PENTINGNYA UKHUWWAH
Terwujudnya Ukhuwah Islamiyah merupakan dambaan setiap
Muslim. Hanya sayang, pengertian ukhuwah sudah menjadi kabur dan hanya
merupakan istilah global yang diucapkan berulang-ulang tanpa makna. Misalnya,
seseorang mengajak berukhuwah, namun sebentar kemudian ia sudah memancing
perseteruan dengan melancarkan cercaan kepada para ulama Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Padahal justru merekalah yang seharusnya menjadi poros paling utama
untuk mendapatkan ikatan ukhuwah dan kecintaan sepeninggal Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan generasi terdahulu. Tetapi demikianlah, banyak orang yang
sikap dan orientasinya terkungkung oleh opini fanatisme golongan. Bagaimanapun
masalah ukhuwah (persaudaraan) dan persatuan ini merupakan masalah yang sangat
penting.
Sesungguhnya Islam sangat menekankan persaudaraan dan
persatuan. Bahkan Islam itu sendiri datang untuk mempersatukan
pemeluk-pemeluknya, bukan untuk memecah belah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dalam
al-Ushûlus-Sittah, pada pokok yang kedua,[1] mengatakan: “Allah Azza wa Jalla
memerintahkan agar (umat Islam) bersatu di dalam agama dan melarang berpecah
belah di dalamnya. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan hal ini dengan
penjelasan yang sangat terang dan mudah dipahami oleh orang-orang awam. Allah
Azza wa Jalla melarang kita menjadi seperti orang-orang sebelum kita yang
berpecah belah dan berselisih dalam urusan agama hingga mereka hancur
karenanya.”
Masalah persatuan ini, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab rahimahullah diangkat sebagai masalah pokok di antara enam pokok yang
beliau rahimahullah angkat. Demikian pula, para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah
pun memandang penting masalah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah dalam
syarahnya terhadap kitab ini menyebutkan dalil-dalilnya dari al-Qur’ân, Sunnah,
kehidupan praktis para sahabat dan Salafus Shâlih.[2]
Adapun dalil dari al-Qur’ân, di antaranya firman Allah
Azza wa Jalla:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat
Allah, menjadilah kamu orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali
Imrân/3:103]
Imam
ath-Thabariy dalam tafsirnya mengatakan [3] : “Yang diinginkan oleh Allah Azza
wa Jalla dengan ayat ini ialah: Berpeganglah kalian pada agama dan ketetapan
Allah Azza wa Jalla yang dengan agama serta ketetapan itu Allah Azza wa Jalla
telah memerintahkan agar kalian bersatu padu dalam satu kalimatul haq
(kebenaran) dan menyerah pada perintah Allah Azza wa Jalla “.
Kemudian
tentang firman Allah Azza wa Jalla pada ayat ini yang berbunyi:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
dan
ingatlah akan nikmat Allah Azza wa Jallaepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah,
menjadilah kamu orang yang bersaudara.[Ali Imrân/3:103]
Imam
ath-Thabariy rahimahullah mengatakan: “Tafsir ayat ini ialah: Ingatlah wahai
kaum Mukminin akan nikmat Allah Azza wa Jalla yang telah dianugerahkan kepada
kalian! Yaitu manakala kalian saling bermusuhan karena kemusyrikan kalian;
kalian saling membunuh satu sama lain disebabkan fanatisme golongan, dan bukan
disebabkan taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. (Ingatlah ketika
itu!-pen) Allah Azza wa Jalla kemudian mempersatukan hati-hati kalian dengan
datangnya Islam. Maka Allah Azza wa Jalla jadikan sebagian kalian sebagai
saudara bagi sebagian yang lain, padahal sebelumnya kalian saling bermusuhan.
Kalian saling berhubungan berdasarkan persatuan Islam dan kalian bersatu padu
di dalam Islam.[4]
Demikianlah
keadaan penduduk Madinah yang secara umum dihuni dua kabilah besar yaitu Aus
dan Khazraj. Sebelum kedatangan Islam mereka selalu saling berperang dan
bermusuhan tanpa henti. Namun sesudah kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka menjadi bersaudara.
Imam Ibnu
Katsîr rahimahullah mengatakan: “Konteks firman Allah Azza wa Jalla di atas,
berkenaan dengan keadaan orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya pada zaman
jahiliyah dua kabilah itu sangat sering terlibat dalam pertempuran, permusuhan
keras, kebencian, dengki dan dendam. Karenanya mereka terperangkap dalam
peperangan terus menerus tanpa berkesudahan. Ketika Allah Azza wa Jalla
mendatangkan Islam, maka masuklah sebagian besar dari mereka ke dalam Islam.
Akhirnya mereka hidup bersaudara, saling menyintai berdasarkan keagungan Allah
Azza wa Jalla , saling berhubungan berlandaskan (keyakinan atas) Dzat Allah
Azza wa Jalla , dan saling tolong menolong dalam ketaqwaan serta kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ
بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ
مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
Dialah yang
memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin. Dan Allah
mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
menginfakkan segala apa yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah yang mempersatukan hati mereka.
[al-Anfâl/8: 62-63].[5]
Berkenaan
dengan Surat al-Anfâl ayat 63 yang dibawakan oleh Ibnu Katsîr di atas, Abu
ath-Thayyib Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri (wafat 1307) dalam tafsirnya
mengatakan:[6]
“Jumhur
Ahli Tafsir mengatakan: ‘Yang dimaksud (dengan ayat 63 Surat al-Anfâl) adalah
orang-orang Aus dan Khazraj. Sesungguhnya dahulu mereka terkungkung dalam
fanatisme golongan yang berat, saling mengagulkan diri, saling dikuasai
kedengkian meskipun hanya dalam urusan yang paling sepele, dan saling berperang
hingga memakan waktu 120 tahun. Hampir tidak pernah ada dua hati yang bisa
saling bersatu dalam dua kabilah tersebut. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla
mempersatukan hati-hati mereka dengan iman kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Berbaliklah kondisi buruk mereka menjadi baik, bersatulah
kalimat mereka dan lenyaplah fanatisme yang ada pada mereka. Berganti pula
sifat-sifat iri mereka dengan cinta kasih karena Allah Azza wa Jalla dan di
jalan Allah Azza wa Jalla . Mereka semua sepakat untuk taat kepada Allah Azza
wa Jalla hingga jadilah mereka sebagai pembela-pembela yang berperang untuk
melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Allah Azza
wa Jalla juga berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ
وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat. [Ali Imrân/3:105]
Imam
ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: [7] “Yang dimaksudkan oleh
Allah Azza wa Jalla ialah: Wahai orang-orang yang beriman! janganlah menjadi
seperti orang-orang Ahli Kitab, yang berpecah belah dan berselisih dalam agama,
perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , sesudah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang jelas berupa bukti-bukti dari Allah Azza wa Jalla .
Mereka berselisih di dalamnya. Mereka memahami kebenaran tetapi mereka sengaja
menentangnya, menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla dan membatalkan ikatan
perjanjian yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla dengan lancang.
Orang-orang
Ahlu Kitab yang berpecah belah dan berselisih dalam agama Allah Azza wa Jalla
sesudah datangnya kebenaran itu akan mendapat azab yang berat.
Jadi maksud
firman Allah Azza wa Jalla di atas adalah: “Kalian wahai kaum mukminin,
janganlah berpecah belah dalam agama kalian seperti mereka berpecah belah dalam
agama mereka. Janganlah kalian berbuat dan mempunyai kebiasaan seperti
perbuatan dan kebiasaan mereka. Sehingga jika demikian kalian akan mendapatkan
azab yang berat seperti azab yang mereka dapatkan”
Makna yang
dapat dipetik dari ayat-ayat di atas antara lain bahwa kaum Muslimin dilarang
berselisih pemahaman dalam masalah agama, sebab yang demikian itu akan
mengakibatkan perselisihan dan perpecahan fisik.
Imam
asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-I’tishâm menjelaskan bahwa, perpecahan fisik
(tafarruq), adalah akibat ikhtilâf (perselisihan) mazhab dan ikhtilâf
pemikiran. Itu jika kita jadikan kalimat tafarruq bermakna perpecahan fisik.
Inilah makna hakiki dari tafarruq. Namun jika kita jadikan makna tafarruq
adalah perselisihan mazhab, maka maknanya sama dengan ikhtilâf, sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.[8].
Demikianlah
beberapa dalil dari al-Qur’ânul-Karîm.
Adapun
dalil dari Sunnah bagi pokok yang agung ini, di antaranya sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى
هَهُنَا. يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Seorang
Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya,
merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau
menunjuk dadanya sampai tiga kali-. (kemudian beliau bersabda lagi:) Cukuplah
seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang
Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR.
Muslim][9]
Juga sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَتَبَاغَضُوْا وَلاَ
تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Janganlah
kalian saling membenci, saling mendengki dan saling membelakangi. Jadilah
kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara[Muttafaq ‘Alai] [10]
Hadits-hadits
senada sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ
كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Seorang
mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan.
[Muttafaq ‘Alaihi].[11]
Dalam
riwayat Bukhâri ada tambahan:
وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan jari jemari kedua
tangannya.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang dibawakan oleh
an-Nu’mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى
تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى
مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى.
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٌ (وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ).
Perumpamaan
kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling
menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu
tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga
merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR. Bukhâri dan Muslim, sedangkan lafalnya
adalah lafazh Imam Muslim].[12]
Itulah
beberapa dalil yang menekankan pentingnya ukhuwah dan persatuan. Para Ulama
Salaf pun sangat memperhatikan masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
rahimahullah menjelaskan tentang pentingnya persatuan dengan mengatakan:
“Sesungguhnya di antara pokok sikap Ahlu Sunnah dalam masalah khilâfiyah ialah,
bahwa selama perselisihan pendapat itu lahir karena ijtihad (dari orang yang
berhak berijtihad-pen) dan masalahnya memang masih dalam batas yang
diperbolehkan untuk diijtihadkan, maka para Salafush-Shalih saling memaklumi
pendapat satu sama lain. Dan hal itu tidak menyebabkan adanya kedengkian,
permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan mereka meyakini bahwa mereka
harus tetap bersaudara meskipun terjadi perselisihan pendapat di antara mereka.
