Amal Perbuatan Baik Seperti Debu Berterbangan, Jika Tidak Beriman Ke Pada Allah SWT
PADANG,SUMBARTODAY-Nikmat paling besar yang Allah SWT
berikan kepada manusia adalah nikmat Iman dan Islam, tidak semua manusia diberi
nikmat ini, hanya mereka yang dikehendaki oleh Allah yang bisa menerima Nur
Ilahi tersebut. Bahkan seorang Nabi dan Rasul pun tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang dicintainya.
Hidayah adalah hak prerogratif Allah semata. karenanya,
bagi kita yang sudah mendapatkannya harus berusaha Istiqamah/memegangnya dengan
kuat. Caranya, selalu berdo’a kepada Allah agar hati kita ditetapkan dalam Islam, kemudian
berusaha, berikhtiar melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui
larangan-larangan-Nya.
Orang yang mendapat hidayah berarti telah mendapat
pengetahuan yang benar tentang jati dirinya yang sesungguhnya. Ia telah sadar
bahwa dirinya adalah mahluk yang diciptakan, yang pasti memiliki khalik (maha Pencipta) yaitu Allah
sang pencipta langit dan bumi, serta segala isinya.
Konsekwensi dari pemahaman tersebut mengakui bahwa
Pencipta dari segala yang ada ini berhak untuk diibadahi, ditaati, ditakuti,
diharapkan dan dicintai.
Adapun orang yang tidak mengakui hal itu, berarti hatinya
sedang tertutup, derajatnya sebagai manusia sangat rendah. Merekalah yang di
dalam al-Qur’an disebut orang musryik dan kafir. Mereka ini terdiri dari
orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan.
Orang seperti ini tidak memiliki harga, meski telah
melakukan perbuatan baik. Sebab ia telah melalaikan hak Allah yakni untuk
dikenal dan diibadahi. Orang yang menyia-nyiakan hak Allah tidak akan mendapat
manfaat dari kebaikan yang dia lakukan kepada manusia. Perbuatan itu hanya
diganjar di dunia seperti mendapat pujian dan sanjungan manusia. Namun di
akhirat kelak, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa, dan tempat kembalinya
adalah neraka.
Dasarnya adalah firman Allah:
وَمَن
يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi..” (QS: Ali
Imraan: 85)
Demikian
juga firman Allah:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
“Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan…” (QS: Al-Furqaan : 23)
Juga firman
Allah:
وَالَّذِينَ كَذَّبُواْ
بِآيَاتِنَا وَلِقَاء الآخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلاَّ
مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui
akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari
apa yang telah mereka kerjakan..” (QS: -A’raaf : 147)
Aisyah
Radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Ibnu
Juz’an dahulu di masa jahiliyyah selalu menjaga hubungan silaturrahmi dan
memberi makan fakir miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?” Beliau
menjawab: “Tidak akan berguna baginya. Karena ia tidak pernah mengucapkan: “Ya
Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti.” (HR. Imam Muslim dalam
Shahih-nya 214)
Ini artinya
seseorang yang meninggal dunia di luar Islam, tidak akan mungkin masuk surga
berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah mengharamkan
kepadanya jannah, dan tempatnya ialah nar, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim
itu seorang penolongpun.” (QS: Al-Maa-idah : 72)
Amal orang
beriman
Adapun
orang yang beriman, yaitu mereka yang mengikuti petunjuk Allah yang dibawa oleh
Rasul-Nya, jika melakukan amal kebaikan pasti akan diganjar oleh Allah dengan
kebaikan. Amal mereka tidaklah sia-sia. Sebaliknya, jika mereka melakukan amal
keburukan juga akan mendapat balasan setimpal.
Namun
karena kasih sayang-Nya, Allah berhak
mengampuni siapa yang dikehendaki selain dosa syirik, termasuk diantaranya
pelaku dosa besar. sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisa
48)
Ayat ini
dijelaskan oleh Rasulullah, bahwa pelaku dosa besar dari umat beliau akan
dimasukkan dalam neraka, namun tidak kekal. Atas rahmat Allah dan pertolongan (syafaat)
hamba-Nya yang taat, mereka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan
dalam Surga.
Rasulullah
bersabda: “Ahlu surga telah masuk ke surga dan Ahlu neraka telah masuk Neraka.
Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Keluarkan dari neraka siapa yang didalam hatinya
ada iman sebesar biji sawi”. Maka mereka keluar dari neraka dalam kondisi yang
telah menghitam gosong kemudian dimasukkan kedalam sungai hidup atau kehidupan.
Malik ragu, lalu mereka tumbuh bersemi seperti tumbuhnya benih di tepi aliran
sungai. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana dia keluar dengan warna
kekuningan.”Berkata Wuhaib Telah menceritakan kepada kami ‘Amru: “Kehidupan”.
Dan berkata: “Sedikit dari kebaikan”. (HR.Bukhari)
Ayat dan
hadits ini menjadi jawaban bagi kelompok yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar kekal di neraka sebagaimana pendapat Mu’tazilah dan Khawarij.
Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa
besar menyebabkan hilangnya iman, meski ia masih muslim. Sedang Khawarij berpendapat
bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, sehingga ia layak kekal di neraka. Dasar
mereka adalah surat al-Baqarah: 80-82. Namun hujah mereka ini telah dibantah
oleh para ulama karena dalam ayat 81 ada kalimat وَأَحَاطَتْ
بِهِ خَطِيئَتُهُ (wa akhatot bihi
khotiatuhu) yang secara lafdiyah artinya ia telah diliputi oleh dosanya. Dengan
kata lain tidak ada sedikitpun kebaikan dalam dirinya. Dan ini hanya terjadi
bagi orang-orang musryik dan kafir, karena semua amal kebaikannya ditolak oleh
Allah.
Sedang
orang yang punya iman meski sedikit,, jika melakukan kebaikan, di mata Allah
masih punya nilai sehingga mereka tidak penuh dosanya sebagaimana orang kafir.
Menurut Abu Hurairah, Abu Wail, Ata’ dan Hasan Basri ayat itu menunjukkan
kemusryikan yang meliputi dirinya. Al-A’masi mengatakan bahwa yang dimaksud
ayat ini ialah orang yang mati dengan membawa semua dosanya sebelum melakukan
taubat. (Tafsir Ibnu Katsir).
Perlu
digaris bawahi bahwa orang yang beriman berbeda dengan orang kafir. Allah
menandaskan perbedaan kedua golongan itu
seperti perbedaan antara orang yang melihat dan mendengar dengan orang yang
buta dan tuli. Karena itulah orang beriman yang melakukan kesalahan, atas
rahmat Allah masih mendapat ampunan dari-Nya. Waalahu’alam.
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi jika didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS An-Nur: 39)
Dalam ayat
ke-39 surat An-Nur ini, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu
laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun.
Sering
dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati orang-orang non muslim yang berlaku
baik, seperti ia sangat menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, memiliki
sifat dermawan kepada sesama, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, sekali lagi
melalui ayat ini seolah Allah ingin mempertegas bahwa apa yang mereka (orang
kafir) lakukan itu tidak bernilai di sisi Allah. Mengapa? Karena orang kafir
beramal tidak didasarkan atas iman.
Ada sebuah
analogi sederhana untuk membuktikan betapa sia-sianya amal tanpa dilandasi
keimanan. Jika ada seseorang bekerja untuk perusahaan A, lantas ia menginginkan
gaji dari perusahaan B. Apakah perusahaan B akan memberikan gaji kepada
seseorang yang tidak bekerja untuk perusahaannya? Seseorang tersebut ibarat
orang kafir, ia beramal untuk Tuhan selain Allah, apakah mungkin Allah
memberikan Surga-Nya untuk orang kafir?
Lantas kita
pun berpikir tentang dosa orang kafir. Apakah orang kafir yang tidak sholat itu
dosa? Jelas tidak, karena kekafirannya. Dosa bagi orang kafir adalah karena
kesyirikannya, ia menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Dan, dosa syirik
adalah sebesar-besarnya dosa. Hanya dengan rahmat Allah-lah dosa syirik seorang
kafir diampuni ketika ia bertaubat.
Namun bagi
seorang muslim pun harus berhati-hati dengan amal perbuatan yang kita lakukan,
karena tidak tertutup kemungkinan amal-amal kita pun laksana fatamorgana yang
tak memiliki nilai di sisi Allah manakala kita beramal tetapi tidak didasari
iman kepada Allah.
