MASBÛQ DALAM SHALAT
Sudah dimaklumi,
terkadang seorang yang bersemangat untuk mendapatkan takbîratul ihrâm bersama
imam tidak bisa mendapatinya karena alasan dan uzur tertentu. Orang tersebut
kadang terlambat dan tidak bisa menjadi makmum dari raka’at pertama. Inilah
yang sering diistilahkan dengan istilah masbûq.
Masbûq dalam istilah para Ulama fikih adalah orang yang
ketinggalan imam dalam sebagian raka`at shalat atau seluruhnya atau mendapati
imam setelah satu raka`at atau lebih. [1]
BAGAIMANA MASBUQ MELAKUKAN SHALAT YANG TERTINGGAL?
Apabila masbûq mendapatkan shalat berjamaah maka dia
mengikuti imam dalam semua perbuatan shalat, lalu menyempurnakan yang
terlewatkan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا
سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ
وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
Apabila
kalian telah mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah
kalian berjalan dengan tenang dan santai dan jangan terburu-buru. Yang kalian
dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri,
no. 636]
Dengan
demikian, orang yang mendapatkan imam yang telah memulai shalatnya dan masih
dalam shalat, maka hendaknya dia langsung mengikuti imam setelah dia melakukan
takbîratul ihram, walaupun imam sedang berada ditasyahhud akhir. Ini
berdasarkan keumuman hadits di atas.[2]
Apabila
imam salam, maka orang yang masbûq tidak ikut salam tapi ia harus berdiri untuk
menyempurnakan reka’atnya yang terlewatkan dengan cara sebagai berikut:
1. Apabila ia mendapatkan imam dalam keadaan
sedang ruku’, berarti dia telah mendapatkan raka’at bersama imam. Inilah
pendapat mayoritas Ulama seperti empat imam dan lainnya. Pendapat ini juga
merupakan pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu
, Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu dan yang lainnya. Dasarnya adalah hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam
bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Siapa yang
mendapati satu raka’at shalat bersama imam, maka ia mendapati shalat. [HR.
Muslim, no. 162). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Khuzaimah rahimahullah
dalam Shahihnya no. 1595 dengan lafaz :
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ
Siapa yang
mendapati satu raka’at shalat maka ia mendapati shalat sebelum imam meluruskan
tulang punggungnya.
Juga
berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ
أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian
datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan jangan
menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at maka ia mendapati
shalat. [HR. Abu Dawûd, no. 896 dan dinilai sebagai hadits hasan oleh
al-Albâni]
Hadits Abu
Bakrah Radhiyallahu anhu berikut memperjelas masalah ini:
أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ حَدَّثَ
أَنَّهُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَنَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَاكِعٌ، قَالَ: فَرَكَعْتُ
دُونَ الصَّفِّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَادَكَ
اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
Sungguh Abu
Bakrah telah menceritakan bahwa dia mendapati Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa
sallam dalam keadaan ruku’ lalu ia berkata, “Lalu akupun ruku’ sebelum sampai
masuk ke shaf, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda,
“Semoga Allâh k menambah semangatmu dan jangan mengulanginya’.”
Dari dalil ini terpahami, kalau orang masbûq yang
dapat ruku’ beserta imam tidak dianggap (satu raka’at), maka tentu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk mengganti raka’at
itu. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan perintah tersebut. Ini menunjukkan bahwa
siapa saja yang dapat ruku’ bersama imam,
maka dia telah mendapatkan (satu) raka’at.[3]
Pendapat
ini dirajihkan oleh Syaikh bin Bâz dalam Majmu’ Fatâwa beliau [13/160-162].
