Sering Terucap
Luput Dari Renungan
Banyak di antara kalangan masyarakat awam, masih
beranggapan bahwa yang dibawa oleh Islam adalah konsep monotheisme, yaitu
konsep agama yang hanya memiliki satu Tuhan. Kebalikannya adalah politheisme,
yang menganggap adanya lebih dari satu Tuhan yang disembah. Padahal sejatinya
Islam membawa ajaran Tauhid, yang lebih dari sekedar monotheisme. Salah kaprah
inilah yang memupuk tumbuhnya berbagai praktek kesyirikan.
Nampaknya, banyak di antara kita belum merenungkan secara
mendalam ayat Qur’an, dzikir dan doa yang hampir setiap hari terucap dari lisan
kita, yang sebenarnya sangat lugas mengikrarkan konsep Tauhid dan bukan sekedar
monotheisme. Ya, konsep Tauhid yang diajarkan Islam sesungguhnya sangat bisa
dipahami dari dzikir, doa dan ayat-ayat sederhana yang sering dibaca oleh
kebanyakan kita. Beberapa di antaranya akan dibahas pada tulisan ini.
Laa Ilaaha Illallah
Salah satu dari dua kalimat syahadat berbunyi ‘Laa Ilaaha
Illallah‘ atau disebut juga dengan istilah tahlil. Kalimat ini tentu tidak
asing lagi bagi kita, sering kita ucapkan di dalam maupun di luar shalat,
banyak terdapat di dalam Al Qur’an dan merupakan rukun pertama dari rukun
Islam. Bahkan sebagian orang di negeri kita ada yang membuat ritual berkaitan
dengan kalimat ini, yaitu ritual tahlilan. Ritual ini tentu saja hanya ada di
Indonesia dan tidak pernah dicontohkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kalimat ini merupakan pondasi dari agama seorang muslim.
Karena dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim telah mengikrarkan konsep
Tauhid. Secara bahasa arab, dan menurut penafsiran pada ulama, makna dari ‘Laa
Ilaaha Illallah‘ adalah ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah’. Dengan kata lain, walaupun sesuai realita sesembahan lain itu memang
ada, namun satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah semata. Menyembah
pada hakikatnya adalah mempersembahkan bentuk-bentuk ibadah semisal, sujud,
khauf, doa, shalat, puasa, berkurban, istighatsah, dll. Maka, orang yang
mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah‘ konsekuensinya ia tidak boleh sujud, berdoa,
shalat dan ibadah yang lain kepada selain Allah. Tidak kepada berhala, tidak
kepada pohon, tidak kepada batt, tidak kepada kyai, tidak kepada kuburan,
melainkan hanya kepada Allah saja. Oleh karena itulah kaum Qura’isy bersikeras
enggan mengucapkan kalimat ini, padahal mereka juga menyembah Allah dan
mengakui Allah sebagai Rabb pencipta alam semesta. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ
أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka (kaum musyrikin) akan
menjawab: “Allah” “ (QS. Yunus: 31)
Namun
selain menyembah Allah mereka juga menyembah sesembahan lain sebagai perantara
kepada Allah. Maka ketika diseru untuk mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah‘,
mereka berkata:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا
وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa
Muhammad menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu sesembahan saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 5)
Tidak hanya
itu, bahkan marah dan memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal sesembahan-sesembahan yang mereka sembah itu hanya sebagai perantara
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ
شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka
menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan
kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu
adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” ” (QS. Yunus: 18)
Jika konsep
Tauhid itu semata-mata mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb pencipta alam
semesta dan boleh beribadah kepada yang lain dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah, tentu kaum musyrikin ketika itu dengan senang hati mengucapkan
‘Laa Ilaaha Illallah‘ dan tidak perlu marah serta memerangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sungguh
sangat disayangkan, banyak orang yang bersemangat dalam dzikir ‘Laa Ilaaha
Illallah‘ namun justru berbuat kesyirikan dengan mempersembahkan bentuk-bentuk
ibadah kepada selain Allah.