Beramal
dengan ilmu, Amal baik adalah segala sikap, tindakan, ucapan yang memiliki
dasar “ilmu”. Amal yang dilandasi dengan ilmu memiliki ciri, (a) al-ashwab
yakni benar yang berarti tidak menyalahi segala yang sudah ditetapkan oleh
Allah, (b) al-akhlash yakni memilih amal kebaikan yang paling tidak disukai
nafsu.
Hati yang
menerima, Seseorang yang beramal didasarkan atas iman maka hatinya pun menerima
setiap amal-amal yang ia lakukan.
Dilakukan
karena yakin, Yakin akan kebenarannya dan yakin akan ketulusannya.
Disertai
hati khudu’ (merasa rendah dan hina), seorang beriman disaat berdoa , “Ya Allah
hamba memohon ampun ”.
Ditunaikan
karena cinta dan rindu kepada Allah, amal seorang muslim merupakan manifestasi
kecintaan dan kerinduan seorang hamba kepada Sang Khaliq.
Diniatkan
untuk mendapatkan husnul khotimah, seorang mukmin yang beramal dengan didasari
iman, ia berharap agar diaat meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah,
sulit dicapai jika tidak beramal shaleh yang dilakukan dengan istiqomah.
Keadaan
orang kafir itu amalnya sia-sia, dan berada dalam kegelapan. Itulah yang dapat
digali dari surat An-Nuur ayat 39-40.
Tafsir
Surah An-Nuur
Ayat 39 –
40
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا
جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ
وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ
مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ
إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ
نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita
di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula),
di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang
tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya
sedikitpun.” (QS. An-Nuur: 39-40)
Penjelasan
Ayat :
Ibnu Katsir
rahimahullah menyebutkan bahwa ayat ini adalah permisalan untuk dua jenis orang
kafir, sebagaimana sebelumnya disebutkan untuk orang munafik dalam awal surah
Al-Baqarah … Permisalan pertama adalah untuk orang kafir yang mengajak pada
kekafiran yang menyangka bahwa mereka berada dalam kebenaran amal dan iktikad.
Padahal usaha mereka sia-sia.
Hal ini
dimisalkan seperti fatamorgana-gejala optis yang tampak pada permukaan yang
panas, yang kelihatan seperti genangan air di tanah yang datar. … Ketika
melihat fatamorgana, dan ketika itu mereka membutuhkan air ternyata mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Inilah permisalan untuk orang kafir, mereka telah
melakukan suatu amalan dan mereka sangka sudah mendapatkan hasilnya. Padahal
kelak pada hari kiamat mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena mereka itu
tidak ikhlas dan tidak mau mengikuti syariat. Amalan mereka seperti yang
dikatakan dalam ayat lainnya,
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
“Nanti akan
dikatakan kepada orang-orang Yahudi, apa yang kalian sembah?” Mereka menjawab,
“Kami menyembah Uzair putra Allah.” Dikatakan kepada mereka, “Kalian dusta,
Allah tidaklah mengangkat anak. Lalu apa yang kalian harapkan?” Mereka
menjawab, “Wahai Rabbku, kami dalam keadaan haus, berilah minum kepada kami.”
Lalu ada yang mengatakan, “Tidakkah kalian melihat?” Lantas nampak api,
terlihat seperti fatamorgana yang sudah dikerumuni orang-orang yang saling
berdesakkan. (HR. Bukhari, no. 4581 dan Muslim, no. 183)
Permisalan
pertama ini untuk orang yang jahal murakkab (sangat bodoh). Permisalan kedua
untuk orang yang bodoh biasa, yaitu para pengikut atau asal ikut-ikutan pada
pemimpin (ulama) yang kufur, yang tuli dan bisu yang tidak bisa berpikir, yang
cuma sekadar ikut-ikutan, yang tidak mengetahui siapa yang menuntun, tidak
mengetahui ke mana harus pergi.
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat (yang artinya), “Atau seperti
gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya
ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih,
apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya.” Yang
dimaksud di sini adalah kegelapan pada hati, pendengaran, dan penglihatan. Ayat
ini semakna dengan ayat,
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ
قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Allah
telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah: 7)
Juga sama
seperti ayat,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ
إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ
وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ
اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Ubay bin
Ka’ab mengenai firman Allah Ta’ala,
ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ
بَعْضٍ
“gelap
gulita yang tindih-bertindih”, di sini maksudnya ia berbolak-balik pada lima
kegelapan yaitu kegelapan dalam perkataan, kegelapan dalam amal, masuk dan
keluarnya juga kegelapan, dan kembalinya pada hari kiamat pada kegelapan hingga
masuk dalam jurang neraka.
