Selasa, 09 Januari 2018

MEMAHAMI AYAT AYAT DAN HADITS NABI TENTANG KESEHATAN

MEMAHAMI AYAT AYAT DAN HADITS NABI TENTANG KESEHATAN

A.    Pendahuluan

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.

Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam, yaitu:
Kesehatan yang terambil dari kata sehat;

Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “afiat” dipersamakan dengan kata “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat sendiri antara lain diartikan sebagai keadaan segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).

Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.

Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda , kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.

Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadits-hadits Nabi saw. Ditemukan sekian banyak do’a, yang menagandung permohonan afiat, disamping permohonan memperoleh sehat.

Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat meliahat maupun membaca tanpa menggunakan kaca mata. Tapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

B.     Memahami Ayat-Ayat tentang Kesehatan

QS. Al-Baqarah: 222

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Mufradat Ayat

–          أَذًى                  :  kotoran

–        فَاعْتَزِلُوا          :  maka hendaklah kamu menjauhkan diri

–         الْمُتَطَهِّرِينَ       :  orang-orang yang mensucikan diri

Penjelasan  Ayat
Ada dua bacaan yang diperkenalkan ayat ini, (يطهرن) dan (يتطهرن)  yang pertama berarti suci, yakni berhenti haidnya; dan yang keduan berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua lebih ketat dari pada yang pertama, dan agaknya lebih baik dan memang lebih suci.

Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran bathin, sedang menyucikan diri dari kotoran lahir adalah mandi atau berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan rohani digabung oleh penutup ayat ini, sekaligus member isyarat bahwa hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri telah mandi.[1]
QS. : Al-Muddatsir: 4-5
 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)

“Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
Mufradat ayat:

 وَالرُّجْزَ   : dan perbuatan dosa.
 فَاهْجُرْ     : tinggalkanlah

Penjelasan Ayat

Kata (ثياب) adala bentuk jama’ dari (ثوب)  yang berarti pakaian. Di samping makna tesebut ia gunakan juga sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.

Kata (طهّر) adalah beentuk perintah, dari kata (طهر)  yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata ini juga dapat dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa dan pelanggaran.

Kata (الرُّجْزَ) (dengan dhammah pada ra’) atau (الّرِّجْزَ) (dengan kasrah pada ra’) keduanya merupakan cara yang benar untuk membaca ayat ini, dan sebagian ulama’ tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama’ yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama’ yang membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala. Pendapat ini dipelopori oleh Abu ‘Ubaidah.

Kata (فاهجر) fahjur, terambil dari kata (هجر) yang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan sesuatu karena kebencian kepadanya”. Dari akar kata ini dibentuk kata-kata hijrah, karena Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggalkan Mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau terhadap perlakuan penduduknya.[2]

Sedangkan di dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa sesudah hati dibulatkan kepada Tuhan, hendaklah tilik diri sendiri, sudahkah bersih. Sebab itu, maka syarat kedua yang wajib dilengkapkan sesudah membesarkan dan mengagungkan Tuhan ialah; “Dan pakaian engkau, hendaklah engkau bersihkan” (ayat 4). Berbagai pula penafsiran ahli tafsir tentang maksud pembersihan pakaian ini. Tetapi di sini kita ambil saja penafsiran yang sederhana, yaitu sabda Rasulullah saw. sendiri:

اَلنَّظَا فَةُ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Kebersihan itu adalah satu sudut dari iman” (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi)
Beliau Rasulullah saw. akan berhadapan dengan orang banyak, dengan pemuka-pemuka dari kaumnya atau dengan siapa saja. Kebersihan adalah salah satu pokok yang penting bagi menarik perhatian orang. Kebersihan pakaian besar pengaruhnya kepada sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan sikap hidup sendiri. Kebersihan menimbulkan harga diri, yaitu hal yang amat penting dijaga oleh orang-orang yang hendak tegak menyampaikan dakwah ke tengah-tengah masyarakat.

Pakaian yang kotor menyebabkan jiwa sendiri pun turut kusut masai. Tiap-tiap manusia yang budiman akan merasakan sendiri betapa besar pengaruh pakaian yang bersih itu kepada hati sendiri dan kepada manusia yang di keliling kita,

Kemudian datanglah perintah agar memenuhi syarat yang ketiga; “Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi” (ayat lima).