Seseorang yang berpendapat bahwa memakan daging onta membatalkan wudhu’ tetap
bermakmum kepada imam shalat yang habis memakan daging onta dan yang berpendapat
bahwa itu tidak membatalkan wudhu’.”[13]
Selanjutnya
beliau rahimahullah melengkapi perkataannya: “Adapun masalah yang tidak boleh
diperselisihkan di dalamnya, adalah masalah yang menyelisihi manhaj (pola dan
sunnah) para sahabat dan tabi’in. Misalnya masalah aqidah yang ternyata banyak
orang tersesat di dalamnya. Perselisihan dalam masalah akidah ini terjadi dan
berkembang pada masa sesudah berlalunya generasi Sahabat.[14]
Jadi, pada
masalah-masalah pokok yang tidak boleh diperselisihkan, tidak ada toleransi di
dalamnya; orang yang menyelisihinya berarti menyimpang.
Demikianlah,
Islam datang untuk mempersatukan umatnya, bukan untuk memecah belah. Nash-nash
di atas dan pernyataan para Salafush Shâlih sangat jelas bahwa umat Islam
dituntut untuk bersaudara dan bersatu padu di bawah naungan Islam, dan
berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran. Kaum Muslimin harus satu manhaj dan
satu persepsi dalam memahami al-Qur’ân dan Sunnah.
Persatuan
dan persaudaraan tidak berarti mengabaikan teguran kepada yang berbuat salah,
apalagi berbuat bid’ah. Yang penting harus sesuai dengan cara yang diajarkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam hal lemah-lembut
atau dalam cara keras.
Saling
ingat-mengingatkan supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran harus tetap
berjalan, sebab hal itupun merupakan perintah Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati supaya
mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-Ashr/103:1-3]
Namun
adalah keterlaluan jika ada seorang Muslim yang bersemangat mengajak
persaudaraan, akan tetapi kenyataannya ia malahan menjadikan sasaran bidik caci
maki, cercaan dan tuduhan salahnya kepada para ulama serta masyarakat yang
bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya ia malah menjalin hubungan erat
atau mengagumi para ahli bid’ah dan provokator perpecahan. Wallâhul-Musta’ân.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât, wa
Yalîhi Syarhul Ushûlus Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
rahimahullah, I’dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya – Riyâdh,
cet. IV – 1426 H/2005 M, hal. 151
[2]. Ibid hal.151-157.
[3]. Lihat Tafsiruth Thabari, Dâr
Ihyâ’ it-Turâts al-‘Arabi, IV/hal. 42, cet. I -1421 H/2001 M
[4]. Lihat kitab Tafsîruth-Thabari
yang sama, hal. 45-46.
[5]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr tentang
Surat Ali Imrân: 103
[6]. Fathul Bayân Fî Maqâshidil
Qur’ân, Mansyûrât Muhammad ‘Ali Baidhûn, Dârul Kutub al-‘Ilmiyah Beirut, cet. I
– 1420 H/1999 M, Juz I hal. 55
[7]. Lihat Tafsiruth Thabari hal. 52
dengan terjemah bebas.
[8]. Al-I’tishâm karya Imam
asy-Syâthibi, tahqîq: Syaikh Salîm bin ‘îd al-Hilâliy, hal. 669-670.
[9]. Shahîh Muslim Syarh Nawawi,
tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma’rifah, Beirut, Libanon, XVI/336-337, cet.
III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6487.
[10]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil
Bukhâri, X/492, Kitab al-Adab, bab : 62, no. 6076. Dan Shahîh Muslim Syarh
Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, Dârul-Ma’rifah, Beirut, Libanon,
XVI/331-332, cet. III – 1417 H/1996 M. Kitab al-Adab; al-Birr wash-Shilah wa
al-Adâb, no. 6473.
[11]. Lihat Fathul-Bâri Syarh Shahîhil
Bukhâri, X/449-450, Kitab al-Adab, bab : 36, no. 6026. Dan Shahih Muslim Syarh
Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/335, Kitab al-Adab; al-Birr
wash-Shilah wal Adâb, no. 6528.
[12]. Lihat Fathul Bâri Syarh Shahîhil
Bukhâri, X/438, Kitab al-Adab, bab : 27, no. 6011. Dan Shahîh Muslim Syarh
Nawawi, tahqîq: Khalîl Makmûn Syiha, XVI/356, Kitab al-Adab; al-Birr
wash-Shilah wa al-Adâb, no. 6529.
[13]. Lihat Syarh Kasyfisy Syubuhât,
wa Yalîhi Syarhul Ushûlis Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
rahimahullah , I’dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâruts Tsurayya Riyâdh, cet.
IV – 1426 H/2005 M, hal. 155 dengan terjemah bebas dan ringkas.
[14]. Idem hal 156
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
0 komentar:
Posting Komentar