Di Tengah Wabah Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan
I'tikaf?
Itikaf bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul
Qadar. Ilustrasi/SINDOnews
RAMADHAN hari ini adalah hari ke-12. Besok kita memasuki
hari ke-13. Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (SAW) telah memberi kisi-kisi
bahwa malam Lailatul Qadar akan turun 10 hari terakhir pada tiap Ramadhan.
(Baca juga: Imam Ghazali: Lailatul Qadar Ramadhan Tahun Ini Turun 20 Mei)
Ahmad Zarkasih, Lc, dalam buku "Meraih Lailatul
Qadar, Haruskah I’tikaf?" menyebut tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang
sangat galak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika masuk sepuluh terakhir
Ramadhan ialah beri’tikaf. Yaitu berdiam diri di masjid dengan segala kegiatan
ibadah.
Namun, menurut Zarkasih, kaitannya dengan malam Lailatul
Qadar, Itikaf bukanlah syarat dengan yang disyarati. "I’tikaf bukanlah
syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar," ujarnya.
Hanya saja, menurut Zarkasih, jika mampu beri’tikaf
mengapa tidak? "Karena itu ialah sunnah yang sangat besar pahalanya. Dan
itulah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi selama 10 terakhir
Ramadhan sepanjang hidup beliau," ujarnya.
‘Aisyah ra bercerita bahwa: “Nabi saw (selalu) beri’tikaf
di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau” (HR
Bukhari & Muslim)
Tapi sesungguhnya, malam Lailatul Qadar tidaklah
dikhususkan untuk mereka yang beri’tikaf saja, tapi siapapun yang ketika malam
itu menghidupkan malamnya dengan ibadah.
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang
siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan ihtisab
(mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau”
(HR Bukhari)
Bagi mereka
yang harus bekerja di malam hari, ia terhalang untuk bisa beri’tikaf. Juga bagi
wanita yang tidak bisa beri’tikaf karena mendapatkan dirinya dalam keadaan
tidak suci. Mereka-mereka ini masih punya kesempatan juga untuk mendapatkan
kemuliaan malam Lailatul Qadar.
Menurut
Zarkasih, i’tikaf itu sendiri bukanlah suatu kewajiban. "Hanya saja memang
dengan beri’tikaf, kesempatan untuk terus beribadah sangatlah terbuka
lebar," paparnya.
Orang yang
beri’tikaf bagaimanapun keadaannya di masjid, ia tetap terhitung sebagai orang
yang beri’tikaf dan tentu saja itu dalam ibadah, walaupun ia tidur.
Dan
keinginan untuk beribadah sangatlah besar ketika seseorang itu berada dalam
masjid, karena termotivasi oleh saudara-saudaranya yang sedang beri’tikaf juga.
Tetapi bagi
yang tidak beri’tikaf, ia tidak bisa disebut dalam ibadah. Ibadahnya di rumah
tentu tidak bisa disamakan dengan ibadahnya orang yang beri’tikaf, karena ia
mendapatkan pahala lebih dari ritual i’tikafnya tersebut.
Anggota Tim
Asatidz di Rumah Fiqih Indonesia itu selanjutnya menjelaskan semangat beribadah
ketika berada dalam rumah tentu tidak sebesar ketika kita beri’tikaf di masjid.
"Di rumah kita bisa saja berpaling dari ibadah ke kegiatan lain dengan
sangat mudah. Sekitar kita ada ponsel, laptop yang bisa kita nyalakan kapan
saja, remote control telivisi yang bisa kita pencet tombolnya untuk
menonton," katanya.
Fokus
ibadahnya pun menjadi buyar, karena banyak gangguannya. Dan itu berbeda jika
kita berada dalam masjid ketika i’tikaf.
Orang yang
beri’tikaf, karena kedekatannya dengan ibadah di malam itu, maka kedekatannya
untuk mendapatkan malam Lailatul-Qadar pun menjadi sangat terbuka lebar.
I'tikaf di
Tengah Wabah
Kini
i’tikaf menjadi terganggu karena di tengah pandemi virus corona. Dalam kondisi
saat ini, mengedepankan keselamatan diri sendiri dan masyarakat secara umum
jauh lebih penting. Ustaz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren
Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember, Jawa Timur, berpendapat dalam kondisi
saat ini i’tikaf cukup di ruangan yang dikhususkan untuk salat yang terdapat di
rumah kita, atau yang biasa disebut dengan istilah masjid al-bait.
Menurut
Ustaz Ali Zainal, melaksanakan ibadah i’tikaf di ruangan dalam rumah yang
dikhususkan untuk salat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut
pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i.
Sedangkan
bagi laki-laki juga sah dan diperbolehkan menurut pandangan sebagian ulama
mazhab Syafi’i, dengan mengikut pada nalar “jika salat sunnah saja yang paling
utama dilakukan di rumah, maka i’tikaf di rumah semestinya bisa dilakukan”.
Pandangan
bolehnya i’tikaf di ruangan salat yang terdapat di rumah baik bagi laki-laki
dan perempuan rupanya juga diusung oleh sebagian ulama mazhab Maliki.
Salah satu
ulama terkemuka mazhab Hanafi, Ibnu Abidin mendeskripsikan tentang ruangan di
dalam rumah yang diperuntukkan untuk salat dengan sekiranya ruangan tersebut
terdapat mihrab (tempat pengimaman), bersih dan wangi, sebagaimana
tempat-tempat yang digunakan untuk ibadah salat pada umumnya.
“Yang
dimaksud masjid rumah adalah ruangan yang diperuntukkan melaksanakan ibadah
sunnah dan salat sunnah, dengan gambaran dalam ruangan tersebut terdapat mihrab
dan ruangan tersebut dibersihkan serta diberi wewangian, seperti halnya yang
diperintahkan (syara’). Memiliki ruangan dengan model demikian disunnahkan bagi
setiap muslim” (Muhammad Amin bin ‘Umar bin Abdul Aziz Abidin, Hasyiyah ibnu
‘Abidin, juz 1, hal. 675).
Meski
disebut sebagai “masjid al-bait” namun bukan berarti ruangan yang diperuntukkan
salat ini juga berlaku hukum sebagaimana masjid secara umum, berupa berstatus
wakaf dan tidak dapat diperjualbelikan. Sebab kata “masjid” sebatas penamaan
saja, tidak sampai berlaku ketentuan hukum masjid secara syara’.
“Dalam
kitab al-Khulashah dijelaskan bahwa disunnahkan bagi setiap muslim untuk membuat
masjid di rumahnya untuk dibuat melaksanakan shalat sunnah dan ibadah sunnah,
meskipun tempat demikian tidak berlaku hukum masjid” (‘Ubadillah bin Mas’ud
al-Mahbubi, Syarh al-Wiqayah, juz 1, hal. 369).
Ustaz Ali
Zainal menyimpulkan bahwa melaksanakan i’tikaf di ruangan khusus untuk salat
yang terdapat di rumah merupakan persoalan khilafiyah (ada ragam pendapat).
Mengikuti
pendapat ulama yang memperbolehkan dapat dijadikan sebagai solusi bagi kita
agar tetap dapat melaksanakan i’tikaf di tengah persebaran pandemi Covid-19,
ketika melaksanakan i’tikaf di masjid sudah tidak memungkinkan atau berpotensi
tertular.
Miftah H. Yusufpati
0 komentar:
Posting Komentar