Makna Dekatnya Allah Pada Surat Qaaf 16 Dan AlWaqiah 85
Allah Itu Dekat Allah Lebih Dekat Dari Urat Nadi Allah
Lebih Dekat Dari Urat Leher Allah Dekat Allah Lebih Dekat Daripada Urat Leher
MAKNA DEKATNYA ALLAH (PADA SURAT QAAF : 16 DAN AL-WAQIAH
: 85)_________________________________________________________________
Melanjutkan syubhat ahlu takwil yang menuduh ahlu sunnah
juga melakukan takwil, kali ini dibahas ayat surat Qaff : 16 dan Al-Waqi’ah.
Juga ayat Al-Qamar : 14 dan ayat Thaha : 39. Disarikan dari Al-Qawai’id
Al-Mutsla oleh Ahmas Faiz Asifuddin
________________________________________________________________________
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qaff : 16]
2. Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ
مِنكُمْ
Dan Kami
lebih dekat kepadanya dari kamu. [Al-Waqi’ah : 85]
Ahlul
takwil melancarkan sybuhat berupa tuduhan kepada Ahlus Sunnah bahwa merekapun
telah melakukan takwil terhadap dua ayat di atas, yaitu ketika menafsirkan
kata-kata “lebih dekat” yang dimaknai “lebih dekatnya malaikat”.
Jawaban
terhadap syubhat itu ialah : “Bahwa penafsiran kata-kata “ Kami lebih dekat”
pada dua ayat diatas dengan “dekatnya malaikat” bukanlah takwil, bukan
menyelewengkan perkataan dari makna dhahirnya. Dan hal ini akan jelas bagi
orang yang merenungkannya.
Penjelasannya
sebagai berikut.
1. Tentang
Ayat Pertama : Sesungguhnya kata-kata “Kami lebih dekat” pada ayat itu terkait
dengan sesuatu yang membuktikan bahwa maksudnya adalah “malaikat yang lebih
dekat” karena ayat tersebut berlanjut.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ
الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat
mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk
disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya
Malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 16-18]
Maka firman
Allah : إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ
(Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya), terdapat dalil
bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya dua orang Malaikat yang
mencatat amal perbuatannya.
2. Tentang
Ayat Kedua : Kata-kata “lebih dekat” pada ayat ini berkaitan dengan keadaan
seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut. Ketika seorang sedang
menghadapi sakaratul maut, maka yang datang untuk mencabut nyawanya adalah
malaikat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ
أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ
Sehingga
apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat (utusan) Kami, dan malaikat-malaikat itu tidak melalaikan
kewajibannya. [Al-An’am : 61]
Kemudian
pada ayat Al-Waqi’ah : 85, lengkapnya berbunyi.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ
مِنكُمْ وَلَٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ
Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. [Al-Waqi’ah :
85]
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala, لَّا تُبْصِرُونَ
(kamu tidak melihat) pada ayat itu menyatakan dalil sangat jelas bahwa yang
tidak kamu (manusia-pent) lihat adalah para malaikat. Sebab ayat diatas
menunjukkan bahwa pencabut nyawa berada sangat dekat dengan manusia, dalam arti
ia berada di tempat manusia itu berada, namun manusia tidak dapat melihatnya.
Dengan
demikian, yang dekat dan berada di tempat manusia (yang sedang sakaratul maut
untuk dicabut nyawanya) tidak lain adalah malaikat. Sebab adalah mustahil jika
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang berada di situ. Maka jelaslah bahwa yang
dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya Malaikat.
Tinggal
sekarang permasalahannya, yaitu kalau yang dimaksud adalah dekatnya malaikat,
mengapa kata-kata “dekat” kemudian disandarkan kepada Allah, yakni : “Kami
lebih dekat kepadanya”. Adakah contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang
menandaskan bahwa sesuatu disandarkan kepada Allah, tetapi maksudnya adalah
malaikat?
Jawaban
Pertanyaan Pertama.
Jawaban
Pertanyaan Kedua.
Memang ada
contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu disandarkan
kepada Allah tetapi maksudnya adalah malaikat. Misalnya firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Apabila
Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. [Al-Qiyamah : 18]
Disini
Allah mengatakan : “Bila Kami (Allah) telah selesai membacakannya”. Sedangkan
yang dimaksud adalah : “Bila malaikat Jibril telah selesai membacakan Al-Qur’an
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Sekalipun diakuinya bacaan
itu sebagai bacaan yang disandarkan kepada Allah dengan firmanNya : Apabila
Kami (Allah) telah selesai membacakannya” . Mengapa ? Sebab ketika Jibril
membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanyalah
semata-mata karena perintah Allah. Dengan demikian, boleh saja jika kemudian
Allah mengklaim bahwa bacaan Jibril tersebut sebagai bacaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Begitu pula
misal yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ
إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَاءَتْهُ الْبُشْرَىٰ يُجَادِلُنَا فِي قَوْمِ لُوطٍ
Maka
tatkala rasa takut telah hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang
kepadanya, diapun bersoal-jawab dengan Kami tentang kaum Luth. [Hud : 74]
Kata-kata :
يُجَادِلُنَا (bersoal jawab dengan Kami/Allah)
maksudnya adalah bersoal jawab dengan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang diutus untuk menemui Ibrahim
Kesimpulan:
Dua ayat
dalam surat Qaaf 16 dan surat Al-Waqi’ah : 85 di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyatakan bahwa “Kami (Allah) lebih dekat”, maksudnya adalah “malaikat lebih
dekat” karena dekatnya malaikat merupakan perintah Allah. Dan penafsiran ini
bukan takwil terhadap ayat-ayat sifat dan bukan pula pengalihan makna dari
makna dzahirnya, berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan di muka.