Dalam ayat ini disebut ar-rujza, kita artikan dengan arti yang dipakai oleh Ibrahim an-Nakha’I dan ad-Dhahhak, yaitu hendaklah engkau jauhi dosa. Tetapi menurut riwayat Ali bin Abu Thalhah yang dia terima dari Ibnu Abbas; ar-rujza di sini artinya khusus, yaitu berhala.[3]
QS. : Al-A’raf: 31

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Mufradat Ayat:

–         زِينَتَكُمْ          : pakaianmu, perhiasan

–         وَلَا تُسْرِفُوا    : dan janganlah kalian berlebih-lebihan
      
        2. Penjelasan Ayat:

Imam Bukhari mengatakan, Ibnu Abbas berkata bahwa makna yang dimaksud ialah “Makanlah sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi kau hindari dua pekerti, yaitu, berlebih-lebihan dan sombong”.

Kata وَلاَ تُسْرِفُوْا” yakni janganlah kalian memakan yang diharamkan, karena memakan yang diharamkan merupakan perbuatan berlebih-lebihan.[4]

Sedangkan di dalam tafsir al-Misbah, disebutkan bahwa makna

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

adalah dan makanlah makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik serta minumlah apa saja yang kamu sukai selama tidak memabukkan, tidak juga mengganggu kesehatan kamu dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makanan dan minuman apa saja, Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai. Yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.[5]

Islam, memperhatikan pula kualitas makanan. Tafrit (terlalu menghemat) dan terlalu rakus merupakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam:

Terlalu banyak makan akan menyebabkan usus tersiksa dan mengganggu pencernaan, membuat makanan menjadi masam, kadang-kadang menimbulkan luka, infeksi pada usus besar dan usus dua belas. Kadang usus menjadi lebih panjang karena menahan makanan, bahkan kelebihan makanan mampu menembus dinding usus dan melukainya sehingga membahayakan. Semua penyakit ini, terjadi karena terlalu kenyang.

Makan terlalu kenyang akan mengganggu proses pencernaan, menjadikan proses pencernan menjadi begitu sulit. Karena itu Rasulullah menganjurkan agar mengatur jarak waktu makan dan tidak akan makan kecuali lapar.

Rasulullah mensifatkan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam makan sebgai orang yang rakus.

Islam tidak menyukai orang yang gemar membusungkan perutnya dan buncit, sebab keduanya akan menghalangi seorang muslim untuk berjihad dan mematikan semangat kerja.

Di antara gangguan kesehatan yang berbahaya, dan baru ditemukan dewasa ini adalah hubungan usus besar dengan alat-alat perasa (indra perasa) dalam tubuh, terutama hati. Hal ini yang disebut pengaruh usus besar terhadap hati. Kondisi usus besar yang penuh dengan makanan akan menimbulkan gas asam, akhirnya akan mengganggu hati, kadang-kadang menimbulkan kuguncangan hati, tekanan darah rendah atau sebaliknya tekanan darah tinggi (hipertensi) yang berakibat menimbulkan berbagai macam penyakit dalam.

Perasaan sakit pada hati disebabkan karena usus besar dikacau-balaukan oleh makanan, dimana ia tidak mampu mencernanya dengan baik.

Dalam kondisi sakit, terutama demam, maka perut besar memerlukan pelayanan sendiri.[6]
QS. : Al-An’am: 145

 قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al-An’am: 145)

Kata (رِجْسٌ) rijs/ kotor mengandung makna yang sangat luas, antara lain kotor lahir maupun bathin, dosa, pekerjaan yang tidak layak dilakukan dan mengarah pada risiko siksa. Syaikh taqi Falsafi dalam bukunya Child between Heredity ang Education, mengutip Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran dalam bukunya Man The Unknown, yang menyatakan bahwa pengaruh campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna karena belum diadakan sendiri percobaan secara memadai. Namun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kuantitasnya. Nah jika demikian, makanan dan minuman memiliki pengaruh yang besar bukan saja bagi jasmani manusia tetapi juga bagi perasaan dan jiwanya.

Melalui kata itu, ayat ini bermaksud menjelaskan salah satu hikmah pengharaman babi dan atau apa yang disebut di atas, yakni bahwa makanan tersebut berdampak buruk dalam jiwa dan prilaku manusia.

Yang juga menjadi bahasan ulama’ dalam konteks kata itu adalah apakah kata ia pada firman-Nya çm¯RÎ*sù  sesungguhnya ia rijs, menunjuk kepada semua makanan yang diharamkan itu atau hanya kepada babi. Kalau kepada babi, ini mengandung penekanan tersendiri terhadap keburukan babi. Memang, seperti komentar para penulis buku “al-Muntkhab fi at-Tafsir”, “Babi termasuk binatang pemakan segala (omnivora) atau pemakan organik yang sudah mati atau busuk (saprofit)”, termasuk kotoran manusia dan binatang. Itulah sebabnya mengapa babi mudah menjangkitkan penyakit kepada manusia.[7]

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa, seperti dalam surat Al-Baqarah: 173.

Imam Syafi’i-misalnya- berpegang kepada sekian banyak hadits Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan-kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hasr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena rijs (kotor).

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadits-hadits Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadits yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.[8]

C.    Memahami Hadits-Hadits Nabi tentang Kesehatan

Dalam Kitab Lu’Lu’ wal Marjan

–    حديث أبى هريرةَ، عن النبى صلى الله عليه و سلم قال: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٍ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ، وَالْإسْتِحْدَادُ، وَ نَتْفُ الْإبْطِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ.

“Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. Bersabda: Tuntunan fitrah itu ada lima (atau: lima dari tuntunan fitrah) yaitu: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong (menggunting) kumis”. (HR. Bukhari Muslim)[9]
Islam adalah perintis pertama yang berbicara tentang bakteri dan kotoran yang dimasukkan dalam istilah “khabats” atau “khataya” atau “syaithan”. Sebagai contoh adalah sabda Rasulullah saw.:

قَلِّمْ أَظَافِرَكَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَقْعُدُ عَلَى مَا طَالَ تَحْتَهَا

“potonglah kukumu, sesungguhnya syetan duduk (bersembunyi) di bawah kukumu yang panjang” .

Hadits diatas dengan jelas menunjukkan adanya bakteri yang tersembunyi di bawah kuku-kuku, seperti bakteri thypoeid, desentri atau telur cacing.[10]

Banyak bakteri yang hidup di bawah kuku yang panjang  dan kotor. Kondisi semacam ini dapat menularkan penyakit, yakni ketika kita setelah berak tidak mencuci tangan dengan bersih hingga bakteri yang ada pada tangan berpindah ke makanan. Di antara penyakit yang dipindahkan adalah semua penyakit yang dibawa lalat terutama typhoeid, solamania, desentri, keracunan makanan, dan telur cacing terutama cacing aksoris dan ascaris (cacing gelang, yaitu cacing yang hidup di dalam usus halus manusia) dan cacing pita dengan segala macamnya.

Inilah sebagian penyakit yang dipindahkan oleh serangga, yang dapat berpindah hanya dengan menyentuh.[11]

–    حديث أبى هريرةَ رضى الله عنه، أَنَّ النّبِىَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَوْلَ أَنْ أَسُقَّ عَلَى أُمَّتٍى _اَوْ عَلَى النَّاسِ_ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ.

“Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Andaikan aku tidak memberatkan pada umatku (atau pada orang-orang) pasti aku perintahkan (wajibkan) atas mereka bersiwak (gosok gigi) tiap akan sembahyang. ” (HR. Bukhari Musllim)[12]
Pejelasan:

Syara’ melarang seseorang melakukan shalat sedang pada mulutnya masih terdapat sisa-sisa makanan, melainkan terlebih dahulu dibersihkan dan berkumur tiga kali. Gigi-gigi dibersihkan dan sisa-sisa makanan yang ada dikeluarkan, karena sisa-sisa makanan yang tertinggal dalam mulut akan membusuk, dan apabila masuk di antara gigi-gigi akan menimbulkan infeksi yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan gigi, oleh karena itu dilarang menelannya. Apabila ditinggalkan begitu saja, akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan juga mengganggu kesehatan gigi. Itulah hikmah Rasulillah mendorong kita untuk menggunakan siwak (sikat gigi). Rasulullah bersabda:

اَلسِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“siwak adalah membersihkan mulut dan mendapat keridhoan Tuhan”[13]

