Sabtu, 05 Desember 2020

Amal Perbuatan Baik Seperti Debu Berterbangan, Jika Tidak Beriman Ke Pada Allah SWT

 Amal Perbuatan Baik Seperti Debu Berterbangan, Jika Tidak Beriman Ke Pada Allah SWT

 

PADANG,SUMBARTODAY-Nikmat paling besar yang Allah SWT berikan kepada manusia adalah nikmat Iman dan Islam, tidak semua manusia diberi nikmat ini, hanya mereka yang dikehendaki oleh Allah yang bisa menerima Nur Ilahi tersebut. Bahkan seorang Nabi dan Rasul pun tidak bisa memberi  hidayah kepada orang yang dicintainya.

Hidayah adalah hak prerogratif Allah semata. karenanya, bagi kita yang sudah mendapatkannya harus berusaha Istiqamah/memegangnya dengan kuat. Caranya, selalu berdo’a kepada Allah agar hati  kita ditetapkan dalam Islam, kemudian berusaha, berikhtiar melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-larangan-Nya.

Orang yang mendapat hidayah berarti telah mendapat pengetahuan yang benar tentang jati dirinya yang sesungguhnya. Ia telah sadar bahwa dirinya adalah mahluk yang diciptakan, yang pasti  memiliki khalik (maha Pencipta) yaitu Allah sang pencipta langit dan bumi, serta segala isinya.

Konsekwensi dari pemahaman tersebut mengakui bahwa Pencipta dari segala yang ada ini berhak untuk diibadahi, ditaati, ditakuti, diharapkan dan dicintai.

Adapun orang yang tidak mengakui hal itu, berarti hatinya sedang tertutup, derajatnya sebagai manusia sangat rendah. Merekalah yang di dalam al-Qur’an disebut orang musryik dan kafir. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan.

Orang seperti ini tidak memiliki harga, meski telah melakukan perbuatan baik. Sebab ia telah melalaikan hak Allah yakni untuk dikenal dan diibadahi. Orang yang menyia-nyiakan hak Allah tidak akan mendapat manfaat dari kebaikan yang dia lakukan kepada manusia. Perbuatan itu hanya diganjar di dunia seperti mendapat pujian dan sanjungan manusia. Namun di akhirat kelak, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa, dan tempat kembalinya adalah neraka.

Dasarnya adalah firman Allah:

 

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi..” (QS: Ali Imraan: 85)

Demikian juga firman Allah:

 

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً

 

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan…” (QS: Al-Furqaan : 23)

Juga firman Allah:

 

وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَلِقَاء الآخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

 

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan..” (QS: -A’raaf : 147)

Aisyah Radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Ibnu Juz’an dahulu di masa jahiliyyah selalu menjaga hubungan silaturrahmi dan memberi makan fakir miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?” Beliau menjawab: “Tidak akan berguna baginya. Karena ia tidak pernah mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti.” (HR. Imam Muslim dalam Shahih-nya 214)

Ini artinya seseorang yang meninggal dunia di luar Islam, tidak akan mungkin masuk surga berdasarkan firman Allah:

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah mengharamkan kepadanya jannah, dan tempatnya ialah nar, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (QS: Al-Maa-idah : 72)

Amal orang beriman

Adapun orang yang beriman, yaitu mereka yang mengikuti petunjuk Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya, jika melakukan amal kebaikan pasti akan diganjar oleh Allah dengan kebaikan. Amal mereka tidaklah sia-sia. Sebaliknya, jika mereka melakukan amal keburukan juga akan mendapat balasan setimpal.

Namun karena kasih sayang-Nya,  Allah berhak mengampuni siapa yang dikehendaki selain dosa syirik, termasuk diantaranya pelaku dosa besar. sesuai dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisa 48)

Ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah, bahwa pelaku dosa besar dari umat beliau akan dimasukkan dalam neraka, namun tidak kekal. Atas  rahmat Allah dan pertolongan (syafaat) hamba-Nya yang  taat,  mereka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan dalam Surga.