Alhamdulillah.
Sementara
itu syubhat lain yang dituduhkan oleh ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah juga
melakukan takwil, adalah berkenan dengan firman Allah tentang perahunya Nabi
Nuh Alaihissallam pada surat al-Qamar.
تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا
Yang
(perahu itu) berlayar dengan pengawasan mata Kami. [Al-Qamar : 14]
Dan
berkenaan dengan firman Allah kepada Musa dalam surat Thaha.
وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي
Dan supaya
engkau (Musa) diasuh dibawah pengawasan mata-Ku. [Thaha : 39]
Ahlu takwil
menuduh bahwa Ahlus Sunnah pun melakukan takwil ketika menafsirkan kedua ayat
tersebut di atas. Tuduhan ahlu takwil bahwa Ahlus Sunnah melakukan takwil pada
ayat diatas, jelas tidak benar.
Keterangannya
adalah sebagai berikut : Bahwa dua ayat diatas diartikan dibawah/dengan
pengawasan mata Allah adalah pengertian/penafsiran yang benar yang sesuai
dengan dhahirnya ayat dan sesuai dengan hakikatnya.
Tetapi yang
perlu dijelaskan ialah tentang maksud dhahir dan hakikat ayat di atas.
Apakah yang
dimaksud dengan dhahir dan hakikat ayat di atas lantas dikatakan bahwa
perahunya Nabi Nuh berlayar di dalam mata Allah dan bahwa Musa diasuh
diletakkan di atas mata Allah? (sebab pada kasus perahu Nabi Nuh, ayatnya
berbunyi بِأَعْيُنِنَا bi’a’yunina dengan
ba’, sedangkan pada kasus Nabi Musa, ayatnya berbunyi : ‘ala ‘ainiy عَلَىٰ عَيْنِي dengan ‘ala عَلَىٰ.
Jelas jika
itu yang dimaksudkan dengan dhahir dan hakikat ayat, maka tidak ragu lagi bahwa
pemahaman itu adalah pemahaman yang batil, berdasarkan beberapa alasa berikut.
1 Bahwa
pemahaman tentang dhahirnya ayat seperti pemahaman di atas adalah pemahaman
yang tidak sesuai dengan tuntutan pembicaraan bahasa Arab. Padahal Al-Qur’an
turun dengan berbahasa Arab.
Allah
berfirman.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا
عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya
Kami menurukannya sebagai Al-Qur’an (bacaan) yang berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. [Yusuf : 2]
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
Al-Qur’an
itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan
bahasa Arab yang jelas. [Asy-Syu’araa : 192-195]
Ketika ada
seorang berbicara dalam bahasa Arab : بعين
(bi’aini, dengan huruf ba’), tidak seorangpun yang memahami bahwa Fulan
berjalan di dalam matanya. Tetapi yang dipahaminya ialah Fulan berjalan di
bawah pengawasan (mata)nya. Begitu pula ketika ada seseorang yang berbicara
dalam bahasa Arab : عل عين (‘ala ‘aini, dengan
‘ala), juga tidak ada seorangpun yang memahami bahwa Fulan telah lulus dalam
keadaan ia naik di atas mata orang yang berbicara. Tetapi yang dipahaminya
ialah bahwa Fulan telah lulus si bawah pengawasan (mata)nya. Jika ada orang
yang nekad bahwa pemahamannya terhadap dhahir suatu perkataan adalah seperti
pemahaman di atas, maka tentu akan ditertawakan oleh orang-orang bodoh
sekalipun. Apalagi oleh orang-orang yang berakal.
2. Bahwa
pemahaman terhadap dhahirnya ayat dengan pemahaman seperti di atas, adalah
sangat mustahil. Tidak mungkin orang yang betul-betul memahami Allah dan
mengerti ke Maha Luhuran Allah, mempunyai pemahaman demikian, sebab Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy, berada tinggi di atas segenap
makhluk-Nya. Tidak ada sesuatupun di antara makhluk-Nya yang menempel pada
Allah dan tidak pula Allah menempati sesuatupun di antara makhluk-Nya. Maha
Suci Allah dari semuanya itu.
Nah, jika
pemahaman terhadap dhahirnya ayat tidak demikian, maka menjadi jelaslah bahwa
pemahaman terhadap dhahirnya ayat adalah bahwa perahunya Nabi Nuh berlayar,
sedangkan mata Allah senantiasa mengawasi dan memeliharanya.
Begitu pula
Nabi Musa. Beliau diasuh sedangkan mata Allah selalu melihat, mengawasi dan
memeliharanya.
Dengan
demikian pemahaman dhahir terhadap nash di atas seperti pemahaman yang pertama
jelas batil. Dan pemahaman yang benar adalah pemahaman yang kedua. Dan itu
tidak berarti mengalihkan perkataan dari makna yang sesuai dengan dhahirnya.
Maka terbantahlah sudah syubhat ahlu bid’ah yang menuduh Ahlus Sunnah juga
telah melakukan takwil. Syubhat yang dilancarkan dalam rangka membenarkan
tindakan batil mereka. Alhamdulillah.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IV/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
1 komentar:
Izin ya admin..:)
Yuk mainkan permainan POKER No ROBOT 100% silahkan langsung saja merapat dan bermain POKER bersama kami di ARENADOMINO ditunggu ya gan.. :) WA +855 96 4967353
Posting Komentar