Anak adalah Amanah
ANAK merupakan anugerah Allah Swt dan perhiasan hidup.
Oleh sebab itu, secara naluri setiap manusia mendambakan kehadiran seorang
anak, dan merasa belum sempurna hidupnya jika belum memiliki anak. Bagi orang
tua yang memiliki anak, banyak dari mereka yang begitu bahagia akan
kehadirannya. Mereka bangga akan prestasi anaknya, entah itu mendapat rangking
terbaik di sekolah, juara dalam sebuah perlombaan, sukses meraih gelar
akademik, menduduki sebuah jabatan, dan lain-lain.
Namun sebaliknya, tidak sedikit pula orang tua, yang
harus mengalami masa sulit akibat ulah dan perilaku si anak yang tidak sesuai
harapan dan keinginan orang tua. Hal tersebut tidak jarang mengakibatkan
depresi dan kesehatan yang buruk, misalnya saja si anak terjebak kasus narkoba,
pergaulan bebas, jauh dari nilai-nilai dan tuntunan agama serta hal lainnya
yang membuat hati orang tuanya miris dan kecewa.
Untuk itu, Alquran mengingatkan bahwa anak dan harta
merupakan cobaan, maka jangan sampai menyebabkan kelalaian kepada Allah Swt,
sebagaimana firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta
bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa
yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS.
al-Munafiqun: 9). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa hartamu
dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada
pahala yang sabar.” (QS. al-Anfal: 28).
Di sisi lain, Alquran mengingatkan kita agar
memperhatikan keluarga dan menyelamatkan mereka dari siksa api neraka,
“peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka”, serta adanya
kekhawatiran terhadap mereka kelak jika meninggalkannya dalam kondisi lemah
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. an-Nisa`: 9).
Menjaga psikologis anak
Baginda Rasulullah memperlakukan anak-anak begitu mulia,
sehingga anak tidak merasa dilecehkan atau dianaktirikan. Nabi saw, misalnya,
mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan mereka. Hal ini bertujuan untuk
memupuk rasa percaya diri dan menanamkan dalam jiwa mereka bahwa eksistensinya
diakui oleh masyarakat.
Dalam konteks memelihara perasaan anak, beliau menegur
seorang pengasuh yang merenggut dengan kasar seorang anak yang kencing di
pangkuan Rasulullah saw, dengan sabdanya, “Kencing yang membasahi bajuku ini
dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati
anak ini dari renggutanmu itu.” Ini berarti, menjaga psikologis anak lebih
diutamakan daripada hal lainnya.
Beliau juga senang bermain dengan mereka agar anak dapat
merasa bahwa apa yang dilakukannya, bukan saja direstui, tetapi juga dianggap
penting oleh orang dewasa. Ini merupakan satu upaya untuk menjadikan anak lebih
bersahabat dengan orang tuanya yang pada gilirannya menjadikan sang anak lebih
terbuka. Di sisi lain, melalui permainan dapat terungkap kepribadian anak,
serta tingkat kecerdasan pikiran dan emosionalnya.
Demikianlah sikap Nabi saw, maka jangan pernah
menyia-nyiakan anak apalagi menelantarkannya, karena ia titipan Allah Swt.
Seorang anak haruslah dirawat dan dipelihara secara baik, diberikan pengayoman,
kasih sayang sepenuhnya tanpa boleh menyakitinya. Anak merupakan investasi yang
paling mahal dan berharga, karena ia mampu menyelamatkan orang tuanya dari
siksa api neraka melalui doa-doa dan kesalehannya.
Semua orang tua berharap agar anaknya menjadi saleh,
berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Bahkan, ketika kelak meninggalkan dunia
fana ini, orang tua sangat berharap anaknyalah yang memandikan jenazahnya,
membalutkan kain kafan pada sekujur tubuhnya, menjadi imam shalat jenazah,
serta dapat mengantarkan mereka ke surga. Namun harapan indah itu tidak mungkin
terwujud begitu saja tanpa adanya pembekalan sejak dini. Untuk itu, Rasulullah
saw mengingatkan bahwa anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, suci laksana kain
putih. Kedua orang tuanyalah yang berperan besar; apakah kelak anaknya menjadi
seorang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi.
Melihat fenomena perilaku anak dewasa ini, tampaknya
harapan di atas dan cita-cita kita sebagai orang tua sulit terwujud dan bisa
dianggap hanya sebuah mimpi belaka. Betapa tidak, banyak kita temukan anak yang
masih belia, tetapi tidak memiliki sopan santun, tutur katanya begitu kasar,
berani melakukan kekerasan terhadap teman, melakukan pelecehan, perampokan, dan
pembunuhan. Tidak sedikit pula yang terjerumus ke dunia narkoba, judi,
kecanduan pornografi, ugal-ugalan di jalan raya, suka bolos sekolah, enggan
menunaikan shalat lima waktu, enggan mempelajari kitab suci Alquran, dan
lain-lain.