Sedangkan
maksud ayat,
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ
لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“(dan)
barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikitpun.” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa
siapa yang tidak diberi petunjuk oleh Allah, maka ia akan binasa (haalik),
berada dalam kebodohan (jaahil), menjadi rusak (haail), menjadi tidak berguna
(baair), hingga menjadi kafir. Ini sama seperti firman Allah,
مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَا
هَادِيَ لَهُ
“Barangsiapa
yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk.”
(QS. Al-A’raf: 186)
Ini berbeda
seperti keadaan orang mukmin,
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ
مَنْ يَشَاءُ
“Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Allah kehendaki.” (QS. An-Nuur: 35).
Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:554-556.
Faedah Ayat
Pertama:
Dalam Al-Qur’an dipakai metode yaitu jika disebutkan tentang orang beriman,
maka disebutkan pula tentang orang kafir. Sama pula jika disebutkan tentang
surga disebutkan pula tentang neraka. Karena jika disebutkan tentang surga,
maka seseorang akan menaruh harapan yang besar untuk meraihnya. Begitu pula
jika disebutkan tentang neraka, maka seseorang akan menaruh rasa takut yang
besar sehingga bisa menjauhinya.
Kedua:
Orang kafir mengira dengan amalnya akan bermanfaat untuknya ternyata hal itu
hanyalah fatamorgana. Ketika mereka berbuat syirik, Allah mengatakan,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَ
“Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
(QS. Az-Zumar: 3)
Ketiga:
Allah akan membalas amal hamba secara sempurna dan perhitungan Allah begitu
cepat. Allah menghisab hamba hanya dalam setengah hari saja. Satu hari itu
lamanya 1000 tahun di dunia. Dan hisab Allah itu,
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً
وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
“(Kitab)yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Keempat:
Permisalan dalam surah An-Nuur ayat 39 dan 40 ini adalah permisalan untuk dua
jenis orang kafir. Jenis pertama adalah orang kafir yang berijtihad, ia
menyangka amalnya itu bermanfaat. Jenis kedua adalah orang kafir yang muqallid,
hanya ikut-ikutan, yang tidak mengetahui, dirinya itu bodoh dan sesat, ia
berada dalam kegelapan namun ia tidak mengetahui.
Kelima: Nur
atau cahaya yang dimaksud dalam ayat adalah cahaya maknawi yaitu cahaya ilmu
dan iman. Berarti kegelapan yang dimaksud adalah kegelapan syirik dan rusaknya
amal (karena bidah).Cahaya itu diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keenam:
Allah tetap menyukai hamba-Nya yang mendapat hidayah, Allah tidak menginginkan
hamba itu sesat. Hamba itu bisa sesat karena ia sendiri yang enggan menerima
CHAYA ILAHI.
Allah
Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ
اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ
“Maka
tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (QS.
Ash-Shaff: 5)
Ketujuh:
Kita hendaklah memohon kepada Allah supaya Allah memberikan cahaya pada hati
kita.
Doa Ibnu
Katsir setelah menutup pembahasan dua ayat ini,
فَنَسْأَلُ اللهَ العَظِيْمَ
أَنْ يَجْعَلَ فِي قُلُوْبِنَا نُوْرًا، وَعَنْ أَيْمَانِنَا نُوْرًا، وَعَنْ
شِمَائِلِنَا نُوْرًا، وَأَنْ يُعْظِمَ لَنَا نُوْرًا
Kita
memohon kepada Allah Yang Mahaagung supaya menjadikan hati kita penuh cahaya,
di kanan kita juga cahaya, di kiri kita juga cahaya, semoga Allah memperbesar
cahaya untuk kita.
Wahai
saudariku janganlah melelahkan dirimu dengan banyak melakukan amal perbuatan,
karena banyak sekali orang yang melakukan perbuatan, sedangkan amal tersebut
sama sekali tidak memberikan apa-apa kecuali kelelahan di dunia dan dan siksa
di akhirat. Oleh karena itu sebelum melangkah untuk melakukan amal perbuatan,
kita harus berilmu apa syarat diterimanya amal tersebut, dengan harapan amal
kita bisa diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam masalah ini ada
tiga syarat penting lagi agung yang perlu diketahui oleh setiap hamba yang
beramal, jika tidak demikian, maka amal terebut tidak akan diterima.