2. Apabila
ia mendapati imam dalam keadaan telah berdiri dari ruku’ (i’tidâl), berarti ia
tertinggal raka’at tersebut, apalagi bila ia mendapati imam telah atau sedang
sujud. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِذَا جِئْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ
أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian
datang untuk shalat sedangkan kami sedang sujud maka sujudlah dan janganlah
kalian menganggapnya satu raka’at, siapa yang mendapati satu raka’at berarti ia
mendapati shalat [HR. Abu Dawûd, no. 896 dan hadits ini dinilai sebagai hadits
hasan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah]
3. Apabila
ia tertinggal satu raka’at dari imam, maka ia menyempurnakannya setelah imam
salam dan tidak menjahrkan bacaannya walaupun dalam shalat jahriyah, karena itu
adalah akhir shalatnya. Hanya saja ada perbedaan pendapat tentang hukum membaca
surat al-Qur`an setelah al-Fatihah berdasarkan perbedaan riwayat hadits Abu
Qatâdah Radhiyallahu anhu :
فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Yang kalian
dapati maka shalatlah dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah [HR. Al-Bukhâri,
no. 636]
Pada
riwayat Mu’awiyah bin Hisyam dari Syaiban dengan lafadz : فَاقْضُوا (mengqadha’nya).
Mayoritas
Ulama memandang bacaan surat setelah al-Fatihah yang terlewatkan dalam raka’at
pertama harus diqadha’ atau dibaca setelah al-Fatihah. Oleh karena itu
asy-Syaukâni rahimahullah menukil pernyataan al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
dalam Fat-hul Bâri ketika menjelaskan pendapat ini. Beliau rahimahullah
menyatakan, “Mayoritas Ulama telah mengamalkan kedua lafazh ini. Mereka
menyatakan bahwa apa yang didapatkan bersama imam adalah awal shalatnya, namun
ia mengqadha’ bacaan surat yang terlewatkan bersama ummul Qur`an (al-Fatihah)
dalam shalat yang empat raka’at (ar-ruba’iyah) dan tidak disunnahkan untuk
mengulangi bacaan secara keras (al-jahr) pada dua raka’at tersisa. Dasar
argumentasi ini adalah pernyataan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu :
مَا أَدْرَكْتَ مَعَ
الْإِمَامِ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِكَ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ بِهِ مِنْ الْقُرْآن
Yang kamu
dapatkan bersama imam maka itu awal shalatmu dan qadha’ lah yang terlewatkan
dari al-Qur`an. [HR. Al-Baihaqi]
Sedangkan
pendapat Ishâq rahimahullah dan al-Muzani rahimahullah adalah tidak membaca
kecuali al-Fatihah saja. al-Hâfiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Ini sesuai
Qiyâs.[4]
4. Apabila
tertinggal dari imam sebanyak dua raka’at, maka dia menunaikannya setelah imam
salam. Apabila shalatnya empat raka’at maka dua raka’at tersisa dilakukan
sesuai dengan tata cara shalat pada raka’at ketiga dan keempat tanpa
mengeraskan bacaan. Apabila pada shalat tiga raka’at seperti shalat Magrib
disunnahkan mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surat di raka’at yang dilakukan
setelah imam salam, karena itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut
dan duduk tahiyat awal. Kemudian shalat untuk raka’at ketiga seperti biasanya
dan salam.
5. Apabila
tertinggal dari imam sebanyak tiga raka’at dalam shalat yang empat raka’at,
maka dia menunaikannya tiga raka’at tersisa setelah imam salam. Menjadikan
raka’at setelah imam salam sebagai raka’at kedua yang biasa dilakukan karena
itu dianggap raka’at yang kedua bagi masbûq tersebut dan duduk tahiyat awal.
Apabila tertinggal tiga raka’at dalam shalat Magrib maka masbûq melaksanakan
shalat magrib seperti biasanya dan salam.
6. Apabila
tertinggal dari imam sebanyak empat raka’at, maka dia menunaikan shalat secara
utuh setelah imam salam.
7. Apabila
Masbûq mendapati imam dalam keadaan ruku’ atau sujud maka ia bertakbîr
takbîratul ihrâm lalu bertakbir lagi setelahnya dengan takbir pindah untuk
ruku’ atau sujud bersama imam. Apabila mendapatkan imam sedang duduk tahiyat
awal atau duduk diantara dua sujud maka tidak bertakbir kecuali takbiratul
ihram saja kemudian duduk bersama imam tanpa takbir dan jangan menunggu imam
berdiri pada raka’at berikutnya untuk berjamaah dalam shalat.
