Isyarat isyarat IQ
EQ dan SQ dalam Al Quran
Pendahuluan
Asumsi manusia sebagai homo sapiens atau al-hayaw±n
al-n±thiq (spesies yang berfikir) ternyata dianggap keliru. Visi baru para
ilmuan menemukan bukti porsi intelektualitas manusia hanya merupakan bagian
terkecil dari totalitas kecerdasan manusia. Kalangan ilmuan menemukan tiga
bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas
akal yang berpusat di otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui
kreatifitas emosional yang berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang
diperoleh melalui kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah
roh.
Ketiga aktifitas kreatif di atas mengingatkan kita kepada
tiga konsep struktur kepribadian Sigmund Freud (1856-1939), yaitu id, ego, dan
superego. Id adalah pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir.
Id ini menjadi inspirator kedua struktur berikutnya. Ego, bekerja dalam lingkup
rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari Id. Ego berusaha
mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif
realitas sosial. Ego membantu seseorang keluar dari berbagai problem subyektif
individual dan memelihara agar bertahan hidup (survival) dalam dunia realitas.
Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan
kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan.
Superego juga selalu mengingatkan dan mengontrol Ego untuk senantiasa
menjalankan fungsi kontrolnya terhadap id.[1]
Meskipun tidak identik, IQ dapat dihubungkan dengan Id,
Ego dapat dihubungkan dengan EQ, dan Superego dapat dihubungkan dengan SQ.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan.
Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara
pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ.
Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam
diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur
kecerdasan ketiga (SQ).
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ
tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut
multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan
al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk
kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak
dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa
kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan
dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur
nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an
Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur,
yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini
dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minn/23:12-14
sebagai berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta
Yang Paling Baik (14).
Kata dalam ayat ini menurut para mufassir dimaksudkan
sebagai unsur rohani setelah unsur jasad dan nyawa (nafs±ni). Hal ini sesuai
dengan riwayat Ibn Abbas yang menafsirkan kata dengan (penciptaan roh ke dalam diri Adam)[2] Unsur
ketiga ini kemudian disebut unsur ruhani, atau lahut atau malakut. yang
menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Unsur ketiga ini
merupakan proses terakhir dan sekaligus merupakan penyempurnaan substansi
manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S.
al-Hijr/15:28-29:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para
makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya
pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung
kapasitas mamnusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S.
al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap
menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa
turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan
taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling
rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah
daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat
dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang
dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan
ruhani (SQ).
Kecerdasan Intelektual (IQ)
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak
adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau
kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini
mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di
dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel
saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang
sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya
digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai
sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Otak dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan. Otak
kiri memiliki fungsi analisis dan otak kanan memiliki fungsi kreatif. Meskipun
masih banyak ditentang, kalangan imuan mengidentifikasi otak kiri sebagai orak
feminin dan otak kanan sebagai otak maskulin. Walaupun terpisah tetapi keduanya
saling berhubungan secara fungsional. Kelainan akan terjadi manakala hubungan
fungsional itu terganggu.
Wilayah aktifitas otak juga dapat dibedakan antara
pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Wilayah pikiran sadar hanya sekitar 12 %
dan selebihnya (88%) adalah wilayah pikiran bawah sadar. Di antara kedua
wilayah ini, ada garis pemisah yang disebut Reticular Activating System (RAT), yang berfungsi untuk
menyaring informasi tidak perlu atau berlebihan supaya kita tetap bisa waras.
Di wilayah bawah sadar tersimpan semua ingatan dan kebiasaan, kepribadian dan
citra diri kita.
Di dalam sistem otak kita ada suatu bagian yang disebut
limbik (otak kecil), terletak di bawah tulang tengkorak di atas tulang
belakang. Otak kecil ini ditemukan oleh para ilmuan memiliki tiga fungsi, yaitu
mengontrol emosi, mengontrol seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat
kenikmatan.
