Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan (2)
Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan
yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah
amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:
وما
تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه
“Dan
tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih
Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Di antara
aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan
shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga
untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:
من صلى لله أربعين يوما في
جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النار وبراءة من النفاق
“Barang
siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan
selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan
surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan
dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Seandainya
kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa,
maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik,
dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin
berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan
yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang
paling agung kepada Allah.
Sungguh
sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat
tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun
yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan
berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai
persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini jelas-jelas merupakan suatu
kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban! Sungguh hanya mendirikan
shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam,
lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun
berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang
sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim
menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan
yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan
yang sunnah seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima:
Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Setiap
muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah
malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah
malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah
malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama
daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3). Barang
siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala dari Allah
maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR.
Bukhari dan Muslim).
Mendengar
segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim
memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.
Di malam ke
berapakah lailatul qadar akan jatuh?
Malam
lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
تحروا ليلة القدر في العشر
الأواخر من رمضان
“Carilah
lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Tepatnya
pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تحروا ليلة القدر في الوتر من
العشر الأواخر من رمضان
“Carilah
lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Tapi di
malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23,
malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21
Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إني أريت ليلة القدر
“Sesungguhnya
aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)
Pernah pula
di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:
والله إني لأعلمها وأكثر علمي
هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
“Demi Allah
aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling kuat dia jatuh
pada malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami
untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)
Pada tahun
yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para
sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan
Ramadhan:
فمن كان متحريها فليتحرها في
السبع الأواخر
“Barang
siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh
malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cara
memadukan antara hadits-hadits tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa
lailatul qadar setiap tahunnya selalu berpindah-pindah dari satu malam yang
ganjil ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam
terakhir dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, dan
Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495))
Di antara
hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
Agar amal
ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul
qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an
di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yang ganjil.
Sebagai
ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang
bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan
serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-‘Utsaimin hal:
163)
Maka
seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan diri
dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita bisa
menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha
mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap
Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar jatuh pada tanggal ini atau itu,
walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan
pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang
ada…
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:
(كان النبي صلى الله
عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله) متفق عليه
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadhan) beliau
mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan malamnya dan membangunkan
keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kiat
Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh,
yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan
Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk
rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan
rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap
kepada Yang Maha Kuasa.
Allah ta’ala
memerintahkan:
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين
“Dan
sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Tatkala
al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,
إن الله لم يجعل لعمل المؤمن
أجلا دون الموت
“Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka jangan
sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan.
Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat
malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis
taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di
luar Ramadhan.
كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم أجود الناس, وكان أجود ما يكون في رمضان
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau
lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama salaf
pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan,
namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah
tersebut? Dia pun menjawab:
بئس القوم لا يعرفون الله إلا
في رمضان
“Alangkah
buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan
Ramadhan!”
Merupakan
ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan
keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi
lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Wallahu
ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi
ajma’in.
***
Penulis:
Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar