Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah
Dikarenakan inti dan hakikat hidayah adalah taufik dari
Allah Ta’ala, sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, maka berdoa dan memohon
hidayah kepada Allah Ta’ala merupakan sebab yang paling utama untuk mendapatkan
hidayah-Nya. Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman: “Wahai
hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk,
maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada
kalian”1.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala yang maha sempurna rahmat
dan kebaikannya, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa
memohon hidayah taufik kepada-Nya, yaitu dalam surah Al Fatihah:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah
kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikh
‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Doa (dalam ayat ini) termasuk doa yang paling
menyeluruh dan bermanfaat bagi manusia, oleh karena itu, wajib bagi setiap
muslim untuk berdoa kepada-Nya dengan doa ini di setiap rakaat dalam shalatnya,
karena kebutuhannya yang sangat besar terhadap hal tersebut”2.
Dalam
banyak hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan
kepada kita doa memohon hidayah kepada Allah Ta’ala. Misalnya doa yang dibaca
dalam qunut shalat witir:
(( اللَّهُمَّ
اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْت))
“Ya Allah,
berikanlah hidayah kepadaku di dalam golongan orang-orang yang Engkau berikan
hidayah”3.
Juga doa
beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
(( اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعِفَّةَ وَالْغِنَى ))
“Ya Allah,
aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri (dari segala
keburukan) dan kekayaan hati (selalu merasa cukup dengan pemberian-Mu)”4.
Sebaliknya,
keengganan atau ketidaksungguhan untuk berdoa kepada Allah Ta’ala memohon
hidayah-Nya merupakan sebab besar yang menjadikan seorang manusia terhalangi
dari hidayah-Nya.
Oleh karena
itu, Allah Ta’ala sangat murka terhadap orang yang enggan berdoa dan memohon
kepada-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Sesungguhnya
barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allah maka Dia akan murka
kepadanya”5.
Hal-hal
lain yang menjadi sebab datangnya hidayah Allah Ta’ala selain yang dijelaskan
di atas adalah sebagai berikut:
1. Tidak
bersandar kepada diri sendiri dalam melakukan semua kebaikan dan meninggalkan
segala keburukan
Artinya
selalu bergantung dan bersandar kepada Allah Ta’ala dalam segala sesuatu yang
dilakukan atau ditinggalkan oleh seorang hamba, serta tidak bergantung kepada
kemampuan diri sendiri.
Ini
merupakan sebab utama untuk meraih taufik dari Allah Ta’ala yang merupakan
hidayah yang sempurna, bahkan inilah makna taufik yang sesungguhnya sebagaimana
yang dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah.
Coba
renungkan pemaparan Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Kunci pokok segala kebaikan
adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti)
akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena
pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita
lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan
kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri
nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada
Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana
(kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena
hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan
sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan
buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan
kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.
Telah
bersepakat Al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam
tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari
Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah
khidzlaan (berpalingnya) Allah Ta’ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat
bahwa (makna) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan
kebaikan/keburukan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al
khidzlaan (berpalingnya Allah Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan
diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah
Ta’ala)”6.
Inilah yang
terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“(Ya Allah), jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan
diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”7.
Oleh karena
inilah makna dan hakikat taufik, maka kunci untuk mendapatkannya adalah dengan
selalu bersandar dan bergantung kepada Allah Ta’ala dalam meraihnya dan bukan
bersandar kepada kemampuan diri sendiri.
Imam Ibnul
Qayyim berkata: “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya
di tangan Allah (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka
pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh
dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allah
telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin
membukakan (pintu taufik) kepadanya.Dan ketika Allah memalingkan kunci (taufik)
ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup
baginya”8.
2.
Selalu mengikuti dan berpegang teguh dengan agama Allah Ta’ala secara
keseluruhan lahir dan batin
Allah
Ta’ala berfirman:
{فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}
“Maka jika
datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara
(dalam hidupnya)” (QS Thaahaa: 123).
Ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa orang yang mengikuti dan berpegang teguh dengan
petunjuk Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Ta’ala, dengan
mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka dia tidak
akan tersesat dan sengsara di Dunia dan Akhirat, bahkan dia selalu mendapat
bimbingan petunjuk-Nya, kebahagiaan dan ketentraman di Dunia dan Akhirat9.
Dalam ayat
lain, Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ
اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ}
“Dan
orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk (agama Allah Ta’ala) maka Allah
menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan)
ketaqwaannya” (QS Muhammad: 17).
3.
Membaca al-Qur-an dan merenungkan kandungan maknanya
Allah
Ta’ala berfirman:
{إِنَّ هَذَا
الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}
“Sesungguhnya
al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’: 9).
Imam Ibnu
Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji kitab-Nya yang mulia yang
diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Ta’ala, yaitu al-Qur-an, bahwa kitab ini memberikan
petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan jelas”10.
Maksudnya:
yang paling lurus dalam tuntunan berkeyakinan, beramal dan bertingkah laku,
maka orang yang selalu membaca dan mengikuti petunjuk al-Qur-an, dialah yang
paling sempurna kebaikannya dan paling lurus petunjuknya dalam semua
keadaannya11.