Renungkanlah..
Iyyaka
Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in
Kalimat di
atas adalah sebuah ayat dari surat Al Fatihah, yang tentunya sering kita baca
lebih dari 17 kali dalam sehari dan dihafal hampir oleh semua muslim di seluruh
dunia.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
“Hanya
kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan” (QS. Al Fatihah: 5)
Secara
bahasa arab, gaya bahasa ayat ini mengandung makna pembatasan. Sehingga
maknanya ‘Hanya kepadaMu lah satu-satunya kami beribadah, hanya kepadaMu lah
satu-satunya kami memohon pertolongan‘. Ayat ini menegaskan konsep Tauhid,
bahwa peribadatan hanya ditujukan kepada Allah semata, serta menggantungkan
pertolongan hanya kepada Allah. Bahkan para ulama mengatakan: “Al Fatihah
adalah inti Al Qur’an, dan inti dari Al Fatihah adalah ayat ini”
Orang yang
membaca ayat ini, konsekuensinya ia seharusnya hanya mempersembahkan segala
bentuk ibadah hanya kepada Allah. Juga menggantungkan pertolongan hanya kepada
Allah, yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang mentakdirkan terjadinya sebuah
keburukan dan hanya Allah-lah yang dapat mencegah terjadinya keburukan,
sehingga hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ
بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia” (QS. Yunus: 107)
Meminta dan
menggantungkan pertolongan kepada selain Allah, semisal dukun, kyai, jin, atau
menggunakan jimat, rajah, jampi-jampi, berarti telah berbuat yang bertentangan
dengan surat Al Fatihah ayat 5 ini.
Laa
Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah
Kalimat ini
adalah dzikir yang sudah tidak asing lagi di telinga dan lisan kita, dikenal
dengan istilah hauqolah. Biasa kita baca ketika mendengar adzan, ketika setelah
shalat, atau ketika melihat sesuatu yang menakjubkan. Artinya dari kalimat ini
adalah ‘Tiada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah
Ta’ala‘. Begitu agungnya kalimat ini sampai-sampai dikatakan sebagai tabungan
surgawi. Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
قَيْسٍ أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ ». فَقُلْتُ بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
»
“Wahai
Abdullah bin Qais, maukah engkau kuberitahu tentang salah satu tabungan
surgawi? Abdullah bin Qais menjawab: ‘Tentu, wahai Rasulullah’. Ia bersabda:
‘Ucapkanlah laa haula wa laa quwwata illa billah’” (HR. Bukhari no.4205, Muslim
no.7037)
Makna dari
kalimat ini adalah, bahwa tercapainya sesuatu, perubahan kondisi menjadi lebih
baik, adalah semata-mata karena kehendak Allah dan pertolongan dari-Nya. Bukan
karena pertolongan dukun, bantuan jin, keajaiban jimat atau kesaktian kyai.
Sama sekali bukan.
Konsekuensinya,
memohon kebaikan, memohon tercapainya sesuatu, menggantungkan pertolongan
hanyalah ditujukan kepada Allah Ta’ala. Inilah konsep Tauhid.
Surat
Yaasin
Surat Yasin
mengandung banyak pelajaran yang berharga tentang konsep Tauhid. Karena di
dalamnya diceritakan tentang orang musyrik dan akibat buruk yang ia dapatkan,
serta orang yang memegang teguh konsep Tauhid dan akibat baik yang ia dapatkan.
Konsep Tauhid dalam surat Yasin sangatlah kental, terutama dalam ayat tentang
seorang lelaki yang mau mengikuti dakwah utusan Allah yang menyerukan Tauhid,
di tengah masyarakat yang berbuat kesyirikan. Lelaki tersebut berkata :
وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ
الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ
مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي
شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ (23)
“Faktor apa
yang bisa sampai membuatku tidak menyembah Rabb yang telah menciptakanku dan
yang hanya kepada-Nya-lah kamu semua akan dikembalikan? Untuk apa aku menyembah
sesembahan-sesembahan selain-Nya padahal jika Allah Yang Maha Pemurah
menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafa’at dari para sesembahan itu
tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak pula dapat
menyelamatkanku?” (QS. Yaasin: 22-23)
Ayat ini
menggelitik nalar manusia, yaitu bahwa telah jelas Allah lah semata yang
menciptakan alam beserta isinya dan seluruh manusia. Lalu mengapa
mempersembahkan ritual-ritual ibadah kepada selain Allah? Sungguh kemusyrikan
telah melempar jatuh akal sehat manusia.
Ayat ini
juga membantah telak orang yang meminta-minta pertolongan kepada selain Allah.
Karena pertolongan dari sesembahan selain Allah, tidak bermanfaat jika Allah
tidak menghendakinya terjadi. Begitu juga keburukan dari sesembahan selain Allah, tidak membahayakan
jika Allah tidak menghendakinya terjadi.
Ayat ini
pun merupakan bukti tegas bahwa yang disembah orang musyrik yang menjadi objek
para Rasul mereka sejatinya menyembah Allah Ta’ala. Namun ada
sesembahan-sesembahan lain yang mereka sembah sebagai pemberi syafa’at.
Pengakuan tersebut juga nampak ketika mereka mendustakan dakwah dari utusan
Allah,
قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا
بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا
تَكْذِبُونَ
“Kaum
musyrikin berkata: “Kamu (utusan Allah) tidak lain hanyalah manusia seperti
kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain
hanyalah pendusta belaka”” (QS. Yaasin: 14)
Namun
sangat disayangkan, sebagian orang bersemangat untuk selalu membaca surat Yasin
setiap pekannya, namun belum meresap dalam hati mereka konsep Tauhid yang
terkandung di dalamnya.
Ayat
Kursi
Di negeri
kita, hampir semua orang menghafal ayat kursi, yaitu surat Al Baqarah ayat 255.
Karena ayat ini diyakini dapat menghalangi gangguan setan, dan itu memang benar
adanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي
أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا
حَتَّى يُمْسِيَ
“Orang yang
membacanya (ayat kursi) ketika sore, ia akan dilindungi oleh Allah sampai pagi.
Orang yang membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi oleh Allah sampai sore”
(HR. Ath-Thabrani no. 541, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih At Targhib
Wa At Tarhib no. 662)
Orang yang
merenungkan ayat kursi akan mendapati di dalamnya sarat akan konsep Tauhid.
Semisal firman Allah Ta’ala,
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah,
tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia.Yang hidup kekal serta
terus menerus mengurus makhluk-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)
Ayat ini
sebagaimana makna yang terkandung dalam dzikir ‘laa ilaaha illallah’. Dalam
bagian ayat lainnya,
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ
عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang
dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)
Berkaitan
dengan ayat ini, Allah Ta’ala juga berfirman,
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ
جَمِيعًا ۖ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah
(wahai Muhammad): “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya
kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” “ (QS. Az
Zumar: 44)
Ayat-ayat
ini memberi pengajaran bahwa syafa’at itu sepenuhnya milik Allah Ta’ala. Dan
syafa’at dapat diberikan semata-mata atas izin Allah Ta’ala. Memang benar bahwa
sebagian makhluk Allah ada yang dapat memberi syafa’at, itu pun terbatas pada
orang-orang yang diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at. Sehingga tidak
boleh sembarang kita mengklaim kyai Fulan, habib Fulan, mbah Fulan bisa memberi
syafa’at padahal tidak ada keterangan bahwa Allah Ta’ala mengizinkan mereka
untuk memberi syafa’at.