Fenomena yang sungguh menyesakkan dada dan membuat hati
miris, tetapi kita sebagai orang tua tidak boleh berpangku tangan dan putus
asa. Tetaplah bersungguh-sungguh memberikan perhatian serius kepada anak-anak
dengan membangun karakter, akhlakul karimah, dan menanamkan ilmu agama sejak
dini. Mengenalkannya bacaan Alquran dan praktik shalat, mengajarkannya makhraj
dan tajwid Alquran, serta makna yang tersingkap di dalamnya, mengenalkan
keteladanan baginda Rasululluh, sahabat, keluarga, dan lain-lain yang
bermanfaat dan mudah dicerna.
Hal ini akan mudah diresap dan dipraktekkan oleh si anak
jika kita mulai dari diri sendiri dan internal keluarga. Kita berikan
keteladanan kepada anak-anak, dimulai dari hal-hal kecil, misalnya ketika akan
melakukan sesuatu mengucapkan basmalah, mengucapkan salam ketika masuk rumah,
hangat kepada tamu, bertutur kata yang lembut kapada pasangan, membiasakan
mengaji di rumah, dan membiasakan shalat lima waktu secara berjamaah.
Jangan bersikap acuh
Jangan lepas tangan dan bersikap acuh tak acuh terhadap
anak, merasa keberatan dalam mendidiknya dengan dalih tingginya biaya
operasional sehingga anak putus sekolah dan kehilangan masa depan. Terkadang
sikap dan ambisi sebagian orang tua berbanding terbalik, jika itu untuk
pemenuhan hasrat pribadi, seperti kebutuhan merokok, pulsa, make up, agar
tampak modis, sehingga ia rela banting tulang. Tetapi loyo jika untuk kebutuhan
anak bahkan merasa itu sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Tidak peduli
terhadap perkembangan si anak, bahan bacaan yang dia geluti dan lain-lain.
Perlu digarisbawahi bahwa pendidikan anak bukan hanya
tanggung jawab pemerintah, tetapi orang tua memiliki peran yang besar.
Kesuksesan seorang anak sangat tergantung dengan usaha orang tua, keluarga,
masyarakat dan lingkungannya. Jangan pernah menyalahkan guru/sekolah kalau anak
kita miskin ilmu dan akhlak, dan kita tidak dapat menuntut dari anak-anak kita
untuk menampilkan akhlak mulia, jika kita tidak mempersiapkan lahan yang subur
untuk menjadikan mereka mampu menampilkannya, yakni perhatian orang tua,
keluarga, bacaan yang bermutu, dan lingkungan yang sehat.
Perlindungan terhadap anak, dalam sisi agama menuntut
adanya pendidikan agama bagi anak di rumah dan di lembaga-lembaga pendidikan
dimana dia belajar sesuai dengan agama yang dianut orang tuanya. Perlu juga
dicatat bahwa kesalehan ayah-ibu dan keharmonisan antara suami-isteri dalam
rumah tangga dapat berdampak positif kepada anak. Maka berhati-hatilah dalam
mendidik anak, berikanlah perhatian yang besar dengan tulus dan jangan ada pilih
kasih di antara mereka. Panggillah dengan kata yang lembut dan mesra yang
mencerminkan kasih sayang orang tua terhadap buah hatinya.
Kalau merujuk Alquran, terdapat empat dasar pokok
pendidikan anak yaitu, akidah, ibadah, akhlak terhadap orang lain dan akhlak
terhadap diri sendiri sebagaimana dikisahkan dalam surat Luqman. Fondasi yang
paling utama adalah menanamkan akidah yang kokoh dalam jiwa, yaitu tentang
keesaan Allah agar tetap terjaga dan terlindungi di manapun berada. Setelah
penanaman akidah barulah disusul dengan perintah ibadah kepada Allah Swt. Itu
berati, bahwa ibadah itu harus disertai dengan ketauhidan yang mantap, sehingga
tidak mudah terkontaminasi oleh ajaran sesat dan menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia
akan menduduki tempat terhormat, sejajar, bahkan dapat melebihi kedudukan
umumnya malaikat. Setelah anjuran beribadah, lalu anjuran untuk berbuat baik
kepada siapa pun, tidak boleh bersikap angkuh dan sombong. Semakin memiliki
ilmu semakin tawadhu‘ dan rendah hati, semakin memiliki tata krama yang tinggi
dengan berbuat santun dan menghargai orang tua, guru, antar-teman dengan tidak
melakukan tawuran di sekolah.
Setelah pilar akidah, ibadah, akhlak terhadap orang lain
lalu kemudian disusul dengan akhlak terhadap diri sendiri yaitu selalu
bersyukur dan tidak mudah berputus asa. Maka didiklah anak sesuai pesan
Alquran, jangan bersikap kasar dan melecehkannya sebagaimana ungkapan para
pakar, Jika anak disalahkan, dia belajar mencemoohkan, jika anak dihina, dia
hidup menjadi penakut, jika ia dipermalukan, ia selalu merasa bersalah, jika ia
hidup dalam permusuhan, ia belajar berkelahi. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Oleh Agustin
Hanafi
Editor: bakri
* Dr. H. Agustin
Hanafi, MA., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda-Aceh, dan
anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar