وفيه قول
للشافعي قديم وفي وجه لأصحابه وللمالكية: يجوز للرجال والنساء لأن التطوع في
البيوت أفضل. وذهب أبو حنيفة وأحمد إلى اختصاصه بالمساجد التي تقام فيها الصلوات.
وخصه أبو يوسف بالواجب منه، وأما النفل ففي كل مسجد
“Para ulama
sepakat mensyaratkan masjid untuk i’tikaf kecuali Muhammad Umar ibn Lubanah
al-Maliki, ia membolehkan i’tikaf di semua tempat. Sementara Madzhab Hanafiyah
hanya membolehkan untuk perempuan beri’tikaf di masjid rumahnya yaitu tempat
yang biasanya untuk shalat.
Sementara
dalam Qaul Qadim-nya Imam Syafi’i, juga salah satu pendapat muridnya dan dalam
madzhab Malikiyah, (i’tikaf di rumah) boleh bagi laki-laki dan perempuan karena
ibadah sunnah di rumah lebih utama. Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal
mengkhususkan harus di masjid jami’ tempat diselenggarakan shalat. Abu Yusuf
mengkhususkan masjid untuk i’tikaf wajib (contoh; sebab nadzar) dan i’tikaf
sunnah bisa di masjid manapun.”
Memang
pendapat yang rajih (kuat) mesyaratkan berdiam diri di masjid dalam ibadah i’tikaf. Hal ini bisa kita lakukan
dalam keadan normal. Akan tetapi selama masa PSBB, yang mengharuskan kita untuk
social distancing maka kita boleh mengambil pendapat sebagian ulama malikiyah
yang membolehkan untuk i’tikaf di masjid rumah.
Berikut ini
tata cara i’tikaf di rumah selama pandemi Covid-19;
Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid
rumah atau di ruangan yang biasanya digunakan untuk shalat saja atau yang
sering kita sebut mushala.
Kedua, sebelum i’tikaf pastikan suci dari
hadas kemudian berniat i’tikaf dengan melafalkan niat berikut ini;
نَوَيْتُ الإعْتِكَافَ للهِ
تَعَالى
nawaitul
i’tikaafa lillahi ta’ala
Artinya;
Aku niat i’tikaf karena Allah Ta’ala
Ketiga, orang yang i’tikaf harus berdiam
diri di musala rumah dan tidak keluar ruangan kecuali karena darurat seperti
buang hajat dan semisalnya. Hendaknya berdiam diri di sana selama waktu
i’tikaf, baik hanya beberapa jam atau selama sepertiga malam setelah shalat
tarawih. Jika keluar dari tempat i’tikaf untuk buang hajat, maka ia harus
memperbarui wudhunya dan kemudian niat i’tikaf kembali.
Keempat, menyibukkan diri dengan ibadah
selama beri’tikaf seperti shalat sunnah, dzikir, membaca al-Quran dan lain
sebagainya agar tercapai tujuan i’tikaf.
Kesimpulannya, memilih pendapat marjuh yang
membolehkan i’tikaf di mushalla rumah bisa menjadi alternatif pilihan selama
kendala yang dihadapi masyarakat masih berlangsung, yaitu pandemi Covid-19.
Jika kendala hilang dan keadaan kembali seperti sedia kala, maka kembali ke
hukum asal i’tikaf yaitu i’tikaf harus berdiam diri di masjid mengikuti
pendapat rajih yang dipegang mayoritas ulama. Sebagaimana kaidah ushul fiqh;
الحكم يدور مع علته وجودًا
وعدمًا
“Hukum itu
berputar berdasarkan ilatnya, dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”
Dengan
memilih pendapat yang membolehkan i’tikaf di rumah memiliki pengaruh yang besar
karena dengan demikian kita bisa melaksanakan sunnah i’tikaf sekaligus menjaga
keluarga agar terhindar dari tertular pandemi Covid-19. Hal ini lebih baik dari
pada meniadakan ibadah i’tikaf sama sekali. Wallahu’alam.
OlehNeneng Maghfiro
0 komentar:
Posting Komentar