Pengajaran
lain, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memang diizinkan oleh Allah
untuk memberi syafa’at. Namun syafa’at dari Baginda Nabi tidak dapat diberikan kepada salah seorang di
antara kita tanpa izin Allah Ta’ala. Seseorang tidak akan mendapatkan syafa’at
jika Allah tidak me-ridhai dia untuk mendapatkannya, walau orang tersebut telah
memintanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ribuan kali. Jika
demikian, bukankah seharusnya kita memohon syafa’at tersebut kepada Allah dan
bukan memohonnya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Terlebih lagi berdoa
memohon syafa’at kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertentangan dengan
konsep Tauhid bahwa doa hanya ditujukan kepada Allah semata.
Ta’awudz
Yaitu
ucapaan,
أعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku
berlindung kepada Allah dari gangguan dan godaan syaithan yang terkutuk”
Sungguh
aneh jika ada yang orang yang lisannya telah akrab dengan kalimat ini, ketika
ditimpa bahaya ia malah meminta perlindungan dari dukun, paranormal, kyai, atau
pihak-pihak lain yang pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan untuk
melindungi. Bahkan mereka sendiri tidak bisa melindungi diri mereka dari
keburukan yang ditakdirkan oleh Allah terhadap mereka. Perlindungan yang
sebenarnya hanya datang dari Allah Ta’ala.
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ
بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia” (QS. Yunus: 107)
Oleh karena
itulah, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk meminta perlindungan hanya
kepada Allah.
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ
الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika
setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS.
Fushilat: 36)
Bahkan
orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah, justru mendapatkan poin
negatif dari Allah Ta’ala.
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ
الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka
dosa dan kesalahan“ (QS. Al Jin: 6)
Dzikir
Setelah Shalat
Doa yang
sering kita baca setelah shalat ini berbunyi,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ،
وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ
مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya.
Segala kekuasaan dan pujian adalah milik Allah. Dan Ia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Allahumma (Ya Allah), tidak ada yang dapat menghalangi jika Engkau
memberikan sesuatu, dan tidak ada yang dapat memberi jika Engkau telah
menghalanginya. Tidak berguna kekayaan seseorang dihadapun-Mu wahai Dzat Yang
Maha Kaya” (HR. Bukhari no.6615 dan
Muslim no.477)
Sekali
lagi, dzikir ini menegaskan konsep Tauhid, yaitu ‘walaupun pada realitanya
sesembahan selain Allah itu memang ada, namun yang berhak untuk disembah
hanyalah Allah‘. Dan tidak ada sekutu yang menandingi Allah, berupa sesembahan
lain yang juga berhak disembah sekalipun dari kalangan Malaikat atau para Nabi
atau yang lain.
Dzikir ini
juga menegaskan bahwa doa hanyalah ditujukan kepada Allah bukan kepada
selain-Nya. Karena Allah-lah yang memiliki hak veto untuk memberi kebaikan dan
keburukan atau tidak memberinya.
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya” (QS. Yunus: 107)
Dzikir yang
diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini berisi puji-pujian
terhadap Allah terutama memuji kebesaran Allah dalam hal kekuasaan-Nya untuk
memberi kebaikan atau keburukan. Berkaitan dengan hal tersebut, digunakannya
lafadz ‘Allahumma‘ di sini memberikan pengajaran bahwa permintaan kita kepada
Allah disampaikan langsung kepada Allah tanpa melalui perantara siapa pun.
“Dan Allah
berfirman: “Berdoalah (langsung) kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan” (QS. Al
Mu’min: 60)
Demikian,
semoga kita dan seluruh umat muslim berhenti sejenak saja untuk merenungkan
kalimat-kalimat di atas yang senantiasa meluncur deras dari lisan kita,
sehingga dapat kita resapi hakikat ajaran Tauhid yang agung yang merupakan
modal utama untuk mengharap secercah Rahmat dari Allah Ta’ala di hari akhir
kelak.
—
Penulis: Yulian Purnama
0 komentar:
Posting Komentar