8. Ketika
berdiri untuk menyempurnakan shalat setelah imam salam, maka makmum yang masbûq
bertakbir apabila mendapatkan bersama imam dua raka’at terakhir dari shalat
yang empat raka’at atau yang tiga raka’at seperti Maghrib. Hal ini karena
duduknya bersama imam dalam tahiyat sesuai dengan keharusannya. Apabila
mendapatkan bersama imam dalam satu raka’at saja, maka yang masbûq tersebut
bangun tanpa bertakbir, karena duduk tahiyatnya bersama imam tidak seharusnya
dan dilakukan hanya untuk mengikuti dan menyesuaikan imam. Apabila mendapatkan
bersama imam kurang dari satu raka’at seperti mendapati imam sedang sujud atau
tahiyat akhir maka ia bangun dengan bertakbir, karena itu seperti pembuka
shalatnya.
HUKUM BERMAKMUM DENGAN MASBUQ
Terkadang
ada kaum Muslimin yang tertinggal shalat berjamaah bersama imam lalu dia
bermakmum kepada makmum yang masbûq. Jika memperhatikan praktik dilapangan,
kita dapati kejadian ada tiga bentuknya:
Seorang
yang belum shalat menjadikan masbûq sebagai imamnya.
Sebagian
masbûq bermakmum dengan masbûq yang lainnya.
Orang muqim
menyempurnakan shalatnya dengan menjadikan makmum lainnya sebagaimana apabila
imam yang musafir telah salam.
Para ahli
fikih berbeda pendapat tentang hukum bermakmum kepada orang yang masbûq menjadi
dua pendapat:
Pendapat
Pertama; Tidak boleh bermakmum kepada orang yang masbûq dan shalatnya tidak
sah. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah[5] dan Mâlikiyah[6]. Malikiyah memberikan
perincian, yaitu tidak sah, apabila makmum yang dijadikan imam itu masbûqnya
mendapatkan satu raka’at atau lebih bersama imam. Apabila mendapatkan kurang
dari satu raka’at, maka shalatnya sah.
Dasar
pendapat ini adalah:
1. Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ
Imam
dijadikan untuk diikuti maka jangan kalian menyelisihinya [Muttafaqun ‘alaihi]
Makmum
mengikuti imam, bukan diikuti. Seandainya makmum menjadi imam atau dijadikan
imam, maka apa yang disebutkan dalam hadits di atas tidak terwujudkan. Karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan satu shalat antara makmum dan
imam, sehingga makmum tidak bisa menjadi imam dan makmum sekaligus dalam satu
waktu.
2. Sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam :
الإمامُ ضامِنٌ، والمُؤذنُ
مُؤتَمَن
Imam
bertanggungjawab dan muadzin dipercaya. [HR. Abu Dawud, no. 517 dan
at-Tirmidzi, no. 207. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh
al-Albani]
Makmum
tidak membaca surat al-Fâtihah dan berdiri ketika mendapatkan ruku’ bersama
imam ditanggung oleh imam. Apabila demikian keadaan Masbûq lalu bagaimana
dengan orang yang berimam kepada Masbûq?
Ini diluar
permasalahan yang dibahas, karena masbûq ketika imam telah salam menyempurnakan
shalatnya dengan mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya sehingga ia berada
dalam hukum orang yang shalat sendirian. Dasarnya adalah bila masbûq lupa
setelah imam selesai salam maka imam tidak menanggungnya.
3. Karena
dalam praktik menjadikan orang yang masbûq menjadi imam ini terkandung
perpindahan dari imam ke imam yang lain dan perpindahan tersebut tanpa ada
udzur. Juga tidak mungkin berpindah dari yang rendah (yaitu makmum) ke yang
lebih tinggi (yaitu sebagai imam). Kedudukan imam lebih tinggi daripada
kedudukan makmum.