–    حَدِيْثُ أُسَامَةَ بْنُ زَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “اَلطَّاعُوْنَ رِجْسٌ، أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ، أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوْا عَلَيْهِ. وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ. (وَ فِى رِوَايَةٍ) لَا يُخْرِجُكُمْ إِلَّا فِرَارًا مِنْهُ

Artinya:
1433. Usamah bin Zaid r.a. berkata: “Rasulullah saw. Bersabda: “Tha’un (wabah cacar) itu suatu siksa yang diturunkan Allah kepada sebagian Bani Isra’il atau atas umat yang sebelummu. Maka bila kamu mendengar bahwa pentakit itu berjangkit di suatu tempat, janganlah kalian masuk ke tempat itu, dan jika di daerah di mana kamu telah ada di sana maka janganlah kamu keluar dari daerah itu karena melarikan diri dari padanya”. ”.[14]

Penjelasan:
Islam meletakkan suatu kaidah kesehatan yang sangat penting untuk mengantisipasi penyakit menular, seperti kolera, tha’un, dan sopak.

Kaidah-kaidah ini tidak berbeda dengan nilai-nilai sains modern dewasa ini. Apabila kita mengetahui perkembangan kesehatan, maka kita akan mengetahui jika terjadi wabah kolera, atau sopak di suatu kota, maka buatlah pengaman di sekitarnya. Kemudian dengan alasan apapun, tak seorang pun didizinkan memasukinya, kecuali para petugas kesehatan atau orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya, itu pun mesti di bawah pengawasan Departemen Kesehatan.

Suatu ketika Umar bin Khattab hendak mengunjungi Syam bersama para sahabat. Maka Abu Ubaidah, Gubernur Syam pada waktu itu, keluar untuk menjemputnya di jalan dan menyampaikan kepadanya bahwa di negeri ini sedang berjangkit wabah penyakit tha’un, maka Umar pun bermusyawarah dengan para sahabat yang mengikutinya. Di antara mereka ada yang mengusulkan agar tetap ke Syam dan tidak membatalkan atau tidak lari dari qadar Allah. Sebagian yang lain mengusulkan agar kembali dan tidak menghadapkan kaum muslimin dan para sahabat itu ke dalam lingkungan yang terjangkit wabah tha’un itu. Mereka berpendapat bahwa lari dari qadar Allah kepada qadar Allah.

Akhirnya datang seorang sahabat menyampaikan sebuah hadits yang didengar dari Rasulullah saw. Maka mereka kembali ke Madinah, sedangkan penduduk Syam diperintahkan agar tidak meninggalkan daerahnya sehingga wabah itu benar-benar hilang.[15]

Dalam Kitab Shahih Muslim

–    كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ

“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr.” (HR. Muslim melalui Ibnu Umar)

Di sisi lain Imam At-Tirmidzi, AN-Nasa’I, dan Abu Dawud meriwatkan melalui sahabat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw. bersabda:

ماَ اَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram”. (HR. Imam At-Tirmidzi, AN-Nasa’I, dan Abu Dawud)

Dari pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang dikemukakan di atas, maka segala macam makanan dan minuman yang terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah haram.[16]

Rasulullah saw. bersabda:

إِضْرِبْ بِهذَا الْحَائِطِ فَإِنَّ هَذَا شَرَابٌ مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأخِرِ.

“Pukulah dia dengan pagar ini sebab minuman ini minuman orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”

Minuman keras dapat membangkitkan kangker tenggorokan, di samping menyebabkan pendarahan di tenggorokan, pembengkakan pembulu darah di pangkal tenggorokan, radang pangkreas, dan lain-lainya, ada kalanya dapat menyebabkan kematian.

Khamr mempunyai arti setiap minuman yang dihasilkan dari perasan anggur, namun berarti pula setiap yang memabukkan disebut khamr, karena dapat menutupi dan merusak akal. Rasulullah mendera peminum khamr sebanyak 40 kali deraan. Umar bin Khattab mencambuknya dengan 80 kali cambukan, menurut hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram”.

D.    Pokok-Pokok Kandungan Ayat dan Hadits

Islam adalah satu-satunya agama yang datang laksana undang-undang dasar, atau protokol-protokol yang mengatur kedokteran, pengobatan, dan kesehatan masyarakat. Dialah yang pada saat ini disebut dengan “at-Tibbul Wiqa’i”.