4.Mentaati
dan meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Allah
Ta’ala menamakan wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sebagai al-huda (petunjuk) dan dinul haq (agama yang benar) dalam
firman-Nya:
{هُوَ الَّذِي
أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}
“Dialah
(Allah Ta’ala) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama, dan cukuplah Allah sebagai
saksi” (QS al-Fath: 28).
Para ulama
Ahli Tafsir menafsirkan al-huda (petunjuk) dalam ayat ini dengan ilmu yang
bermanfaat dan dinul haq (agama yang benar) dengan amal shaleh12.
Ini
menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah
sebaik-baik petunjuk yang akan selalu membimbing manusia untuk menetapi jalan
yang lurus dalam ilmu dan amal.
Dalam
hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah (al-Qur-an), sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan
seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (baru dalam
agama)”13.
Inilah
makna firman Allah Ta’ala:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
5.
Mengikuti pemahaman dan pengamalan para Shahabat Radhiallahu’anhum dalam
beragama
Allah
Ta’ala berfirman:
{فَإِنْ آمَنُوا
بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ}
“Jika
mereka beriman seperti keimanan yang kalian miliki, maka sungguh mereka telah
mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
perpecahan” (QS al-Baqarah: 137).
Ayat ini
menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman para Shahabat Radhiallahu’anhum dalam
keimanan, ibadah, akhlak dan semua perkara agama lainnya, karena inilah sebab
untuk mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Para Shahabat Radhiallahu’anhum
adalah yang pertama kali masuk dalam makna ayat ini, karena merekalah
orang-orang yang pertama kali memiliki keimanan yang sempurna setelah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam14.
6.
Meneladani tingkah laku dan akhlak orang-orang yang shaleh sebelum kita
Allah
Ta’ala berfirman:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ
هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ}
“Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka” (QS al-An’aam: 90).
Dalam ayat
ini Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad Ta’ala untuk meneladani
petunjuk para Nabi ‘alaihimussalam yang diutus sebelum beliau Ta’ala, dan ini
juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad Ta’ala15.
7.
Mengimani takdir Allah Ta’ala dengan benar
{مَا أَصَابَ مِنْ
مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidak ada
sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke
(dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS
at-Taghaabun:11).
Imam
Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia
meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga
dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai
(perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah
akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang
menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa
jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik
baginya”16.
8.
Berlapang dada menerima keindahan Islam serta meyakini kebutuhan manusia lahir
dan batin terhadap petunjuknya yang sempurna
Allah
Ta’ala berfirman:
{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ
أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}
“Barangsiapa
yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam: 125).
Ayat ini
menunjukkan bahwa tanda kebaikan dan petunjuk Allah Ta’ala bagi seorang hamba
adalah dengan Allah Ta’ala menjadikan dadanya lapang dan lega menerima Islam,
maka hatinya akan diterangi cahaya iman, hidup dengan sinar keyakinan, sehingga
jiwanya akan tentram, hatinya akan mencintai amal shaleh dan jiwanya akan
senang mengamalkan ketaatan, bahkan merasakan kelezatannya dan tidak
merasakannya sebagai beban yang memberatkan17.
9.
Bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah Ta’ala dan selalu berusaha
mengamalkan sebab-sebab yang mendatangkan dan meneguhkan hidayah Allah Ta’ala
Allah
Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ}
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS al-‘Ankabuut: 69).
Imam Ibnu
Qayyimil Jauziyah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala menggandengkan
hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang
paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang
paling besar perjuangan dan kesungguhannya”18.
Demikianlah
pemaparan ringkas tentang sebab-sebab datangnya hidayah Allah Ta’ala, dan tentu
saja kebalikan dari hal-hal tersebut di atas itulah yang merupakan sebab-sebab
hilangnya/tercabutnya hidayah Allah Ta’ala, semoga Allah Ta’ala melindungi kita
dari segala keburukan dan fitnah.
Penutup
Semoga
tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih
semangat mengusahakn sebab-sebab datangnya hidayah dari Allah Ta’ala.
Akhirnya
kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan semua
nama-Nya yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Ta’ala
senantiasa melimpahkan, menyempurnakan dan menjaga taufik-Nya kepada kita semua
sampai kita berjumpa dengan-Nya di surga-Nya kelak, sesungguhnya Dia Ta’ala
maha mendengar lagi maha mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على
نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Catatan Kaki
1 HSR Muslim (no. 2577).
2 Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan”
(hal. 39).
3 HR Abu Dawud (no. 1425), at-Tirmidzi
(no. 464) dan an-Nasa-i (3/248), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
4 HSR Muslim (no. 2721).
5 HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan
al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
6 Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet. Muassasah
ummil Qura, Mesir 1424 H).
7 HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim
(no. 2000), dishahihkan oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi
dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish
shahihah” (1/449, no. 227).
8 Kitab “Al Fawa-id” (hal. 133- cet.
Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
9 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 515).
10 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/39).
11 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 454).
12 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/209)
dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 335).
13 HSR Muslim (no. 867).
14 Demikian makna penjelasan yang
penulis pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah, Arab Saudi.
15 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir”
(2/208).
16 Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
17 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 272).
18 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 59).
0 komentar:
Posting Komentar