4. Karena
praktik menjadikan orang yang masbûq menjadi imam ini tidak dikenal dan tidak
masyhur di zaman salaf. Para Sahabat Radhiyallahu anhum, apabila tertinggal
shalatnya, tidak pernah sepakat untuk salah seorang diantara mereka maju
menjadi imam. Seandainya ini termasuk praktikkan yang dibenarkan dan baik,
tentu mereka telah melakukannya.
Pendapat
Kedua; Boleh bermakmum kepada orang yang masbûq dan sah shalatnya. Inilah satu
pendapat dalam madzhab asy-Syâfi’iyah[7]
dan pendapat yang paling sah dalam madzhab hanabilah serta dirajihkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[8]
Dasar
pendapat ini adalah:
1. Hadits
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ «فَتَوَضَّأَ،
ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي، فَقُمْتُ عَلَى يَسَارِهِ، فَأَخَذَنِي، فَجَعَلَنِي عَنْ
يَمِينِهِ،
Aku tidur
dirumah Maimunah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada
bersamanya malam tersebut, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu
kemudian bangun shalat. Kemudian aku berdiri disebelah kiri Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam namun Beliau menarikku dan menjadikan ku disebalah kanan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Muttafaqun ‘alaihi]
2. Hadits
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ، فَجِئْتُ فَقُمْتُ
إِلَى جَنْبِهِ وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَامَ أَيْضًا حَتَّى كُنَّا رَهْطًا
فَلَمَّا حَسَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّا خَلْفَهُ جَعَلَ يَتَجَوَّزُ فِي
الصَّلَاةِ
Rasûlullâh
Shallallahu ‘aliahi wa sallam shalat di Ramadhân, lalu aku datang dan berdiri
disamping Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan datang orang lain lalu
berdiri juga hingga kami berombongan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
merasa bahwa kami dibelakangnya maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingan shalatnya. [HR. Muslim, 2/755 no. 1104]
Mereka
menyatakan bahwa dua hadits ini berisi dalil tentang orang yang shalat
sendirian itu sah bila berubah statusnya menjadi imam. Ini sama dengan orang
yang masbûq ketika menyempurnakan kekurangan shalatnya. Ketika itu ia berada
pada hukum orang yang shalat sendirian, sehingga kalau dijadikan imam, maka
keimamannya sah.
3. Hadits
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang Rasûlullâh yang datang ke masjid saat sakit
keras, sementara Abu Bakr Radhiyallahu anhu sedang mengimami para Sahabat
Radhiyallahu anhum. Hadits itu berbunyi:
فَلَمَّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ
سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ، ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، قُمْ مَكَانَكَ فَجَاءَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam masuk masjid, Abu Bakr Radhiyallahu
anhu mendengar gerakannya lalu mundur, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi
wa sallam memberi isyarat untuk tetap ditempatnya. Rasûlullâh Shallallahu
‘aliahi wa sallam datang hingga duduk disebelah kiri Abu Bakr. Lalu Rasûlullâh
Shallallahu ‘aliahi wa sallam menjadi imam dalam keadaan duduk sedangkan abu
Bakr berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar. [Muttafaqun ‘alaihi].
Perpindahan
dari imam kepada imam lain sudah ada dalam sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi
wa sallam seperti dalam kisah Abu Bakr Radhiyallahu anhu bersama Rasûlullâh
Shallallahu ‘aliahi wa sallam ketika Abu Bakr berpindah dari posisi beliau
sebagai imam berubah menjadi makmum dan Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa
sallam menjadi imam setelah Abu Bakr Radhiyallahu anhu menjadi imam sebelumnya.
Berdasarkan ini, berarti keimaman orang yang masbûq itu sah karena mirip dengan
hal itu dan perpindahan status imam tidak merusak shalat.
4. Atsar
Amru bin Maimun rahimahullah dalam kisah terbunuhnya Umar bin al-Khathab
Radhiyallahu anhu . dalam kisah itu disebutkan:
وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ
Umar
Radhiyallahu anhu menarik tangan Abdurrahman bin ‘Auf dan menyuruhnya maju [HR.
