Kecerdasan
Emosional Itu Penting, Kenali Cara Melatihnya
tirto.id - Intelligence Quotient (IQ) kerap dianggap
sebagai penentu utama kesuksesan seseorang. Rosalie Holian dari RMIT University
pernah menulis “EQ Versus IQ: What’s the Perfect Management Mix?” yang dimuat
The Conversation mengatakan bahwa orang dengan IQ tinggi cenderung menjadi
pemecah masalah yang baik. Mereka juga pintar menemukan solusi terbaik ketika
dihadapkan pada sebuah situasi baru.
“Ketika seseorang
dengan IQ tinggi juga memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, yang dapat
diperoleh dari pengalaman serta kualifikasi pendidikan formal, maka mereka
cenderung memiliki berbagai keterampilan,” ungkap Holian. Atas dasar inilah,
orang yang memiliki IQ tinggi sering dianggap cocok menjadi pemimpin.
Namun, belakangan ini, pembicaraan tentang kecerdasan
emosional juga mengemuka; intinya menunjukkan bahwa inteligensia saja tak
cukup. Anda harus pandai mengelola emosi dengan baik.
Sebuah studi berjudul “It Pays to Have an Eye for
Emotions: Emotion Recognition Ability Indirectly Predicts Annual Income” (PDF)
yang dilakukan oleh Tasillo Momm menunjukkan bahwa tingkat emotion recognition
ability (ERA) seseorang berhubungan secara tak langsung dengan penghasilan
mereka setiap tahun.
“[...K]emampuan emosional memungkinkan seseorang tidak
hanya memproses hal-hal yang sarat dengan muatan informasi secara efektif,
namun mereka juga menggunakan informasi tersebut untuk mengatur dunia sosial
organisasi untuk mendapatkan kemakmuran,” tulis Momm, dkk.
Apa yang Dimaksud Kecerdasan Emosional?
John D. Mayer dari University of New Hampshire (PDF)
menyampaikan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memikirkan
dan menggunakan emosi untuk meningkatkan kemampuan berpikir.
“Ini termasuk kemampuan untuk merasakan emosi dengan
benar, untuk mengakses dan mengelola emosi untuk membantu pikiran, untuk
memahami emosi dan pengetahuan tentang emosi, dan untuk merefleksikan emosi
sehingga bisa mengatur emosi dan perasaan, memahami informasi dari emosi-emosi
tersebut.
Dalam sebuah artikel berjudul “Emotional Intelligence as
a Standard Intelligence” (PDF) yang ditulisnya bersama David R. Caruso, Peter
Salovey, dan Gill Sitarenios, Mayer menuliskan tentang konsep pengukuran
kecerdasan emosional yang berkorelasi dengan sebuah hubungan.
“Ketika hubungan seseorang dengan orang lain atau objek
berubah, pahamilah emosi orang atau objek tersebut. Apakah orang yang dipandang
sebagai ancaman yang ditakuti, atau sebuah objek yang disukai,” tutur Mayer,
dkk. Kecerdasan emosi mengacu pada kemampuan untuk mengenali makna-makna emosi
dan hubungan-hubungannya, serta menggunakannya sebagai dasar penalaran dan
pemecahan masalah. Oleh karena itu, emosi digunakan untuk meningkatkan aktivitas
kognitif.
Dalam tulisannya yang lain, “What is Emotional
Intelligence” (PDF) Mayer menunjukkan tahap-tahap kecerdasan emosi.
Tahap pertama adalah merasakan emosi, yakni
kemampuan untuk mengidentifikasi emosi di wajah: kebahagiaan, kesedihan,
kemarahan, dan ketakutan mudah untuk dikenali. Kemampuan seseorang untuk
merasakan emosi secara akurat melalui wajah atau suara orang lain bisa menjadi
permulaan penting untuk memahami emosi secara mendalam.
Tahap kedua adalah menyampaikan bahwa manusia
bisa memfasilitasi pikiran dengan emosi, yakni kemampuan untuk memanfaatkan
informasi emosional dan secara langsung untuk meningkatkan pemikiran. Dalam
tahapan ini, emosi penting untuk mendorong kreativitas. Perubahan suasana hati
dan mood positif berpengaruh terhadap pemikiran kreatif.
Tahap ketiga adalah memahami emosi, yakni
kemampuan manusia untuk memahami informasi emosi dalam sebuah hubungan,
transisi dari satu emosi ke lainnya, serta informasi linguistik tentang emosi.
Mayer menjelaskan: kebahagiaan biasanya mendorong keinginan untuk bergabung
dengan orang lain, marah mendorong keinginan untuk menyerang atau menyakiti
orang lain, ketakutan mendorong keinginan untuk melarikan diri.
Yang terakhir adalah tahap mengelola emosi. Mayer
mengatakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan apabila seseorang memahami emosi.
“Ketika seseorang berada dalam zona kenyamanan emosional,
menjadi mungkin untuk mengatur dan mengelola emosi seseorang dan orang lain,
sehingga dapat mengembangkan diri sendiri dan orang lain dan tujuan di
lingkungan sosial,” tutur Mayer, dkk.
Memanfaatkan Kecerdasan Emosional
Dalam artikel berjudul “Emotional Intelligence” (PDF),
Peter Salovey dan John D. Mayer menulis bahwa suasana hati dan emosi secara
sistematis bisa bermanfaat dalam pemecahan masalah.
“Pertama, perubahan emosi dapat memfasilitasi pembentukan
beberapa rencana masa depan. Kedua, emosi positif dapat mengubah organisasi
memori sehingga materi kognitif lebih terintegrasi dan beragam ide dipandang
lebih terkait,” kata Salovey dan Mayer.
Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa emosi dapat
membantu mereka keluar dari sebuah proses dan fokus pada kebutuhan yang lebih
mendesak, dan yang terakhir, emosi bisa digunakan untuk membantu kinerja pada
tugas kecerdasan yang kompleks.
Mood juga tak kalah penting. Menurut mereka, mood positif
akan berdampak positif pada pemecahan masalah kreatif. Seorang individu dengan
suasana hati yang positif lebih mungkin memilah masalah.
Melatih Kecerdasan Emosional
Jika memang kecerdasan emosional penting, bagaimana cara
melatihnya? Psikolog Bradley Busch pernah menulis artikel berjudul “Emotional
Intelligence: Why It Matters and How to Teach It” yang diterbitkan The
Guardian. Ia menunjukkan cara mengasah kecerdasan emosional di sekolah, di
antaranya mengajarkan anak menjadi pendengar aktif.
“Kemampuan mendengarkan aktif adalah bagian penting dari
membantu menciptakan komunikasi dua arah yang sejati—dan itu jauh lebih dari
sekedar memperhatikan,” kata Busch.
Dengan mengajak anak menjadi pendengar aktif, mereka akan
terlibat dalam dialog dan dapat menanggapi orang lain melalui bahasa tubuh
mereka, imbuhnya.
Selain itu, sekolah juga bisa mengajarkan anak kosakata
untuk menyampaikan perasaan mereka agar siswa mampu memahami perbedaan makna
seperti sedih, kecewa, dan kesal.
“Cara sederhana untuk memperkenalkan ini kepada siswa
adalah memainkan permainan alfabet dalam kelas. Anda melihat berapa banyak
emosi berbeda yang dapat anda peroleh untuk setiap huruf dalam alfabet. Setelah
itu, diskusikan perbedaan di antara masing-masing, apa yang mungkin mendorong
emosi, dan bagaimana siswa dapat merespons secara pribadi,” ungkap Busch.
Meningkatkan kecerdasan emosional anak juga bisa
dilakukan dengan mengembangkan kesadaran diri mereka. Tujuannya: ketika bertemu
orang lain, anak tak membiarkan citra diri yang terlalu tinggi mempengaruhi
perilaku dan interaksi sosial. Anak juga perlu diajarkan untuk berempati ketika
sedang bersama orang lain.
Empati merupakan kemampuan untuk mengambil perspektif
orang lain tanpa menghakimi, mengenali emosi mereka, dan mampu menyampaikan
perspektif kembali. Merefleksikan kembali perspektif orang lain membantu orang
lain merasa dipahami dan bisa meningkatkan dukungan.
Penulis: Widia
Primastika
Editor: Maulida
Sri Handayani
0 komentar:
Posting Komentar