Pertama,
Iman Kepada Allah dengan Men-tauhid-Nya
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ الصَّـلِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّـتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal.”(QS. Al- Kahfi:107)
Tempat
masuknya orang-orang kafir adalah neraka jahannam, sedangkan surga firdaus bagi
mereka orang-orang yang mukmin, namun ada 2 syarat seseorang bisa memasuki
surga firdaus tersebut yaitu:
Iman
Aqidah
Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman
kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan
iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan
oleh kitabullah dan sunnah rasul-Nya
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban
terhadap pertanyaan malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:
“Iman
adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” (HR
Muslim)
Amal Shalih
Yaitu
mencakup ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang diperintahkan dalam syariat
Allah.
…إِنَّا أَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2)
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agamya yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ
سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ
الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian
yang lebih baik amalnya.” (All-Mulk : 2)
Al-Fudhail
berkata: “Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah yang paling
ikhlas dan paling benar.” (Tafsir al-Baghawi, 8:176)
Kedua,
Ikhlas, Lillahi ta’ala
Jangan
bosan dengankata ini, namun kita tidak mengetahui makna dari ikhlas tersebut.
Ikhlas
adalah membersihkan segala kotoran dan sesembahan-sesembahan selain Allah dalam
beribadah kepada-Nya. yaitu beramal karena Allah tanpa berbuat riya’ dan juga
tidak sum’ah.
Orang-orang
bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar
itu?”.
Dia
menjawab, “Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak
diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima,
hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena
Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut Al Qu’ran dan As-Sunnah.”
Kemudian ia membaca ayat:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.”
(Al-Kahfi :110)
Allah juga
berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا
مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
“Artinya :
Dan sipakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (An-Nisa’ :125)
Menyerahkan
diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan
mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sunnah beliau.
Allah juga
berfirman.
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
” Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang beterbangan”. (Al-Furqan : 23)
Amal yang
seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau
amal yang dimaksudkan untuk selain Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Sesungguhnya sekali-kali engkau
tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatau amal untuk mencari wajah
Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian
karenanya.”
Ketiga,
Sesuai dengan Ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dasar dari
setiap amal adalah ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga tidak
terbesit di dalam pikirannya hal-hal yang merusak amal tersebut, karena segala
saesuatu hal yang kita kerjakan harus dilandasi perkara ikhlas ini. Namun,
apakah hanya dengan ikhlas saja, amal kita sudah diterima oleh Allah?
Adapun
pilar yang ketiga ini yaitu harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla. Mayoritas di kalangan masyarakat kita,
sanak saudara kita, bahkan orang tua kita melakukan amalan-amalan yang tidak
dicontohkan oleh Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan parahnya lagi
bisa terjerumus dalam keyirikan. Adapun hadits yang termahsyur yang menjelaskan
hal ini:
Dari Ummul
Mu’minin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka
dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang
melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia
tertolak.”
Setiap
perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil yang syar’i yaitu yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah maka tertolaklah amalannya. Oleh karena
itu amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam
merupakan amalan yang sangat buruk dan merupakan salah satu dosa besar.
Wahai
saudariku, agama Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti
berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-ada suatu amal tanpa dalil) dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berusaha menjaganya dari sikap
yang berlebih-lebihan dan mengada-ada. Dan Agama islam merupakan agama yang
sempurna tidak ada kurangnya. Oleh karena itu, jangan ditambah-ditambahi
ataupun dikurang-kurangi.
Itulah
sekelumit tentang 3 syarat diterimanya suatu amalan. Apabila salah satunya
tidak dilaksanakan, maka amalannya tertolak. Walaupun hati kita sudah ikhlas
dalam mengerjakan suatu amalan, namun tidak ada dalil yang menjelaskan amalan
tersebut atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka amalannya menjadi
tertolak. Begitupula sebaliknya, apabila kita sudah bersesuaian dengan tuntunan
Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam, namun hati kita tidak ikhlas karena
Allah ta’ala malah ditujukan kepada selain-Nya maka amalannya pun juga
tertolak.
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah
mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS.
Al-Furqan: 23)
Tentang
maksud “bagaikan debu yang beterbangan”
Imam
al-Baghawi rahimahullahmenjelaskan, “Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala.
Karena mereka tidak melakukannya karena Allah ‘azza wa jalla.
Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu
berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu
yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak
akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal.
1014)
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap amalan yang tidak ikhlas dan tidak
berada di atas ajaran syari’at yang diridhai Allah, maka itu adalah
batil/sia-sia.
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sebab amalan yang diterima adalah amalan
yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul
dan mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.
Di dalam
ayat lain, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan
kepadamu Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat
syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu’anhuma berkata, “Ini adalah pendidikan dari Allah ta’ala kepada
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena Allah
‘azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.”
Diriwayatkan
bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Amal yang salih adalah
amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari
Allah.”
Yahya bin
Abi Katsir rahimahullah berkata, “Malaikat membawa naik amalan seorang hamba
dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah pun
berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin (catatan keburukan), karena
amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.”
Yusuf bin
Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya
tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.”
Abu Ishaq
al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang
sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak
lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.”
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan
karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar
daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.”
al-Harits
bin Qasi an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika kamu berniat untuk melakukan
suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika kamu
sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, “Kamu sedang riya’.” maka
buatlah sholat itu semakin bertambah lama.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 576)
Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan mata.
Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.” (lihat Ta’thir
al-Anfas, hal. 579)
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku,
janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau
tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (lihat Ta’thir
al-Anfas, hal. 579)
Ibnus Samak
rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang riya’ dengan ilmu dan amalnya
mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya dan
mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 580)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Riya’ adalah mempersekutukan Allah dengan
makhluk. Adapun ‘ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 583)
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang
oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus.
Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun
menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Setelah
membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana doa
yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, “Ya Allah, hamba memohon
ampunan dari riya’ dan sum’ahku.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 577)
Sebagai
orang yang beriman, tidak ada pilihan lain, kecuali dalam memahami sesuatu yang
berkaitan dengan masalah aqidah, hendaknya kembali kepada Al Qur’an dan Sunah
Rasulullah SAW.
Berkenan
dengan masalah diatas, Al-Qur’an dengan jelas, tegas dan tuntas menjawabnya
diantaranya dalam surat al-furqan ayat 23, Allah Ta’ala menegaskan, ”Dan kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
Selanjutnya
dalam surat An-Nur ayat 39, Allah Ta’ala juga menegaskan, “Dan orang-orang
kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang
disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun . . . .”
Begitu juga
dalam surat Ibrahim ayat 18, Allah ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang kafir
kepada tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin
dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia).
Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.
Bersamaan
dengan itu tampak juga adanya kesengajaan dari mereka yang sengaja menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan tidak menggunakan metedologi baku sebagaimana yang
dilakukan para salafussaleh di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
Misalnya
dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 62 mengenai kedudukan kaum Yahudi,
Nasrani, dan Shobi’i akan mendapat pahala dari Allah sejauh mereka beriman
kepada Allah dengan iman yang benar, hari kemudian, dan beramal shaleh.
Pendapat
ini jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena dalam memahami satu ayat di
dalam al-Qur’an harus merujuk kepada ayat yang lain. misalnya, dalam surat
al-baqarah ayat 62, kata beriman harus dirujuk ke ayat lain, tidak bisa
menggunakan ayat itu semata-mata tanpa melihat ayat lain.
Adapun
rujukan ayat tentang orang beriman ayatnya bertebaran di banyak surah di dalam
al-Qur’an. Di antaranya di dalam surat al-anfal
ayat 2 s/d 4, Allah menegaskan ciri-ciri orang yang beriman. Pertama,
apabila disebut nama Allah Ta’ala bergetar hatinya, kedua, apabila dibacakan
ayat-ayat Allah Ta’ala bertambahlah imannya. Ketiga, melaksanakan shalat.
Keempat, menafkahkan hartanya dijalan Allah Ta’ala.
Kemudian
juga dalam ayat lain, misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 15, Allah Ta’ala
juga menegaskan ciri-ciri orang yang beriman yaitu : yang beriman kepada Allah
Ta’ala dan Rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan merka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka hanya kepada jalan Allah Ta’ala, mereka itulah
orang-orang yang benar.
sumber/referensi:
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan pertama,
Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.Cetakan pertama, Tahun 1431 H.
Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul
Jauzi.
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
0 komentar:
Posting Komentar