Selasa, 21 Juli 2020

KEUTAMAAN DAN ANJURAN PUASA BULAN DZULQA’DAH


KEUTAMAAN DAN ANJURAN PUASA BULAN DZULQA’DAH


Bulan Syawwal telah berlalu, kini sudah memasuki bulan Dzulqa’dah. Bulan ini termasuk dari beberapa bulan yang sangat dimuliakan Allah swt. Sebagaimana dalam al-Qur’an, Allah swt. telah berfirman:


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ 
(36)

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya (terdapat) empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama-sama orang yang bertakwa.” (Q.S. At-Taubah [9]: 36)

Dalam  Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa yang dimaksud dengan  empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:


عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ


“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empa di antaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari bulan itu jatuh secara berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga syahrul mudhar) terletak di antara dua jumadil (jumadil ula dan jumadil tsani) dan sya’ban.”[1]

Bulan Dzulqa’dah merupakan bulan yang mana Rasulullah saw melaksanakan semua ibadah umroh di dalamnya. Sebagaimana dalam kitab Shahih Al-Bukhari dijelaskan:


أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِي ذِي الْقَعْدَةِ إِلَّا الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ: عُمْرَةً مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ، أَوْ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنْ جِعْرَانَةَ حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ


“Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan umrah 4 kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang mengiringi haji beliau. (yaitu) Umrah dari Hudaibiyah atau di tahun perjanjian Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah, Umrah di tahun berikutnya di bulan Dzulqa’dah, Umrah dari Ji’ranah, dimana beliau membagi harta rampasan perang Hunain di bulan Dzulqa’dah, dan umrah ketika beliau haji.”[2]

Anjuran Puasa Sunah

Sebagai bulan yang mulia, syariat menganjurkan untuk lebih memperbanyak ibadah dan amal kebaikan di dalamnya, salah satunya dengan melakukan puasa sunah. Bahkan puasa sunah di bulan ini memiliki nilai lebih dibandingkan berpuasa sunah di bulan yang lain. Sebagaimana ungkapan imam As-Syarwani:


أَفْضَلُ الشُّهُوْرِ لِلصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ،  ثُمَّ رَجَبَ ثُمَّ الْحِجَّةُ ثُمَّ الْقَعْدَةُ

“Bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah bulan Ramadan adalah Al-Asyhur al-Ḥurum. Dan, yang paling utama dari keempatnya adalah bulan Muharam, Rajab, Dzulhijah, kemudian Dzulqa’dah.”[3]

Anjuran berpuasa di bulan Qzulqa’dah diperuntukkan bagi setiap umat Muslim yang tidak keberatan dan dipastikan tidak ada hal-hal yang membahayakan kesehatan. Sehingga bagi orang sakit dan yang memiliki uzur lain tidak dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunah bulan Dzulqa’dah.

Meskipun tidak ada ketentuan dan tata cara khusus dalam pelaksanaanya, berpuasa di bulan yang mulai merupakan kesempatan emas dalam menambahkan ghirah (semangat) ibadah dan mengumpulkan pundi-pundi amal kebaikan.

[]WaAllahu a’lam
[1] Tafsir Ibnu Katsir, vol. IV hal. 127, CD. Maktabah Syamilah.
[2] Shahih Al-Bukhari, hadis nomor 1780, vol. III hal. 3.
[3] Hawasyi As-Syarwani, vol. III hal. 461.


0 komentar:

Posting Komentar