Terhadap Sesama Muslim Mari Saling Menghargai
Mari tetap menjadi pribadi yang benar dengan tidak
membiarkan sesama terjerumus pada ketidakbenaran
SESEORANG bercerita dengan nada kesal, perihal rekannya
yang telah berulang kali menerobos area dan otoritas kerja yang diembannya.
Padahal mereka satu tim, hanya memang dalam bagian tertentu ada teritorial
masing-masing yang antara satu dan lainnya memang harus saling menghormati.
Hal ini mendorong dirinya menyampaikan perihal tersebut
ke dalam grup diskusi online yang diikutinya. Bukan mendapat respon yang
diharapkan, pihak yang semestinya memberikan klarifikasi justru bersikap kurang
kooperatif.
Sebagian merespon dengan taushiyah alias nasehat. Namun,
dalam konteks tersebut, nasehat belum cukup, sebab selain perlunya segera
regulasi yang mengatur, sikap sebagai seorang Muslim terhadap Muslim lainnya
belum benar-benar ditegakkan, yakni saling menghargai.
Padahal, sebagai sebuah umat, antara satu Muslim dengan
Muslim lainnya adalah satu tubuh, sehingga bagaimana mungkin tangan rela
melukai kaki, dan kaki kanan menyakiti kaki kiri. Semua adalah kesatuan yang
tak terpisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, saling menghormati dan
menghargai adalah perkara yang tak bisa dijauhkan dari sikap setiap pribadi
Muslim.
Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub dalalm bukunya “Fiqh
Adab” menjelaskan bahwa sikap Muslim terhadap Muslim lainnya mestinya saling
merendah dan berlemah lembut. Sikap ini dapat mengekalkan persaudaraan di
tengah mereka juga memperkuat ikatan persaudaraan di antara mereka. Sedangkan
takabbur dan meremehkan orang lain adalah sebab sebagian di antara mereka
menjauhi sebagian lainnya yang bisa jadi akan memutuskan tali persaudaraan.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendah hingga tidak ada seorang pun meremehkan orang
lain dan bersikap sombong kepada orang lain.” (HR. Muslim).
Ada kisah menarik dalam hal ini, yang terjadi antara dua
sahabat Nabi, yakni Abidzar Al-Ghifari dengan Bilal bin Rabah
radhiyallahuanhuma.
Suatu waktu beberapa shahabat berkumpul dalam satu
majelis. Ada Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Bilal, dan Abidzar,
sementara Rasulullah sedang tidak bersama mereka.
Majelis itu pun berdiskusi tentang suatu perkara Kemudian
Abidzar menyampaikan pendapat, “Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan
demikian dan demikian.”
Mendengar usulan tersebut, Bilal menimpali, “Tidak, itu
adalah usulan yang salah.”
Mendapati ucapan Bilal, Abidzar emosi lalu berkata,
“Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam?”
“Lâ Ilâha illallâh! Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa
dirimu sebenarnya?” sambung Abidzar.
Merajut Benang Ukhuwah
Bilal pun berdiri dengan kemarahan yang sama. Dengan nada
tinggi dia berkata, “Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Shaallahu
‘Alaihi Wassallam,” lalu Bilal pun pergi kepada Rasulullah Shallallahu alayhi
wasallam.
Begitu bertemu Rasulullah, Bilal berkata, “Wahai,
Rasulullah. Maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abidzar
kepadaku?”
Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam menjawab, “Apakah
yang telah dikatakannya?”
Bilal berkata, “Dia telah berkata begini dan begitu.”
Mendengar jawaban Bilal, rona muka Rasulullah Shallallahu
alayhi wasallam berubah.
Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh Abidzar datang.
Dia berkata, “Wahai, Rasulullah. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh.”
Ketika itu Rasulullah sangat marah, hingga dikatakan,
“Kami tidak tahu apakah Nabi menjawab salamnya atau tidak.”
Nabi bersabda, “Wahai, Abidzar. Engkau telah
menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat
jahiliyah.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, janganlah perbedaan pendapat menjadikan
tali persaudaraan terputus. Sebab tidak ada kemuliaan pada sikap diri
merendahkan sesama, apalagi merasa diri yang paling benar untuk selanjutnya
memaki-maki bahkan melucuti kehormatan sesama Muslim.
Sebaiknya berupaya agar tetap bisa saling merendahkan
diri. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang merendahkan diri di hadapan
Allah melainkan Allahakan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Hanya dengan sikap demikian, perintah Allah yang bersifat
strategis dalam upaya membangun kekuatan umat bisa dilaksanakan dengan baik dan
tersistem.
ۘوَتَعَاوَنُواْعَلَىٱلۡبِرِّوَٱلتَّقۡوَىٰۖوَلَاتَعَاوَنُواْعَلَىٱلۡإِثۡمِوَٱلۡعُدۡوَٲنِۚوَٱتَّقُواْٱللَّهَۖإِنَّٱللَّهَشَدِيدُٱلۡعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 2).
Jadi, mari
tetap menjadi pribadi yang benar dengan tidak membiarkan sesama terjerumus pada
ketidakbenaran. Andai pun harus bereaksi dengan sikap keras, tetaplah itu
diorientasikan pada terwujudnya semangat ukhuwah, bukan permusuhan.
Semoga
Allah senantiasa membimbing diri kita untuk senantiasa menghormati, menghargai
sesama Muslim, sehingga dengan demikian barisan umat Islam semakin kuat dalam
segala sisi kehidupan. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar