Jumat, 02 Februari 2018

Terhadap Sesama Muslim Mari Saling Menghargai

Terhadap Sesama Muslim Mari Saling Menghargai


Mari tetap menjadi pribadi yang benar dengan tidak membiarkan sesama terjerumus pada ketidakbenaran

SESEORANG bercerita dengan nada kesal, perihal rekannya yang telah berulang kali menerobos area dan otoritas kerja yang diembannya. Padahal mereka satu tim, hanya memang dalam bagian tertentu ada teritorial masing-masing yang antara satu dan lainnya memang harus saling menghormati.

Hal ini mendorong dirinya menyampaikan perihal tersebut ke dalam grup diskusi online yang diikutinya. Bukan mendapat respon yang diharapkan, pihak yang semestinya memberikan klarifikasi justru bersikap kurang kooperatif.

Sebagian merespon dengan taushiyah alias nasehat. Namun, dalam konteks tersebut, nasehat belum cukup, sebab selain perlunya segera regulasi yang mengatur, sikap sebagai seorang Muslim terhadap Muslim lainnya belum benar-benar ditegakkan, yakni saling menghargai.

Padahal, sebagai sebuah umat, antara satu Muslim dengan Muslim lainnya adalah satu tubuh, sehingga bagaimana mungkin tangan rela melukai kaki, dan kaki kanan menyakiti kaki kiri. Semua adalah kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, saling menghormati dan menghargai adalah perkara yang tak bisa dijauhkan dari sikap setiap pribadi Muslim.

Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub dalalm bukunya “Fiqh Adab” menjelaskan bahwa sikap Muslim terhadap Muslim lainnya mestinya saling merendah dan berlemah lembut. Sikap ini dapat mengekalkan persaudaraan di tengah mereka juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara mereka. Sedangkan takabbur dan meremehkan orang lain adalah sebab sebagian di antara mereka menjauhi sebagian lainnya yang bisa jadi akan memutuskan tali persaudaraan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian merendah hingga tidak ada seorang pun meremehkan orang lain dan bersikap sombong kepada orang lain.” (HR. Muslim).

Ada kisah menarik dalam hal ini, yang terjadi antara dua sahabat Nabi, yakni Abidzar Al-Ghifari dengan Bilal bin Rabah radhiyallahuanhuma.

Suatu waktu beberapa shahabat berkumpul dalam satu majelis. Ada Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Bilal, dan Abidzar, sementara Rasulullah sedang tidak bersama mereka.

Majelis itu pun berdiskusi tentang suatu perkara Kemudian Abidzar menyampaikan pendapat, “Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan demikian dan demikian.”

Mendengar usulan tersebut, Bilal menimpali, “Tidak, itu adalah usulan yang salah.”

Mendapati ucapan Bilal, Abidzar emosi lalu berkata, “Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam?”

“Lâ Ilâha illallâh! Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?” sambung Abidzar.

Merajut Benang Ukhuwah

Bilal pun berdiri dengan kemarahan yang sama. Dengan nada tinggi dia berkata, “Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Shaallahu ‘Alaihi Wassallam,” lalu Bilal pun pergi kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam.

Begitu bertemu Rasulullah, Bilal berkata, “Wahai, Rasulullah. Maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abidzar kepadaku?”

Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam menjawab, “Apakah yang telah dikatakannya?”
Bilal berkata, “Dia telah berkata begini dan begitu.”

Mendengar jawaban Bilal, rona muka Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam berubah.
Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh Abidzar datang. Dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.”

Ketika itu Rasulullah sangat marah, hingga dikatakan, “Kami tidak tahu apakah Nabi menjawab salamnya atau tidak.”

Nabi bersabda, “Wahai, Abidzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat jahiliyah.” (HR. Bukhari).

Dengan demikian, janganlah perbedaan pendapat menjadikan tali persaudaraan terputus. Sebab tidak ada kemuliaan pada sikap diri merendahkan sesama, apalagi merasa diri yang paling benar untuk selanjutnya memaki-maki bahkan melucuti kehormatan sesama Muslim.
Sebaiknya berupaya agar tetap bisa saling merendahkan diri. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang merendahkan diri di hadapan Allah melainkan Allahakan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).

Hanya dengan sikap demikian, perintah Allah yang bersifat strategis dalam upaya membangun kekuatan umat bisa dilaksanakan dengan baik dan tersistem.


‌ۘوَتَعَاوَنُواْعَلَىٱلۡبِرِّوَٱلتَّقۡوَىٰ‌ۖوَلَاتَعَاوَنُواْعَلَىٱلۡإِثۡمِوَٱلۡعُدۡوَٲنِ‌ۚوَٱتَّقُواْٱللَّهَ‌ۖإِنَّٱللَّهَشَدِيدُٱلۡعِقَابِ


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2).

Jadi, mari tetap menjadi pribadi yang benar dengan tidak membiarkan sesama terjerumus pada ketidakbenaran. Andai pun harus bereaksi dengan sikap keras, tetaplah itu diorientasikan pada terwujudnya semangat ukhuwah, bukan permusuhan.

Semoga Allah senantiasa membimbing diri kita untuk senantiasa menghormati, menghargai sesama Muslim, sehingga dengan demikian barisan umat Islam semakin kuat dalam segala sisi kehidupan. Wallahu a’lam.*

Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar


0 komentar:

Posting Komentar