Rasulullah bersabda: “Ahlu surga telah masuk ke surga dan Ahlu neraka telah masuk Neraka. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Keluarkan dari neraka siapa yang didalam hatinya ada iman sebesar biji sawi”. Maka mereka keluar dari neraka dalam kondisi yang telah menghitam gosong kemudian dimasukkan kedalam sungai hidup atau kehidupan. Malik ragu, lalu mereka tumbuh bersemi seperti tumbuhnya benih di tepi aliran sungai. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana dia keluar dengan warna kekuningan.”Berkata Wuhaib Telah menceritakan kepada kami ‘Amru: “Kehidupan”. Dan berkata: “Sedikit dari kebaikan”. (HR.Bukhari)

Ayat dan hadits ini menjadi jawaban bagi kelompok yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka sebagaimana pendapat Mu’tazilah dan Khawarij. Mu’tazilah  berpendapat bahwa pelaku dosa besar menyebabkan hilangnya iman, meski ia masih muslim. Sedang Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, sehingga ia layak kekal di neraka. Dasar mereka adalah surat al-Baqarah: 80-82. Namun hujah mereka ini telah dibantah oleh para ulama karena dalam ayat 81 ada kalimat وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ  (wa akhatot bihi khotiatuhu) yang secara lafdiyah artinya ia telah diliputi oleh dosanya. Dengan kata lain tidak ada sedikitpun kebaikan dalam dirinya. Dan ini hanya terjadi bagi orang-orang musryik dan kafir, karena semua amal kebaikannya ditolak oleh Allah.

Sedang orang yang punya iman meski sedikit,, jika melakukan kebaikan, di mata Allah masih punya nilai sehingga mereka tidak penuh dosanya sebagaimana orang kafir. Menurut Abu Hurairah, Abu Wail, Ata’ dan Hasan Basri ayat itu menunjukkan kemusryikan yang meliputi dirinya. Al-A’masi mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah orang yang mati dengan membawa semua dosanya sebelum melakukan taubat. (Tafsir Ibnu Katsir).

Perlu digaris bawahi bahwa orang yang beriman berbeda dengan orang kafir. Allah menandaskan  perbedaan kedua golongan itu seperti perbedaan antara orang yang melihat dan mendengar dengan orang yang buta dan tuli. Karena itulah orang beriman yang melakukan kesalahan, atas rahmat Allah masih mendapat ampunan dari-Nya. Waalahu’alam.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi jika didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS An-Nur: 39)

Dalam ayat ke-39 surat An-Nur ini, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.

Sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati orang-orang non muslim yang berlaku baik, seperti ia sangat menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, memiliki sifat dermawan kepada sesama, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, sekali lagi melalui ayat ini seolah Allah ingin mempertegas bahwa apa yang mereka (orang kafir) lakukan itu tidak bernilai di sisi Allah. Mengapa? Karena orang kafir beramal tidak didasarkan atas iman.

Ada sebuah analogi sederhana untuk membuktikan betapa sia-sianya amal tanpa dilandasi keimanan. Jika ada seseorang bekerja untuk perusahaan A, lantas ia menginginkan gaji dari perusahaan B. Apakah perusahaan B akan memberikan gaji kepada seseorang yang tidak bekerja untuk perusahaannya? Seseorang tersebut ibarat orang kafir, ia beramal untuk Tuhan selain Allah, apakah mungkin Allah memberikan Surga-Nya untuk orang kafir?

Lantas kita pun berpikir tentang dosa orang kafir. Apakah orang kafir yang tidak sholat itu dosa? Jelas tidak, karena kekafirannya. Dosa bagi orang kafir adalah karena kesyirikannya, ia menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Dan, dosa syirik adalah sebesar-besarnya dosa. Hanya dengan rahmat Allah-lah dosa syirik seorang kafir diampuni ketika ia bertaubat.

Namun bagi seorang muslim pun harus berhati-hati dengan amal perbuatan yang kita lakukan, karena tidak tertutup kemungkinan amal-amal kita pun laksana fatamorgana yang tak memiliki nilai di sisi Allah manakala kita beramal tetapi tidak didasari iman kepada Allah.

Beramal dengan ilmu, Amal baik adalah segala sikap, tindakan, ucapan yang memiliki dasar “ilmu”. Amal yang dilandasi dengan ilmu memiliki ciri, (a) al-ashwab yakni benar yang berarti tidak menyalahi segala yang sudah ditetapkan oleh Allah, (b) al-akhlash yakni memilih amal kebaikan yang paling tidak disukai nafsu.

Hati yang menerima, Seseorang yang beramal didasarkan atas iman maka hatinya pun menerima setiap amal-amal yang ia lakukan.

Dilakukan karena yakin, Yakin akan kebenarannya dan yakin akan ketulusannya.

Disertai hati khudu’ (merasa rendah dan hina), seorang beriman disaat berdoa , “Ya Allah hamba memohon ampun ”.

Ditunaikan karena cinta dan rindu kepada Allah, amal seorang muslim merupakan manifestasi kecintaan dan kerinduan seorang hamba kepada Sang Khaliq.

Diniatkan untuk mendapatkan husnul khotimah, seorang mukmin yang beramal dengan didasari iman, ia berharap agar diaat meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah, sulit dicapai jika tidak beramal shaleh yang dilakukan dengan istiqomah.

Keadaan orang kafir itu amalnya sia-sia, dan berada dalam kegelapan. Itulah yang dapat digali dari surat An-Nuur ayat 39-40.

Tafsir Surah An-Nuur

Ayat 39 – 40

 

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ

 

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nuur: 39-40)

Penjelasan Ayat :

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa ayat ini adalah permisalan untuk dua jenis orang kafir, sebagaimana sebelumnya disebutkan untuk orang munafik dalam awal surah Al-Baqarah … Permisalan pertama adalah untuk orang kafir yang mengajak pada kekafiran yang menyangka bahwa mereka berada dalam kebenaran amal dan iktikad. Padahal usaha mereka sia-sia.

Hal ini dimisalkan seperti fatamorgana-gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air di tanah yang datar. … Ketika melihat fatamorgana, dan ketika itu mereka membutuhkan air ternyata mereka tidak mendapatkan apa-apa. Inilah permisalan untuk orang kafir, mereka telah melakukan suatu amalan dan mereka sangka sudah mendapatkan hasilnya. Padahal kelak pada hari kiamat mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena mereka itu tidak ikhlas dan tidak mau mengikuti syariat. Amalan mereka seperti yang dikatakan dalam ayat lainnya,

 

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

 

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

“Nanti akan dikatakan kepada orang-orang Yahudi, apa yang kalian sembah?” Mereka menjawab, “Kami menyembah Uzair putra Allah.” Dikatakan kepada mereka, “Kalian dusta, Allah tidaklah mengangkat anak. Lalu apa yang kalian harapkan?” Mereka menjawab, “Wahai Rabbku, kami dalam keadaan haus, berilah minum kepada kami.” Lalu ada yang mengatakan, “Tidakkah kalian melihat?” Lantas nampak api, terlihat seperti fatamorgana yang sudah dikerumuni orang-orang yang saling berdesakkan. (HR. Bukhari, no. 4581 dan Muslim, no. 183)

Permisalan pertama ini untuk orang yang jahal murakkab (sangat bodoh). Permisalan kedua untuk orang yang bodoh biasa, yaitu para pengikut atau asal ikut-ikutan pada pemimpin (ulama) yang kufur, yang tuli dan bisu yang tidak bisa berpikir, yang cuma sekadar ikut-ikutan, yang tidak mengetahui siapa yang menuntun, tidak mengetahui ke mana harus pergi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat (yang artinya), “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya.” Yang dimaksud di sini adalah kegelapan pada hati, pendengaran, dan penglihatan. Ayat ini semakna dengan ayat,

 

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

 

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah: 7)

Juga sama seperti ayat,

 

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

 

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Ubay bin Ka’ab mengenai firman Allah Ta’ala,

 

ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ

 

“gelap gulita yang tindih-bertindih”, di sini maksudnya ia berbolak-balik pada lima kegelapan yaitu kegelapan dalam perkataan, kegelapan dalam amal, masuk dan keluarnya juga kegelapan, dan kembalinya pada hari kiamat pada kegelapan hingga masuk dalam jurang neraka.

Sedangkan maksud ayat,

 

وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ

 

“(dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa siapa yang tidak diberi petunjuk oleh Allah, maka ia akan binasa (haalik), berada dalam kebodohan (jaahil), menjadi rusak (haail), menjadi tidak berguna (baair), hingga menjadi kafir. Ini sama seperti firman Allah,

 

مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ

 

“Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 186)

Ini berbeda seperti keadaan orang mukmin,

 

يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ

 

“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nuur: 35). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:554-556.

Faedah Ayat

Pertama: Dalam Al-Qur’an dipakai metode yaitu jika disebutkan tentang orang beriman, maka disebutkan pula tentang orang kafir. Sama pula jika disebutkan tentang surga disebutkan pula tentang neraka. Karena jika disebutkan tentang surga, maka seseorang akan menaruh harapan yang besar untuk meraihnya. Begitu pula jika disebutkan tentang neraka, maka seseorang akan menaruh rasa takut yang besar sehingga bisa menjauhinya.

Kedua: Orang kafir mengira dengan amalnya akan bermanfaat untuknya ternyata hal itu hanyalah fatamorgana. Ketika mereka berbuat syirik, Allah mengatakan,

 

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَ

 

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)

Ketiga: Allah akan membalas amal hamba secara sempurna dan perhitungan Allah begitu cepat. Allah menghisab hamba hanya dalam setengah hari saja. Satu hari itu lamanya 1000 tahun di dunia. Dan hisab Allah itu,

 

لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا

 

“(Kitab)yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (QS. Al-Kahfi: 49)

Keempat: Permisalan dalam surah An-Nuur ayat 39 dan 40 ini adalah permisalan untuk dua jenis orang kafir. Jenis pertama adalah orang kafir yang berijtihad, ia menyangka amalnya itu bermanfaat. Jenis kedua adalah orang kafir yang muqallid, hanya ikut-ikutan, yang tidak mengetahui, dirinya itu bodoh dan sesat, ia berada dalam kegelapan namun ia tidak mengetahui.

Kelima: Nur atau cahaya yang dimaksud dalam ayat adalah cahaya maknawi yaitu cahaya ilmu dan iman. Berarti kegelapan yang dimaksud adalah kegelapan syirik dan rusaknya amal (karena bidah).Cahaya itu diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keenam: Allah tetap menyukai hamba-Nya yang mendapat hidayah, Allah tidak menginginkan hamba itu sesat. Hamba itu bisa sesat karena ia sendiri yang enggan menerima CHAYA ILAHI.

Allah Ta’ala berfirman,

 

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ

 

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaff: 5)

Ketujuh: Kita hendaklah memohon kepada Allah supaya Allah memberikan cahaya pada hati kita.

Doa Ibnu Katsir setelah menutup pembahasan dua ayat ini,

 

فَنَسْأَلُ اللهَ العَظِيْمَ أَنْ يَجْعَلَ فِي قُلُوْبِنَا نُوْرًا، وَعَنْ أَيْمَانِنَا نُوْرًا، وَعَنْ شِمَائِلِنَا نُوْرًا، وَأَنْ يُعْظِمَ لَنَا نُوْرًا

 

Kita memohon kepada Allah Yang Mahaagung supaya menjadikan hati kita penuh cahaya, di kanan kita juga cahaya, di kiri kita juga cahaya, semoga Allah memperbesar cahaya untuk kita.

Wahai saudariku janganlah melelahkan dirimu dengan banyak melakukan amal perbuatan, karena banyak sekali orang yang melakukan perbuatan, sedangkan amal tersebut sama sekali tidak memberikan apa-apa kecuali kelelahan di dunia dan dan siksa di akhirat. Oleh karena itu sebelum melangkah untuk melakukan amal perbuatan, kita harus berilmu apa syarat diterimanya amal tersebut, dengan harapan amal kita bisa diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam masalah ini ada tiga syarat penting lagi agung yang perlu diketahui oleh setiap hamba yang beramal, jika tidak demikian, maka amal terebut tidak akan diterima.

Pertama, Iman Kepada Allah dengan Men-tauhid-Nya

 

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّـلِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّـتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.”(QS. Al- Kahfi:107)

Tempat masuknya orang-orang kafir adalah neraka jahannam, sedangkan surga firdaus bagi mereka orang-orang yang mukmin, namun ada 2 syarat seseorang bisa memasuki surga firdaus tersebut yaitu:

Iman

Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah rasul-Nya

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:

“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” (HR Muslim)

Amal Shalih

Yaitu mencakup ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang diperintahkan dalam syariat Allah.

 

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

 

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agamya yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)

 

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

 

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (All-Mulk : 2)

Al-Fudhail berkata: “Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” (Tafsir al-Baghawi, 8:176)

Kedua, Ikhlas, Lillahi ta’ala

Jangan bosan dengankata ini, namun kita tidak mengetahui makna dari ikhlas tersebut.

Ikhlas adalah membersihkan segala kotoran dan sesembahan-sesembahan selain Allah dalam beribadah kepada-Nya. yaitu beramal karena Allah tanpa berbuat riya’ dan juga tidak sum’ah.

Orang-orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?”.

Dia menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut Al Qu’ran dan As-Sunnah.” Kemudian ia membaca ayat:

 

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi :110)

Allah juga berfirman:

 

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

 

“Artinya : Dan sipakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’ :125)

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah beliau.

Allah juga berfirman.

 

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

 

” Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan : 23)

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau amal yang dimaksudkan untuk selain Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatau amal untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya.”