Al-Bukhâri, no. 3700]
Abdurrahman
bin Auf Radhiyallahu anhu menyempurnakan shalat sebagai imam. Peristiwa ini
terjadi dihadapan para Sahabat dan yang lainnya dan tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya, sehingga itu seperti sebuah ijma’.[9]
Hadits ini
berisi dalil tentang sahnya shalat dengan dua imam. Kadang makmum menjadi imam,
sebagaimana dalam kisah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu di atas.
5. Berdalil
dengan keumuman dalil-dalil keutamaan shalat berjama’ah.
PENDAPAT
YANG RAJIH
Setelah
melihat dalil-dalil yang mendasari pendapat-pendapat di atas, didapatkan dasar
pendapat pertama adalah keterkaitan shalat masbûq dengan shalat imamnya dan
makmum tidak bisa jadi imam. Padahal jelas bahwa makmum setelah imam selesai
dihukumi sebagai orang yang shalat sendirian. Dengan demikian maka pendapat
kedua yang membolehkan lebih kuat, sehingga ini dirajihkan Syaikh bin Bâz
rahimahullah[10] dan Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimîn rahimahullah[11]
Namun perlu
dilihat kembali dalil pendapat pertama yang cukup kuat yaitu perbuatan tersebut
tidak pernah diceritakan dari kalangan para Sahabat, padahal mereka adalah
orang yang paling semangat dalam mengamalkan kebaikan dan menghadiri shalat
berjamaah. Oleh karena itu Syaikh Ibnu Utsaimin t mengingatkan hal ini dalam
pernyataan beliau, “Yang rajih itu sah, namun menyelisihi yang lebih utama.
Maksudnya lebih dekat kepada bid’ah daripada ke sunnah; karena para Sahabat
tidak pernah melakukannya. Dahulu seorang ketinggalan shalatnya lalu bangun
menyempurnakannya sendirian. Kemudian (menjadikan orang yang masbûq menjadi
imam-red) ini juga akan menimbulkan rangkaian yang terus menerus, sehingga
orang yang masuk shalat (terlambat, dia akan shalat-red) bersama orang masbûq
yang menyempurnakan shalatnya. Lalu orang tersebut menyempurnakan
kekurangannya, kemudian masuk orang lain lagi dan shalat bersamanya dan begitu
seterusnya. Kalau sudah demikian maka nampak ini jadi sebuah kebid’ahan. [12]
Wallahu
a’lam.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Oleh Ustadz Kholid
Syamhudi Lc
Footnote
[1] Lihat
Hâsyiyah Ibnu Abidîn, 1/400
[2] Lihat
Majmu fatâwa wa Maqâlat Mutanawwi’ah, Syaikh bin Bâz, 12/173
[3] Silakan
merujuk Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, 230
[4] Nailul
Authâr, 3/161
[5] Fathul
Qadîr, 1/227 dan al-Bahrur Râ`iq, 1/383
[6]
Asy-Syarhu al-Kabîr ad-Dardiri, 1/327 dan Mawahib al-Jalîl, 4/489
[7]
Tuhfatul Muhtâj al-Haitsami 8/361 dan Nihâyatul Muhtâj 2/233
[8]
Al-Mubdi’, 1/424 dan Majmû’ al-Fatâwâ 23/382
[9] (lihat
al-Mughni 1/779)
[10]
(Majmu’ fatâwa bin Bâz 12/148 )
[11]
asy-Syarhul Mumti’ 2/317
[12] (Liqa
Al-Bâb al-maftuh 12/316.
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Hadir dan Menangkan hadiah nya tempat bermain poker 8 game dengan hanya 1 userid saja sudah bisa menikmati permainan kami di arenadomino(com)
silahkan langsung daftarkan diri anda bersama kami dengan pelayanan 24jam dan proses cepat yang kami berikan untuk kenyamanan anda semua dalam bermain di tempat kami segera bergabung peluang menang menunggu anda...
WA +855 96 4967353
Posting Komentar