Dari sini difahami bahwa otak dan emosi memiliki hubungan
yang fungsional yang saling menentukan antara satu dan lainnya. Penelitian
Rappaport di tahun 1970-an menyimpulkan
bahwa emosi tidak hanya diperlukan dalam penciptaan ingatan, tetapi
emosi adalah dasar dari pengaturan memori. Orang tidak akan pernah mencapai
kesuksesan dalam bidang apapun kecuali mereka senang menggeluti bidang itu.
Jadi untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual yang biasa disebut dengan
accelerated learning, tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktifitas emosional
yang positif.[3]
Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan intelektual dapat
dihubungkan dengan beberapa kata kunci seperti kata??? (saecara harfiah berarti mengikat) yang terulang sebanyak 49 kali dan tidak
pernah digunakan dalam bentuk kata benda (ism) tetapi hanya digunakan dalam
bentuk kata kerja (fi’il), yaitu bentuk fi’il madli sekali dan bentuk fi’il
mudlari’ 48 kali. Penggunaan kata ‘aql
dalam ayat-ayat tersebut pada umumnya digunakan untuk menganalisis
fenomena hukum alam (seperti Q.S. al-Baqarah/2:164) dan hukum-hukum perubahan
sosial (seperti Q.S. al-‘Ankabt/29:43).
Selain kata ‘aql juga dapat dihubungkan dengan predikat
orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti kata (orang-orang yang mempunyai pikiran) yang
terulang sebanyak 16 kali. Seorang yang mencapai predikat ul al-bab belum
tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena masih
ditemukan beberapa ayat yang menyerukan kepada kaum ul al-bab untuk bertakwa
kepada Allah Swt (Q.S.al-Maidah/5:100 dan S. al-Thalaq/65:10). Namun, ul
al-bab juga dapat digunakan bagi pemilik
IQ yang sudah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi di
balik kemampuan akal pikiran (Q.S. al-Baqarag/2:269 dan S. al-Zumar/39:9). Dan
masih banyak lagi istilah yang mengisyaratkan aktifitas kecerdasan intelektual
kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa ontologi akal hanya terbatas pada
obyek-obyek yang dapat diindera, kepada obyek-obyek yang bersifat metafisik.
Penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk
memperoleh kualitas iman atau kualitas spiritual yang lebih baik, karena
terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual tetapi tetap kufur terhadap
Tuhan. Hal ini juga ditegaskan di dalam Q.S.al-Baqarah/2:75:
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya
kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?
(Q.S.al-Baqarah/2:75).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa bahwa kecerdasan
intelektual terkadang digunakan untuk meligitimasi kekufuran. Padahal, idealnya
kecerdasan intelektual digunakan untuk memperoleh kecerdasan-kecerdasan yang
lebih tinggi. Seorang ilmuan yang arif tidak berhenti pada level kecerdasan
intelektual tetapi melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih
tinggi. Inilah makna simbol ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an:
Iqara’ bi ism Rabbik: “Membaca” harus selalu dikaitkan dengan “nama Tuhan”.
Kecerdasan Emosional[4] (EQ)
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan
untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih
positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam
arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat
dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi
mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan
respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu
mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi
manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang
sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan.
Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak
emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keserdasan emosional
hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.[5]
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
- Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel,
kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian
bersifat patologis.
- Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
- Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas,
perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia,
dan panik.
- Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang,
senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa
puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
- Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
- Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
- Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
- Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib,
dan hati hancur lebur.[6]
Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul
Ekman dari Universitas California, akan menampilkan ekspresi wajah yang
Universal di hampir seluruh etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang
yang mengalami berbagai jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka
yang sama.[7]
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional
seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di
dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah
lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (???), intuisi, dan beberapa
istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an
dapat sikelompokkan sebagai berikut:
* Kalbu yang
positif :
1. Kalbu yang
damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2. Kalbu yang
penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3. Kalbu yang
tenang (Q.S. al-Nahl/16:6)
4. Kalbu yang
berfikir (Q.S.al-Haj/2:46)
5. Kalbu yang
mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
* Kalbu tang
Negatif:
1. Kalbu yang
sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2. Kalbu yang sakit (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
3. Kalbu yang
melampaui batas (Q.S.Yunus/10:74)
4. Kalbu yang
berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5. Kalbu yang terkunci, tertutup (Q.S.al-Baqarah/2:7)
6. Kalbu yang
terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau qalb di atas dapat diartikan sebagai emosi maka
dapat difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat
dilihat pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada
sifat-sifat emosi negatif.
Eksistensi kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu
jelas di dalam beberapa ayat berikut ini:
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
(Q.S.al-Haj/22:46)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A’raf/5:179)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(Q.S.al-Jatsiyah/45:23)
Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan
kepada kita bahwa faktor kecerdasan emosional ikutserta menentukan eksistensi
martabat manusia di depan Tuhan. Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi
faktor penting yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk
eksistensialis, yang bisa turun-naik derajatnya di mata Tuhan. Binatang tidak
akan pernah meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah “turun”
menjadi manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga
seperti yang dimiliki manusia.[8]
Upaya mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat
terkait dengan upaya memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya mempunyai
beberapa persamaan metode dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut
latihan-latihan yang bersifat telaten dan sungguh-sungguh (muj±hadah) dengan
melibatkan “kekuatan dalam” (inner power) manusia. Bedanya, mungkin terletak
pada sarana dan proses perolehan. Aktifitas kecerdasan emosional seolah-olah
masih tetap berada di dalam lingkup diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan
kecerdasan spiritual sudah melibatkan unsur asing dari diri manusia
(supra-conciousnes).
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual menjadi salah satu wacana yang mulai
mencuak akhir-akhir ini. Wacana ini muncul seolah-olah kelanjutan dari wacana
yang pernah dipopulerkan oleh Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya.
Kini sudah mulai bermunculan karya-karya baru tentang kecerdasan ketiga ini
dengan metode pembahasan yang berbeda-beda. Yang lebih menarik lagi karena
buku-buku ini muncul di dunia Barat. Apakah ini pertanda bahwa Barat kini sudah
mulai melakukan reorientasi pandangan hidup atau karena sedang terjadi suatu
krisis di Barat.
Kalangan ilmuan kini semakin sadar betapa pentingnya
manusia kembali berpaling untuk memahami dirinya sendiri lebih mendalam. Sebab
hanya dengan mengandalkan kecerdasan intelektual saja manusia tidak akan sampai
kepada martabat yang ideal. Atas dasar inilah, Danah Zohar dan Ian Marshal
menerbitkan satu buku yang amat menarik yang diberinya judul: SQ Spiritual
Intelligence: The Ultimate Intelligence. Dalam buku ini diawali dengan tinjauan
secara kritis kelemahan-kelemahan dunia Barat dalam kurun waktu terakhir ini
karena mengabaikan faktur kecerdasan spiritual ini. Sebaliknya, buku ini
memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap niulai-nilai humanisme
ketimuran yang dikatakannya lebih konstruktif daripada nilai-nilai humanisme
yang hidup di Barat.[9]
Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan
pembahasan yang baru. Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi.
Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia.
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa manusia mempunyai substansi ketiga
yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia merupakan intervensi
langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses
penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat
sebagai berikut:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud. (Q.S.al-Hijr/15:29)
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya". (Q.S.Shad/38:72).
Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) ,
bukan kata (dari roh Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain.
Ini mengisyaratkan bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi
unsur ketiga (???? ???) dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkan seluruh
makhluk harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud
lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai
khalifah (representatif) Tuhan di bumi.
Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang
memungkinkannya untuk mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk
mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali
tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan
kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak
berati manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.
Kisah menarik di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya
seorang anak manusia bernama Khidlir ditunjuk menjadi guru spiritual Nabi Musa.
Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Musa baru saja mencapai kemenangan dengan
tenggelamnya Raja Fir’an ke dasar laut. Seseorang datang bertanya kepada Nabi
Musa, apakah masih ada orang yang lebih hebat dari anda? Secara spontanitas
Nabi Musa menjawab tidak ada. Seketika itu Allah Swt memerintahkan Nabi Musa
untuk berguru kepada seseorang, sebagaimana disebutkan dalam Q.S.
al-Kahfi/17:65 sebagai berikut:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Ketika Nabi Musa diterima sebagai murid dengan
persyaratan Musa harus bersabar dan tidak diperkenangkan untuk bertanya secara
logika, maka setelah keduanya tiba di suatu tempat, ditemukan sejumlah perahu
nelayang yang ditambatkan di pantai. Sang guru lalu melubangi satu demi satu
perahu itu. Nabi musa tergoda untuk bertanya, apa arti perbuatan gurunya,
bukankah perahu nelayan ini satusatunya alat mata pencaharian nelayan miskin di
desa ini? Khidlir mengingatkan perjanjian yang telah disetujui, Musa belum
diperkenankan untuk bertanya, kemudian Musa minta maaf lalu keduanya
melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di satu tempat, keduanya menjumpai
segerombolan anak-anak kecil sedang bermain-main lau salah seorang dari
anak-anak itu ditangkap lalu dibunuh oleh sang guru. Nabi Musa kembali
mengintrubsi gurunya dengan mengatakan, ini apa artinya? Bukankah anak ini
belum mempunyai dosa? Akhirnya Nabi Musa kembali harus meminta maaf atas
kelancangannya. Setelah tiba di suatu tempat, keduanya menjumpai tembok tua
yang hampir roboh, kemudian keduanya berhari-hari membangun kembali bangunan
tembok tua itu. Setelah selesai dipugar, Khidlir mengajak Nabi Musa untuk
meninggalkan tepat itu. Musa pun kembali bertanya, ini untuk apa semua dilakukan? Untuk yang ketiga kali ini, Nabi
Musa tidak lagi dapat dianggap sabar untuk menjadi murid dan Musa pun sudah
tabah untuk tidak lagi melanjutkan pelajaran kepada gurunya. Sebelum keduanya
berpisah, sang guru tidak lupa menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah
ia lakukan.
Gurunya memberikan penjelasan bahwa para pemilik perahu
nelayan itu kini sedang berutang budi terhadap orang yang pernah melubangi
peruhunya. Mereka bersyukur karena seandainya perahu tidak dilubangi sudah
barang tentu perahu itu ikut dijarah oleh pasukan Raja dlalim yang merayakan
hari ulangtahunnya di laut. Anak itu sengaja dibunuh karena Khidlir diberikan
ilmu khusus dari Allah Swt bahwa anak itu kalau sudah besar akan menjadi racun
di dalam masyarakatm termasuk mengkufurkan kedua orang tuanya, sementara kedua
orang tua anak tersebut masih akan dikaruniai anak-anak yang shaleh. Tembok tua
itu dipugar karena di bawah tembok itu tersimpan harta karun yang luar biasa
besarnya, sementara pemiliknya masih dalam keadaan bayi. Tembok itu akan roboh
ketika anak itu sudah besar dan sudah dapat mendayagunakan hartanya[10]
Kisah simbolik ini mengisyaratkan adanya
tingkatan-tingkatan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan
kecerdasan spiritual. Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa
adalah kecerdasan intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan
spiritual tidak hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka
Nabi pun berpotensi untuk memperolehnya.
Pengalaman Al-Gazali dan Ibn Arabi
Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan
model kecerdasan spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat
dalam konsep muk±syafah dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan
spiritual dalam bentuk muasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah
roh terbebas dari berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan
pikiran dan akal pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang
dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan
berbagai penyakit jiwa. Mukasyafah ini
juga merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang
berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di atas kepastian. Kepastian yang
mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini.[11]
Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh
melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan
hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada
Nabi-Nya dengan maksud supaya disampaikan kepada orang lain sebagai
petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah)
kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Al-Gazali tidak
membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga
yang diperkenankan oleh Allah.
Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan
pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang
murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham
disebut atau diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra
conciousnes sedangkan intuisi hanya merupakan sub-conciousnes. Allah Swt
sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan
makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang
disebut ‘Ilm al-Ladunny oleh Al-Gazali.[12]
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu
pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah
Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).