Dalam tinjauan ilmu kesehatan, kesehatan manusia itu dibagi menjadi tiga, yaitu:

Kesehatan fisik

Kesehatan mental

Kesehatan masyarakat

Pokok-pokok yang terkandung dalam syari’at Islam tentang kesehatan adalah sebagai berikut:

Sanitation and personal hygiene (kesehatan lingkungan dan kesehatan), yang meliputi kesehatan badan, tangan, gigi, kuku, dan rambut. Demikian juga kebersihan lingkungan, jalan, rumah, tata kota, saluran irigasi, sumur dll.

Epidemiologi (prteventif penyakit menular) melalui karantina, preventif kesehatan, tidak memasuki suatu daerah yang terjangkit wabah penyakit, tidak lari dari tempat itu, mencuci tangan sebelum menjenguk orang sakit dan sesudahnya, berobat ke dokter dan mengikuti semua petunjuk preventif dan terapinya.

Memerangi binatang melata, serangga dan hewan yang menularkan penyakit kepada orang lain. Oleh karena itu diperintahkan agar membunuh tikus, kala jengking dan musang serta membunuh serangga yang berbahaya seperti kutu, lalat dan diperintahkan untuk membunuh anjing liar dan anjing gila.

Nutrition (kesehatan makanan)

Masalah kesehatan makanan ini terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:

Menu makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani, seperti tumbuh-tumbuhan, daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu yang dihasilkan dari daging, madu, kurma, susu, dan semua yang baergizi.

Tata makanan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan, makan bukan karena lapar hingga kekenyangan, diet ketika sedang sakit, memerintahkan puasa agar usus dan perut besarnya dapat beristirahat dan tidak berbuka puasa dengan berlebih-lebihan dan melampaui batas.

Mengharamkan segala sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, seperti bangkai, darah, dan daging babi.

Sex Hygiene (kesehatan seks)

Yakni meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seks, kebersihan seks seperti mandi setelah bersetubuh, istinja’setelah kencing dan berak.

Mental and Psychic Hygiene (kesehatan mental dan jasmani)

Yakni ajaran-ajaran untuk mencegah terjadinya stress, oleh karena itu Islam melarang semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan daya pikir, seperti khamr.

E.     Korelasi antara Ayat dan Hadits tentang Kesehatan

Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan bagi umat manusia. Diantara kelima unsur tersebut yang berkaitan dengan kesehatan adalah jiwa, akal dan jasmani.

Islam bertujuan memelihara jiwa, akal dan jasmani umat manusia. Anggota badan manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bukan untuk disalah gunakan.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, dapat tarik sebuah korelasi (hubungan) bahwa Islam sangat menekankan tentang kebersihan, baik kebersihan jasmani maupun rohani. Di satu sisi Allah memerintahkan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan fisik, di sisi yang lain Allah juga memerintahkan untuk menjaga kesehatan mental dan jiwa (rohani).

Dalam hal kesehatan jasmani, Islam memerintahkan untuk menjaga kebersihan pakaian (QS. Al-Muddatsir: 4-5) dan perintah untuk membersihkan badan (hadits tentang lima hal dari fitrah)

Sedangkan dalam hal kesehatan rohani, Islam memerintahkan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dapat merusak akal, seperti khamr dan segala sesuatu yang dapat menghilangkan akal.

[1] M. Quraish Shihab,  Tafsir Al-Misabah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 448.
[2]Ibid., Hal. 556-557.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 29, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), 202-203
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: PT Sinar Baru Algresindo, 2002), 290-291
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misabah, 75
[6] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 61-64.
[7] M. Quraish Shihab,  Tafsir Al-Misabah , 707-708
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: MIZAN, 1998), 142-143.
[9] M. Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wal Marjan, penerjemah H. Salim Bahreisy, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), 96
[10] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan,11.
[11] Ibid., Hal. 35.
[12] M. Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ wal Marjan, 95.
[13] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),20-21.
[14] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lui wal Marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), 853-854
[15] Ahmad Syauqi Al-Fanjari, Nilai Kesehatan, 40-41.             
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 147-148.



0 komentar:

Posting Komentar