Di Balik Bulan
Rajab
Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut
beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala
karena beberapa hari lagi kita akan memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan
Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya?
Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya.
Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk
menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.A
Rajab Di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan
Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ
يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab
mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi,
penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun
menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan
berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan.
Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan
munculnya hilal.
Satu tahun
dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan
dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli
Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa
saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ
وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ
”Setahun
berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
(HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat
bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram;
dan (4) Rajab.
Di Balik
Bulan Haram
Lalu kenapa
bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah
mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan
berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk
melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena
mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk
melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat
36)
Karena pada
saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan,
sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan
Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di
dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ’Abbas
mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram,
dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan
lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih
banyak.” (Latho-if Al Ma’arf, 207)
Bulan Haram
Mana yang Lebih Utama?
Para ulama
berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang
lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan
Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An
Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya
melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah
bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan
pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan
bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin
Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif
(hal. 203).
Hukum yang
Berkaitan dengan Bulan Rajab
Hukum yang
berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada
sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih
tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya
peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih
pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh
(dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah
dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, ”Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun
bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor
pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang
dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga
dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa
melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ’atiiroh
atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih
pendapat apakah hukum ’atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ’atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam
Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
”Tidak ada
lagi faro’ dan ’atiiroh.” (HR. Bukhari
no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau
kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala
mereka.
Al Hasan Al
Bashri mengatakan, ”Tidak ada lagi ’atiiroh dalam Islam. ’Atiiroh hanya ada di
zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan
melakukan penyembelihan ’atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan
penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ’ied (hari besar yang akan kembali
berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya
ketika itu.” Ibnu ’Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai
’ied.
’Atiiroh
sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ’ied (sebagaimana
Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ’ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul
Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ’ied selain yang
telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ
يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan
Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ’Abdur Rozaq, hanya sampai pada
Ibnu ’Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari
Ibnu ’Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam)
Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan, ”Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk
menjadikan suatu hari sebagai ’ied selain apa yang telah dikatakan oleh
syari’at Islam sebagai ’ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga
hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ’ied setiap pekannya adalah
pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ’ied dan
perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya
dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
***
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar