MEMAHAMI AYAT AYAT DAN HADITS NABI TENTANG KESEHATAN
A. Pendahuluan
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk
memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga
dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika
ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang
digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam,
yaitu:
Kesehatan yang terambil dari kata sehat;
Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata
majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “afiat”
dipersamakan dengan kata “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan
sehat sendiri antara lain diartikan sebagai keadaan segenap badan serta
bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian
dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan
fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk
makna yang berbeda , kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya,
karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh
kata yang tidak disebut.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadits-hadits Nabi saw. Ditemukan
sekian banyak do’a, yang menagandung permohonan afiat, disamping
permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai
perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya.
Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi
mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan
sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap
anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata
yang dapat meliahat maupun membaca tanpa menggunakan kaca mata. Tapi, mata yang
afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta
mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi
yang diharapkan dari penciptaan mata.
B. Memahami
Ayat-Ayat tentang Kesehatan
QS. Al-Baqarah: 222
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”.
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”
Mufradat
Ayat
– أَذًى : kotoran
– فَاعْتَزِلُوا : maka hendaklah
kamu menjauhkan diri
– الْمُتَطَهِّرِينَ : orang-orang yang mensucikan diri
Penjelasan Ayat
Ada dua
bacaan yang diperkenalkan ayat ini, (يطهرن)
dan (يتطهرن)
yang pertama berarti suci, yakni berhenti haidnya; dan yang keduan
berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua
lebih ketat dari pada yang pertama, dan agaknya lebih baik dan memang lebih
suci.
Bertaubat
adalah menyucikan diri dari kotoran bathin, sedang menyucikan diri dari kotoran
lahir adalah mandi atau berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan rohani
digabung oleh penutup ayat ini, sekaligus member isyarat bahwa hubungan seks
baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri telah mandi.[1]
QS. :
Al-Muddatsir: 4-5
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)
“Dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
Mufradat
ayat:
وَالرُّجْزَ :
dan perbuatan dosa.
فَاهْجُرْ : tinggalkanlah
Penjelasan
Ayat
Kata (ثياب) adala
bentuk jama’ dari (ثوب) yang berarti pakaian. Di samping makna
tesebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati,
jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.
Kata (طهّر) adalah
beentuk perintah, dari kata (طهر) yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata
ini juga dapat dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa dan
pelanggaran.
Kata (الرُّجْزَ) (dengan
dhammah pada ra’) atau (الّرِّجْزَ)
(dengan kasrah pada ra’) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat
ini, dan sebagian ulama’ tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama’ yang
tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa,
sedangkan ulama’ yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala.
Pendapat ini dipelopori oleh Abu ‘Ubaidah.
Kata (فاهجر) fahjur,
terambil dari kata (هجر) yang digunakan untuk
menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian kepadanya”. Dari
akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat-sahabatnya
meninggalkan Mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap perlakuan
penduduknya.[2]
Sedangkan
di dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa sesudah hati dibulatkan kepada Tuhan,
hendaklah tilik diri sendiri, sudahkah bersih. Sebab itu, maka syarat kedua
yang wajib dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan Tuhan ialah; “Dan
pakaian engkau, hendaklah engkau bersihkan” (ayat 4). Berbagai pula penafsiran
ahli tafsir tentang maksud pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil
saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda Rasulullah saw. sendiri:
اَلنَّظَا فَةُ مِنَ
الْإِيْمَانِ
“Kebersihan
itu adalah satu sudut dari iman” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi)
Beliau
Rasulullah saw. akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka-pemuka dari
kaumnya atau dengan siapa saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting
bagi menarik perhatian orang. Kebersihan pakaian besar pengaruhnya kepada sikap
hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan sikap hidup sendiri. Kebersihan
menimbulkan harga diri, yaitu hal yang amat penting dijaga oleh orang-orang
yang hendak tegak menyampaikan dakwah ke tengah-tengah masyarakat.
Pakaian
yang kotor menyebabkan jiwa sendiri pun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia
yang budiman akan merasakan sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih
itu kepada hati sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita,
Kemudian
datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga; “Dan perbuatan dosa
hendaklah engkau jauhi” (ayat lima).
Dalam ayat
ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrahim
an-Nakha’I dan ad-Dhahhak, yaitu hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut
riwayat Ali bin Abu Thalhah yang dia terima dari Ibnu Abbas; ar-rujza di sini
artinya khusus, yaitu berhala.[3]
QS. :
Al-A’raf: 31
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Mufradat
Ayat:
– زِينَتَكُمْ :
pakaianmu, perhiasan
– وَلَا تُسْرِفُوا :
dan janganlah kalian berlebih-lebihan
2. Penjelasan Ayat:
Imam Bukhari
mengatakan, Ibnu Abbas berkata bahwa makna yang dimaksud ialah “Makanlah
sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi kau hindari dua pekerti, yaitu,
berlebih-lebihan dan sombong”.
Kata “وَلاَ تُسْرِفُوْا” yakni janganlah kalian memakan yang diharamkan, karena memakan
yang diharamkan merupakan perbuatan berlebih-lebihan.[4]
Sedangkan
di dalam tafsir al-Misbah, disebutkan bahwa makna
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
adalah dan
makanlah makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik
serta minumlah apa saja yang kamu sukai selama tidak memabukkan, tidak juga
mengganggu kesehatan kamu dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala hal,
baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam
makanan dan minuman apa saja, Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai. Yakni
tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi orang-orang yang berlebih-lebihan
dalam hal apapun.[5]
Islam,
memperhatikan pula kualitas makanan. Tafrit (terlalu menghemat) dan terlalu
rakus merupakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam:
Terlalu
banyak makan akan menyebabkan usus tersiksa dan mengganggu pencernaan, membuat
makanan menjadi masam, kadang-kadang menimbulkan luka, infeksi pada usus besar
dan usus dua belas. Kadang usus menjadi lebih panjang karena menahan makanan,
bahkan kelebihan makanan mampu menembus dinding usus dan melukainya sehingga
membahayakan. Semua penyakit ini, terjadi karena terlalu kenyang.
Makan
terlalu kenyang akan mengganggu proses pencernaan, menjadikan proses pencernan
menjadi begitu sulit. Karena itu Rasulullah menganjurkan agar mengatur jarak
waktu makan dan tidak akan makan kecuali lapar.
Rasulullah
mensifatkan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam makan sebgai orang yang
rakus.
Islam tidak
menyukai orang yang gemar membusungkan perutnya dan buncit, sebab keduanya akan
menghalangi seorang muslim untuk berjihad dan mematikan semangat kerja.
Di antara
gangguan kesehatan yang berbahaya, dan baru ditemukan dewasa ini adalah
hubungan usus besar dengan alat-alat perasa (indra perasa) dalam tubuh,
terutama hati. Hal ini yang disebut pengaruh usus besar terhadap hati. Kondisi
usus besar yang penuh dengan makanan akan menimbulkan gas asam, akhirnya akan
mengganggu hati, kadang-kadang menimbulkan kuguncangan hati, tekanan darah
rendah atau sebaliknya tekanan darah tinggi (hipertensi) yang berakibat
menimbulkan berbagai macam penyakit dalam.
Perasaan
sakit pada hati disebabkan karena usus besar dikacau-balaukan oleh makanan,
dimana ia tidak mampu mencernanya dengan baik.
Dalam
kondisi sakit, terutama demam, maka perut besar memerlukan pelayanan
sendiri.[6]
QS. :
Al-An’am: 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua
itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.” (QS. Al-An’am: 145)
Kata (رِجْسٌ) rijs/ kotor mengandung makna yang sangat
luas, antara lain kotor lahir maupun bathin, dosa, pekerjaan yang tidak layak
dilakukan dan mengarah pada risiko siksa. Syaikh taqi Falsafi dalam bukunya
Child between Heredity ang Education, mengutip Alexis Carrel, pemenang hadiah
Nobel Kedokteran dalam bukunya Man The Unknown, yang menyatakan bahwa pengaruh
campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa
dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna karena belum diadakan
sendiri percobaan secara memadai. Namun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan
manusia dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kuantitasnya. Nah jika demikian,
makanan dan minuman memiliki pengaruh yang besar bukan saja bagi jasmani
manusia tetapi juga bagi perasaan dan jiwanya.
Melalui
kata itu, ayat ini bermaksud menjelaskan salah satu hikmah pengharaman babi dan
atau apa yang disebut di atas, yakni bahwa makanan tersebut berdampak buruk
dalam jiwa dan prilaku manusia.
Yang juga
menjadi bahasan ulama’ dalam konteks kata itu adalah apakah kata ia pada
firman-Nya çm¯RÎ*sù sesungguhnya ia
rijs, menunjuk kepada semua makanan yang diharamkan itu atau hanya kepada babi.
Kalau kepada babi, ini mengandung penekanan tersendiri terhadap keburukan babi.
Memang, seperti komentar para penulis buku “al-Muntkhab fi at-Tafsir”, “Babi
termasuk binatang pemakan segala (omnivora) atau pemakan organik yang sudah
mati atau busuk (saprofit)”, termasuk kotoran manusia dan binatang. Itulah
sebabnya mengapa babi mudah menjangkitkan penyakit kepada manusia.[7]
Ayat ini
dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang
disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang
juga memberi pembatasan serupa, seperti dalam surat Al-Baqarah: 173.
Imam Syafi’i-misalnya-
berpegang kepada sekian banyak hadits Nabi yang dinilainya tidak bertentangan
dengan kandungan-kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut
dalam bentuk hasr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai
pengecualian hakiki.
Di sisi
lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena
rijs (kotor).
Nah, atas
dasar inilah dipertemukan hadits-hadits Nabi yang mengharamkan makanan-makanan
tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya
hadits yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan
sebagainya.[8]
C. Memahami Hadits-Hadits Nabi tentang
Kesehatan
Dalam Kitab
Lu’Lu’ wal Marjan
– حديث أبى هريرةَ، عن النبى صلى الله عليه و سلم قال:
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٍ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ،
وَالْإسْتِحْدَادُ، وَ نَتْفُ الْإبْطِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَقَصُّ
الشَّارِبِ.
“Abu
Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda: Tuntunan fitrah itu ada lima (atau:
lima dari tuntunan fitrah) yaitu: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan,
mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong (menggunting) kumis”. (HR.
Bukhari Muslim)[9]
Islam
adalah perintis pertama yang berbicara tentang bakteri dan kotoran yang
dimasukkan dalam istilah “khabats” atau “khataya” atau “syaithan”. Sebagai
contoh adalah sabda Rasulullah saw.:
قَلِّمْ أَظَافِرَكَ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَقْعُدُ عَلَى مَا طَالَ تَحْتَهَا
“potonglah
kukumu, sesungguhnya syetan duduk (bersembunyi) di bawah kukumu yang panjang” .
Hadits
diatas dengan jelas menunjukkan adanya bakteri yang tersembunyi di bawah
kuku-kuku, seperti bakteri thypoeid, desentri atau telur cacing.[10]
Inilah
sebagian penyakit yang dipindahkan oleh serangga, yang dapat berpindah hanya
dengan menyentuh.[11]
– حديث أبى هريرةَ رضى الله عنه، أَنَّ النّبِىَّ صلى الله عليه
و سلم قَالَ: لَوْلَ أَنْ أَسُقَّ عَلَى أُمَّتٍى _اَوْ عَلَى النَّاسِ_
لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ.
“Abu
Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Andaikan aku tidak memberatkan
pada umatku (atau pada orang-orang) pasti aku perintahkan (wajibkan) atas
mereka bersiwak (gosok gigi) tiap akan sembahyang. ” (HR. Bukhari Musllim)[12]
Pejelasan:
Syara’
melarang seseorang melakukan shalat sedang pada mulutnya masih terdapat
sisa-sisa makanan, melainkan terlebih dahulu dibersihkan dan berkumur tiga
kali. Gigi-gigi dibersihkan dan sisa-sisa makanan yang ada dikeluarkan, karena
sisa-sisa makanan yang tertinggal dalam mulut akan membusuk, dan apabila masuk
di antara gigi-gigi akan menimbulkan infeksi yang pada gilirannya menyebabkan
kerusakan gigi, oleh karena itu dilarang menelannya. Apabila ditinggalkan
begitu saja, akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan juga mengganggu
kesehatan gigi. Itulah hikmah Rasulillah mendorong kita untuk menggunakan siwak
(sikat gigi). Rasulullah bersabda:
اَلسِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ
لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“siwak
adalah membersihkan mulut dan mendapat keridhoan Tuhan”[13]
– حَدِيْثُ أُسَامَةَ بْنُ زَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “اَلطَّاعُوْنَ رِجْسٌ، أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ
مِنْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ، أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ
بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوْا عَلَيْهِ. وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ
بِهَا فَلَا تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ. (وَ فِى رِوَايَةٍ) لَا يُخْرِجُكُمْ
إِلَّا فِرَارًا مِنْهُ”
Artinya:
1433.