Al-Gazali mengakui adanya hierarki kecerdasan dan
hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun Al-Gazali
hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu:
1.Kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akan
(al-‘aql)
2.Kecerdasan Spiritual yang diistilahkan dengan
kecerdasan ruh±ni, yang ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.[13]
Ibn Arabi menganalisis lebih mikro lagi tentang
kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan
ini, yaitu yaitu pengetahuan kudus (‘ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan
misteri-misteri (‘ilm al-asr±r) dan ilmu pengetahuan tentang gaib (‘ilm
al-gaib).[14] Ketiga jenis ilmu pengetahuan ini tidak dapat diakses oleh
kecerdasan intelektual. Tentang kecerdasan intelektual, Ibn ‘Arabi cenderung
mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan bahwa intelektualitas manusia
tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah
yang mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.
Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi mempunyai kedekatan pendapat di
sekitar aksessibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Gazali, jika seseorang
mampu mensinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada diri
manusia, maka yang bersangkutan dapat “membaca” alam semesta. Kemampuan membaca
alam semesta di sini merupakan anak tangga menuju pengetahuan (ma’rifah)
tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta menurut Al-Gazali merupaka “tulisan”
Allah Swt.
Menurut Al-Gazali, hampir seluruh manusia pada dasarnya
dilengkapi dengan kemampuan untuk mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui
kebenaran, antara lain dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Fenomena
“kenabian” bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi
manusia dengan sifat-sifatnya untuk “menerimanya”. Dengan pemberian kemampuan
dan berbagai kecerdasan kepada manusia, maka “kenabian” menjadi fenomena alami.
Keajaiban yang menyertai para Rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek
integral dari “kenabian”, tetapi hanyalah alat untuk pelengkap alam mempercepat
umat percaya dan meyakini risalah para Rasul itu.
Oleh Nasaruddin
Umar
[1]Lips, Hilary
M., Sex & Gender an: Introduction, California, London, Toronto: Mayfield
Publishing Company, 1993, h. 40.
[2]Lihat misalnya
dalam Fakhr al-R±z³, al-Tafs³r al-Kab³r,
Juz 8
Libanon: D±r Ihy±’ wa al-Tur±ts al-‘Arabi, 1990., h.265. Lihat pula Sa’³d
Hawwa, al-Us±s f³ al-Tafs³r, Juz 7, Mesir: D±r al-Sal±m, 1999, h. 3628-3629.
[3]Lihat Sandy
MacGregor, Piece of Mind, Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk
Mencapai Tujuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.41.
[4]Kata emosi
berasal dari akar kata movere (Latin), berarti “menggerakkan, bergerak”,
ditambah awalan “e” untuk memberi arti bergerak menjauh”. Secara literal emosi
diartikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap
keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.(Lihat Daniel Goleman, Emotional
Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih Penting daripada IQ), Jakarta:
PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000, h. 7.) Emosi dalam arti ini dalam bahasa arab
dapat disepadankan dengan kata qalb, berasal dari akar kata qalaba yang secara
harfiah berarti “merubah, membalikkan, menjauhkan”.
[5]Goleman, op,
cit., h. 15.
[6]Ibid, h.
411-422.
[7]Goleman, Op.
cit., h. 412.
[8]S.H.Nasr,
Ideals and Realities of Islam, London: George Allen & Unwil Ltd, 1975, h.
18-19.
[9]Danah Zohar
& Ian Marshal, Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, London:
Bloomsbury, 2000, h.31-32.
[10]Kisah ini
disadur dari Kitab Tafsir al-Thabari tentang kisa perjalanan spiritual seorang
anak hamba yang bernama Ali AS.
[11]Al-Gazali
dalam Muqaddimah Ihy± ‘Ulm al-D³n.
[12]Al-Gazali,
Al-Ris±lah al-Ladunniyyah, (Kumpulan Karangan pendek yang dibukukan), h, 29-30.
[13]Lihat Ali
Issa Othman, Manusia Menurut Al-Gazali, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman
ITB Bandung, 1981, h, 70-71.
[14]Ibn ‘Arabi,
Futuh±t al-Makkiyyah, Juz IV, h. 394. Bandingkan dengan Fushsh al-Hikam, h.
369.
0 komentar:
Posting Komentar