Kebahagiaan Sejati
Betapa tidak mudahnya seseorang menjadi bahagia. Kala
kata itu diartikan sebagai simbol materi, kemewahan, pangkat, golongan, status
sosial.
Secara tidak sadar, pola pikirnya sudah terbebani untuk
mengejar segala jenis simbol yang sudah melekat padanya.
Ketika suatu saat simbol-simbol itu gagal didapat, ia
akan menjadi kecewa bahkan putus asa seolah-olah hanya dengan meninggikan
simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.
Memang, ada benarnya kalau materi, kedudukan, dan simbol
lainnya bisa membawa seseorang menjadi bahagia. Apalagi, ada pepatah
mengatakan, apa pun masalahnya, dengan uang segala urusan bisa menjadi lancar.
Dengan kedudukan, masalah bisa cepat teratasi. Hanya,
simbol-simbol tersebut tidak melulu menjadikan seseorang lantas berbahagia.
Materi dan kedudukan di dunia sejatinya tidak akan dibawa
ke alam kubur. Apalah arti sebuah simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan,
berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan untuk kebaikan pada diri dan
sesama.
Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi
biasanya akan menganggap rendah dan memandang sebelah mata kepada orang yang
hidup tanpa simbol kebahagiaan.
Mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta,
berpangkat dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal, kemuliaan
seseorang dilihat dari ketakwaan, bukan pada selainnya.
"Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya,
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujuraat ayat 13).
Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu
maupun modern, banyak orang mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit.
Padahal, ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yaitu esensi bahagia.
Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya
seseorang tidak akan jatuh ke dalam kesalahan berpikir. Siapa pun, pada
dasarnya bisa berbahagia dengan mudah.
Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja.
Kalangan menengah dan kalangan bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang
tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial pun tetap bisa merasakan
kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja
dengan penghasilan besar setiap bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan
pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar waktu habis terpakai untuk
mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya,
tiada kehangatan yang bisa dirasakan kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan
tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang dari orang tua yang super
sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil
anak pun menjadi lebih dekat dengan pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak
kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan
penghasilan besar setiap bulannya ternyata rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena
memilih bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Apakah materi dan status
sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani,
nelayan, atau orang-orang pinggiran yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang
rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Adakah mereka
mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang
untuk terhalang merasakan manisnya kehidupan selama ia bersabar, tetap
berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu bersyukur atas
pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Ta’ala akan
membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra
0 komentar:
Posting Komentar