Usamah bin Zaid r.a. berkata: “Rasulullah saw. Bersabda: “Tha’un (wabah cacar)
itu suatu siksa yang diturunkan Allah kepada sebagian Bani Isra’il atau atas
umat yang sebelummu. Maka bila kamu mendengar bahwa pentakit itu berjangkit di
suatu tempat, janganlah kalian masuk ke tempat itu, dan jika di daerah di mana
kamu telah ada di sana maka janganlah kamu keluar dari daerah itu karena
melarikan diri dari padanya”. ”.[14]
Penjelasan:
Islam
meletakkan suatu kaidah kesehatan yang sangat penting untuk mengantisipasi
penyakit menular, seperti kolera, tha’un, dan sopak.
Kaidah-kaidah
ini tidak berbeda dengan nilai-nilai sains modern dewasa ini. Apabila kita
mengetahui perkembangan kesehatan, maka kita akan mengetahui jika terjadi wabah
kolera, atau sopak di suatu kota, maka buatlah pengaman di sekitarnya. Kemudian
dengan alasan apapun, tak seorang pun didizinkan memasukinya, kecuali para
petugas kesehatan atau orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya, itu pun
mesti di bawah pengawasan Departemen Kesehatan.
Suatu
ketika Umar bin Khattab hendak mengunjungi Syam bersama para sahabat. Maka Abu
Ubaidah, Gubernur Syam pada waktu itu, keluar untuk menjemputnya di jalan dan
menyampaikan kepadanya bahwa di negeri ini sedang berjangkit wabah penyakit
tha’un, maka Umar pun bermusyawarah dengan para sahabat yang mengikutinya. Di
antara mereka ada yang mengusulkan agar tetap ke Syam dan tidak membatalkan
atau tidak lari dari qadar Allah. Sebagian yang lain mengusulkan agar kembali
dan tidak menghadapkan kaum muslimin dan para sahabat itu ke dalam lingkungan
yang terjangkit wabah tha’un itu. Mereka berpendapat bahwa lari dari qadar
Allah kepada qadar Allah.
Akhirnya
datang seorang sahabat menyampaikan sebuah hadits yang didengar dari Rasulullah
saw. Maka mereka kembali ke Madinah, sedangkan penduduk Syam diperintahkan agar
tidak meninggalkan daerahnya sehingga wabah itu benar-benar hilang.[15]
Dalam Kitab
Shahih Muslim
– كُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ وَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ
“Semua yang
memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr.” (HR. Muslim
melalui Ibnu Umar)
Di sisi
lain Imam At-Tirmidzi, AN-Nasa’I, dan Abu Dawud meriwatkan melalui sahabat
Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw. bersabda:
ماَ اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ
فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“sesuatu
yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram”. (HR. Imam
At-Tirmidzi, AN-Nasa’I, dan Abu Dawud)
Dari
pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang dikemukakan di atas, maka
segala macam makanan dan minuman yang terolah atau tidak, selama mengganggu
pikiran maka dia adalah haram.[16]
إِضْرِبْ بِهذَا الْحَائِطِ
فَإِنَّ هَذَا شَرَابٌ مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأخِرِ.
“Pukulah
dia dengan pagar ini sebab minuman ini minuman orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari akhir.”
Minuman
keras dapat membangkitkan kangker tenggorokan, di samping menyebabkan
pendarahan di tenggorokan, pembengkakan pembulu darah di pangkal tenggorokan,
radang pangkreas, dan lain-lainya, ada kalanya dapat menyebabkan kematian.
Khamr
mempunyai arti setiap minuman yang dihasilkan dari perasan anggur, namun
berarti pula setiap yang memabukkan disebut khamr, karena dapat menutupi dan
merusak akal. Rasulullah mendera peminum khamr sebanyak 40 kali deraan. Umar
bin Khattab mencambuknya dengan 80 kali cambukan, menurut hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Setiap yang
memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram”.
D. Pokok-Pokok Kandungan Ayat dan Hadits
Islam
adalah satu-satunya agama yang datang laksana undang-undang dasar, atau
protokol-protokol yang mengatur kedokteran, pengobatan, dan kesehatan
masyarakat. Dialah yang pada saat ini disebut dengan “at-Tibbul Wiqa’i”.