Ketiga, Sesuai dengan Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dasar dari setiap amal adalah ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga tidak terbesit di dalam pikirannya hal-hal yang merusak amal tersebut, karena segala saesuatu hal yang kita kerjakan harus dilandasi perkara ikhlas ini. Namun, apakah hanya dengan ikhlas saja, amal kita sudah diterima oleh Allah?

Adapun pilar yang ketiga ini yaitu harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla. Mayoritas di kalangan masyarakat kita, sanak saudara kita, bahkan orang tua kita melakukan amalan-amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan parahnya lagi bisa terjerumus dalam keyirikan. Adapun hadits yang termahsyur yang menjelaskan hal ini:

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

 

“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan:

 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

“Siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”

Setiap perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil yang syar’i yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah maka tertolaklah amalannya. Oleh karena itu amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam merupakan amalan yang sangat buruk dan merupakan salah satu dosa besar.

Wahai saudariku, agama Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-ada suatu amal tanpa dalil) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada. Dan Agama islam merupakan agama yang sempurna tidak ada kurangnya. Oleh karena itu, jangan ditambah-ditambahi ataupun dikurang-kurangi.

Itulah sekelumit tentang 3 syarat diterimanya suatu amalan. Apabila salah satunya tidak dilaksanakan, maka amalannya tertolak. Walaupun hati kita sudah ikhlas dalam mengerjakan suatu amalan, namun tidak ada dalil yang menjelaskan amalan tersebut atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka amalannya menjadi tertolak. Begitupula sebaliknya, apabila kita sudah bersesuaian dengan tuntunan Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam, namun hati kita tidak ikhlas karena Allah ta’ala malah ditujukan kepada selain-Nya maka amalannya pun juga tertolak.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tentang maksud “bagaikan debu yang beterbangan”

Imam al-Baghawi rahimahullahmenjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak melakukannya karena Allah ‘azza wa jalla.

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai Allah, maka itu adalah batil/sia-sia.

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.

Di dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah ‘azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.”

Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.”

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin (catatan keburukan), karena amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.”

Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.”

Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.”

al-Harits bin Qasi an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, “Kamu sedang riya’.” maka buatlah sholat itu semakin bertambah lama.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 576)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang riya’ dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 580)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ‘ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 583)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)

Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, “Ya Allah, hamba memohon ampunan dari riya’ dan sum’ahku.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 577)

Sebagai orang yang beriman, tidak ada pilihan lain, kecuali dalam memahami sesuatu yang berkaitan dengan masalah aqidah, hendaknya kembali kepada Al Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.

Berkenan dengan masalah diatas, Al-Qur’an dengan jelas, tegas dan tuntas menjawabnya diantaranya dalam surat al-furqan ayat 23, Allah Ta’ala menegaskan, ”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”

Selanjutnya dalam surat An-Nur ayat 39, Allah Ta’ala juga menegaskan, “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun . . . .”

Begitu juga dalam surat Ibrahim ayat 18, Allah ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang kafir kepada tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Bersamaan dengan itu tampak juga adanya kesengajaan dari mereka yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tidak menggunakan metedologi baku sebagaimana yang dilakukan para salafussaleh di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.

Misalnya dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 62 mengenai kedudukan kaum Yahudi, Nasrani, dan Shobi’i akan mendapat pahala dari Allah sejauh mereka beriman kepada Allah dengan iman yang benar, hari kemudian, dan beramal shaleh.

Pendapat ini jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena dalam memahami satu ayat di dalam al-Qur’an harus merujuk kepada ayat yang lain. misalnya, dalam surat al-baqarah ayat 62, kata beriman harus dirujuk ke ayat lain, tidak bisa menggunakan ayat itu semata-mata tanpa melihat ayat lain.

Adapun rujukan ayat tentang orang beriman ayatnya bertebaran di banyak surah di dalam al-Qur’an. Di antaranya di dalam surat al-anfal  ayat 2 s/d 4, Allah menegaskan ciri-ciri orang yang beriman. Pertama, apabila disebut nama Allah Ta’ala bergetar hatinya, kedua, apabila dibacakan ayat-ayat Allah Ta’ala bertambahlah imannya. Ketiga, melaksanakan shalat. Keempat, menafkahkan hartanya dijalan Allah Ta’ala.

Kemudian juga dalam ayat lain, misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 15, Allah Ta’ala juga menegaskan ciri-ciri orang yang beriman yaitu : yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan merka berjihad dengan harta dan jiwa mereka hanya kepada jalan Allah Ta’ala, mereka itulah orang-orang yang benar.

 

sumber/referensi:

Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

https://www.sumbartoday.net

 

0 komentar:

Posting Komentar