Selasa, 12 Mei 2020

Anak adalah Amanah


Anak adalah Amanah


ANAK merupakan anugerah Allah Swt dan perhiasan hidup. Oleh sebab itu, secara naluri setiap manusia mendambakan kehadiran seorang anak, dan merasa belum sempurna hidupnya jika belum memiliki anak. Bagi orang tua yang memiliki anak, banyak dari mereka yang begitu bahagia akan kehadirannya. Mereka bangga akan prestasi anaknya, entah itu mendapat rangking terbaik di sekolah, juara dalam sebuah perlombaan, sukses meraih gelar akademik, menduduki sebuah jabatan, dan lain-lain.

Namun sebaliknya, tidak sedikit pula orang tua, yang harus mengalami masa sulit akibat ulah dan perilaku si anak yang tidak sesuai harapan dan keinginan orang tua. Hal tersebut tidak jarang mengakibatkan depresi dan kesehatan yang buruk, misalnya saja si anak terjebak kasus narkoba, pergaulan bebas, jauh dari nilai-nilai dan tuntunan agama serta hal lainnya yang membuat hati orang tuanya miris dan kecewa.

Untuk itu, Alquran mengingatkan bahwa anak dan harta merupakan cobaan, maka jangan sampai menyebabkan kelalaian kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Munafiqun: 9). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang sabar.” (QS. al-Anfal: 28).

Di sisi lain, Alquran mengingatkan kita agar memperhatikan keluarga dan menyelamatkan mereka dari siksa api neraka, “peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka”, serta adanya kekhawatiran terhadap mereka kelak jika meninggalkannya dalam kondisi lemah “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. an-Nisa`: 9).

Menjaga psikologis anak

Baginda Rasulullah memperlakukan anak-anak begitu mulia, sehingga anak tidak merasa dilecehkan atau dianaktirikan. Nabi saw, misalnya, mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan mereka. Hal ini bertujuan untuk memupuk rasa percaya diri dan menanamkan dalam jiwa mereka bahwa eksistensinya diakui oleh masyarakat.

Dalam konteks memelihara perasaan anak, beliau menegur seorang pengasuh yang merenggut dengan kasar seorang anak yang kencing di pangkuan Rasulullah saw, dengan sabdanya, “Kencing yang membasahi bajuku ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutanmu itu.” Ini berarti, menjaga psikologis anak lebih diutamakan daripada hal lainnya.

Beliau juga senang bermain dengan mereka agar anak dapat merasa bahwa apa yang dilakukannya, bukan saja direstui, tetapi juga dianggap penting oleh orang dewasa. Ini merupakan satu upaya untuk menjadikan anak lebih bersahabat dengan orang tuanya yang pada gilirannya menjadikan sang anak lebih terbuka. Di sisi lain, melalui permainan dapat terungkap kepribadian anak, serta tingkat kecerdasan pikiran dan emosionalnya.

Demikianlah sikap Nabi saw, maka jangan pernah menyia-nyiakan anak apalagi menelantarkannya, karena ia titipan Allah Swt. Seorang anak haruslah dirawat dan dipelihara secara baik, diberikan pengayoman, kasih sayang sepenuhnya tanpa boleh menyakitinya. Anak merupakan investasi yang paling mahal dan berharga, karena ia mampu menyelamatkan orang tuanya dari siksa api neraka melalui doa-doa dan kesalehannya.

Semua orang tua berharap agar anaknya menjadi saleh, berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Bahkan, ketika kelak meninggalkan dunia fana ini, orang tua sangat berharap anaknyalah yang memandikan jenazahnya, membalutkan kain kafan pada sekujur tubuhnya, menjadi imam shalat jenazah, serta dapat mengantarkan mereka ke surga. Namun harapan indah itu tidak mungkin terwujud begitu saja tanpa adanya pembekalan sejak dini. Untuk itu, Rasulullah saw mengingatkan bahwa anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, suci laksana kain putih. Kedua orang tuanyalah yang berperan besar; apakah kelak anaknya menjadi seorang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi.

Melihat fenomena perilaku anak dewasa ini, tampaknya harapan di atas dan cita-cita kita sebagai orang tua sulit terwujud dan bisa dianggap hanya sebuah mimpi belaka. Betapa tidak, banyak kita temukan anak yang masih belia, tetapi tidak memiliki sopan santun, tutur katanya begitu kasar, berani melakukan kekerasan terhadap teman, melakukan pelecehan, perampokan, dan pembunuhan. Tidak sedikit pula yang terjerumus ke dunia narkoba, judi, kecanduan pornografi, ugal-ugalan di jalan raya, suka bolos sekolah, enggan menunaikan shalat lima waktu, enggan mempelajari kitab suci Alquran, dan lain-lain.

Fenomena yang sungguh menyesakkan dada dan membuat hati miris, tetapi kita sebagai orang tua tidak boleh berpangku tangan dan putus asa. Tetaplah bersungguh-sungguh memberikan perhatian serius kepada anak-anak dengan membangun karakter, akhlakul karimah, dan menanamkan ilmu agama sejak dini. Mengenalkannya bacaan Alquran dan praktik shalat, mengajarkannya makhraj dan tajwid Alquran, serta makna yang tersingkap di dalamnya, mengenalkan keteladanan baginda Rasululluh, sahabat, keluarga, dan lain-lain yang bermanfaat dan mudah dicerna.

Hal ini akan mudah diresap dan dipraktekkan oleh si anak jika kita mulai dari diri sendiri dan internal keluarga. Kita berikan keteladanan kepada anak-anak, dimulai dari hal-hal kecil, misalnya ketika akan melakukan sesuatu mengucapkan basmalah, mengucapkan salam ketika masuk rumah, hangat kepada tamu, bertutur kata yang lembut kapada pasangan, membiasakan mengaji di rumah, dan membiasakan shalat lima waktu secara berjamaah.
Jangan bersikap acuh

Jangan lepas tangan dan bersikap acuh tak acuh terhadap anak, merasa keberatan dalam mendidiknya dengan dalih tingginya biaya operasional sehingga anak putus sekolah dan kehilangan masa depan. Terkadang sikap dan ambisi sebagian orang tua berbanding terbalik, jika itu untuk pemenuhan hasrat pribadi, seperti kebutuhan merokok, pulsa, make up, agar tampak modis, sehingga ia rela banting tulang. Tetapi loyo jika untuk kebutuhan anak bahkan merasa itu sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Tidak peduli terhadap perkembangan si anak, bahan bacaan yang dia geluti dan lain-lain.

Perlu digarisbawahi bahwa pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi orang tua memiliki peran yang besar. Kesuksesan seorang anak sangat tergantung dengan usaha orang tua, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Jangan pernah menyalahkan guru/sekolah kalau anak kita miskin ilmu dan akhlak, dan kita tidak dapat menuntut dari anak-anak kita untuk menampilkan akhlak mulia, jika kita tidak mempersiapkan lahan yang subur untuk menjadikan mereka mampu menampilkannya, yakni perhatian orang tua, keluarga, bacaan yang bermutu, dan lingkungan yang sehat.

Perlindungan terhadap anak, dalam sisi agama menuntut adanya pendidikan agama bagi anak di rumah dan di lembaga-lembaga pendidikan dimana dia belajar sesuai dengan agama yang dianut orang tuanya. Perlu juga dicatat bahwa kesalehan ayah-ibu dan keharmonisan antara suami-isteri dalam rumah tangga dapat berdampak positif kepada anak. Maka berhati-hatilah dalam mendidik anak, berikanlah perhatian yang besar dengan tulus dan jangan ada pilih kasih di antara mereka. Panggillah dengan kata yang lembut dan mesra yang mencerminkan kasih sayang orang tua terhadap buah hatinya.

Kalau merujuk Alquran, terdapat empat dasar pokok pendidikan anak yaitu, akidah, ibadah, akhlak terhadap orang lain dan akhlak terhadap diri sendiri sebagaimana dikisahkan dalam surat Luqman. Fondasi yang paling utama adalah menanamkan akidah yang kokoh dalam jiwa, yaitu tentang keesaan Allah agar tetap terjaga dan terlindungi di manapun berada. Setelah penanaman akidah barulah disusul dengan perintah ibadah kepada Allah Swt. Itu berati, bahwa ibadah itu harus disertai dengan ketauhidan yang mantap, sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh ajaran sesat dan menyimpang dari ajaran Islam.

Dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia akan menduduki tempat terhormat, sejajar, bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat. Setelah anjuran beribadah, lalu anjuran untuk berbuat baik kepada siapa pun, tidak boleh bersikap angkuh dan sombong. Semakin memiliki ilmu semakin tawadhu‘ dan rendah hati, semakin memiliki tata krama yang tinggi dengan berbuat santun dan menghargai orang tua, guru, antar-teman dengan tidak melakukan tawuran di sekolah.

Setelah pilar akidah, ibadah, akhlak terhadap orang lain lalu kemudian disusul dengan akhlak terhadap diri sendiri yaitu selalu bersyukur dan tidak mudah berputus asa. Maka didiklah anak sesuai pesan Alquran, jangan bersikap kasar dan melecehkannya sebagaimana ungkapan para pakar, Jika anak disalahkan, dia belajar mencemoohkan, jika anak dihina, dia hidup menjadi penakut, jika ia dipermalukan, ia selalu merasa bersalah, jika ia hidup dalam permusuhan, ia belajar berkelahi. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Oleh Agustin Hanafi
Editor: bakri

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda-Aceh, dan anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. 




0 komentar:

Posting Komentar