Dalam
tinjauan ilmu kesehatan, kesehatan manusia itu dibagi menjadi tiga, yaitu:
Kesehatan
fisik
Kesehatan
mental
Kesehatan
masyarakat
Pokok-pokok
yang terkandung dalam syari’at Islam tentang kesehatan adalah sebagai berikut:
Sanitation
and personal hygiene (kesehatan lingkungan dan kesehatan), yang meliputi
kesehatan badan, tangan, gigi, kuku, dan rambut. Demikian juga kebersihan
lingkungan, jalan, rumah, tata kota, saluran irigasi, sumur dll.
Epidemiologi
(prteventif penyakit menular) melalui karantina, preventif kesehatan, tidak
memasuki suatu daerah yang terjangkit wabah penyakit, tidak lari dari tempat
itu, mencuci tangan sebelum menjenguk orang sakit dan sesudahnya, berobat ke
dokter dan mengikuti semua petunjuk preventif dan terapinya.
Memerangi
binatang melata, serangga dan hewan yang menularkan penyakit kepada orang lain.
Oleh karena itu diperintahkan agar membunuh tikus, kala jengking dan musang
serta membunuh serangga yang berbahaya seperti kutu, lalat dan diperintahkan
untuk membunuh anjing liar dan anjing gila.
Nutrition
(kesehatan makanan)
Masalah
kesehatan makanan ini terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
Menu
makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani, seperti tumbuh-tumbuhan,
daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu yang dihasilkan
dari daging, madu, kurma, susu, dan semua yang baergizi.
Tata
makanan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan, makan bukan karena
lapar hingga kekenyangan, diet ketika sedang sakit, memerintahkan puasa agar
usus dan perut besarnya dapat beristirahat dan tidak berbuka puasa dengan
berlebih-lebihan dan melampaui batas.
Mengharamkan
segala sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, seperti bangkai, darah, dan
daging babi.
Sex Hygiene
(kesehatan seks)
Yakni
meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seks, kebersihan seks seperti mandi
setelah bersetubuh, istinja’setelah kencing dan berak.
Mental and
Psychic Hygiene (kesehatan mental dan jasmani)
Yakni
ajaran-ajaran untuk mencegah terjadinya stress, oleh karena itu Islam melarang
semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan daya pikir,
seperti khamr.
E. Korelasi antara Ayat dan Hadits tentang
Kesehatan
Islam
menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan bagi umat manusia. Diantara kelima unsur tersebut
yang berkaitan dengan kesehatan adalah jiwa, akal dan jasmani.
Islam
bertujuan memelihara jiwa, akal dan jasmani umat manusia. Anggota badan manusia
pada hakekatnya adalah milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, bukan untuk disalah gunakan.
Dari beberapa
ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, dapat tarik sebuah korelasi (hubungan)
bahwa Islam sangat menekankan tentang kebersihan, baik kebersihan jasmani
maupun rohani. Di satu sisi Allah memerintahkan untuk menjaga kesehatan dan
kebersihan fisik, di sisi yang lain Allah juga memerintahkan untuk menjaga
kesehatan mental dan jiwa (rohani).
Dalam hal
kesehatan jasmani, Islam memerintahkan untuk menjaga kebersihan pakaian (QS.
Al-Muddatsir: 4-5) dan perintah untuk membersihkan badan (hadits tentang lima
hal dari fitrah)
Sedangkan
dalam hal kesehatan rohani, Islam memerintahkan untuk meninggalkan segala
sesuatu yang dapat merusak akal, seperti khamr dan segala sesuatu yang dapat
menghilangkan akal.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah, Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 448.
[2]Ibid., Hal. 556-557.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 29,
(Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), 202-203
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
(Bandung: PT Sinar Baru Algresindo, 2002), 290-291
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misabah, 75
[6] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai
Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 61-64.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah , 707-708
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: MIZAN, 1998), 142-143.
[9] M. Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wal Marjan, penerjemah H. Salim Bahreisy, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), 96
[10] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai
Kesehatan,11.
[11] Ibid., Hal. 35.
[12] M. Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’
wal Marjan, 95.
[13] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai
Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),20-21.
[14] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi,
Al-Lu’lui wal Marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), 853-854
[15] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai
Kesehatan, 40-41.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, 147-148.
0 komentar:
Posting Komentar