Kiat Agar Tetap Istiqomah (seri 1)
Keutamaan Istiqomah Agar Tetap Istiqomah Bacaan Istiqomah
Istiqamah Istiqomah Dijalan Allah
Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang
menuntun kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia
begitu gigih menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun
selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada
kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi
seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut
tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun
sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi
petunjuk oleh Allah.
Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini.
Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini
dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama,
mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama)
yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah
ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin,
dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.1 Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan
oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah
adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي
كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah
pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang
dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli
tafsir:
[1]
Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq
dan Mujahid,
[2]
Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
[3]
Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana
dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.2 Dan sebenarnya istiqomah bisa
mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.
Ayat di
atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan
ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut
menjemput3 “Janganlah takut dan janganlah bersedih”.
Mujahid,
‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada
akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian
tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para
malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira
berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas
dari berbagai macam kejelekan. 4
Zaid bin
Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut
menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah
yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al
Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna,
farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah
keistiqomahan pada kami).”5
Yang serupa
dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14).
Dari Abu
‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى
فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ
أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
».
“Wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama)
islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu
lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu
Usamah dikatakan, “selain engkau”]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah
dalam ucapan itu.”6 Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”7
Pasti Ada
Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita
ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang
kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa
menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا
إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah:
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan
yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6).
Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun
pada Allah).
Ibnu Rajab
Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun
kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah
yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon
ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan
yang lurus).”8
Kiat Agar
Tetap Istiqomah
Ada
beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.
Pertama:
Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah
Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ
وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran
ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …”
dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى
الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ ( يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ
الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ )
“Jika
seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.”9
Qotadah As
Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia
adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di
akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat
Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama
salaf lainnya.10
Mengapa
Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di
akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa
Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan
pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu
memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya.
Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan
selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh karena
itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik
yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang
merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia
akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga
menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi.
Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa
mendapatkan pertolongan Allah.
Kedua:
Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah
menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al
Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ
الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى
وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah:
“Ruhul Qudus (Jibril)11 menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar,
untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS.
An Nahl: 102)
Oleh karena
itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا
لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ
فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an
adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. 12
Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang
ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا
هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al Qur’an
itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat:
44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan
keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.”13 Ibnu Katsir
menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah
petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai
keraguan.”14
Oleh karena
itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar
mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri
dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al
Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini.
Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga:
Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya
di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at
atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam
beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى
اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu
sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras
untuk merutinkannya. 15
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen
dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja
dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan
amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam
beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu
wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran
yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali
saja dilakukan.”16
Ibnu Rajab
Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan
amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang
melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”17 Yaitu Ibnu ’Umar dicela
karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ
تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
”Wahai
‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat
malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”18
Selain
amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah
masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali
namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika
seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan
hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita
dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Footnote:
1 Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab
Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
2 Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy,
5/304, Mawqi’ At Tafasir.
3 Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan
Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar
Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
4 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
5 Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245.
6 HR. Muslim no. 38.
7 Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246.
8 Idem
9 HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no.
2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
10 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
11 Malaikat Jibril disebut ruhul qudus
oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan
kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di,
hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak
boleh dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an
adalah perkataan Jibril dan bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan
Jibril khianat dalam menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
12 Lihat Wasa-il Ats Tsabat, Syaikh
Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
13 Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil
Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama,
tahun 1420 H.
14 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
15 HR. Muslim no. 783, Kitab shalat
para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan
amalan lainnya.
16 Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar
Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
17 Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84,
Asy Syamilah
18 HR. Bukhari no. 1152.
0 komentar:
Posting Komentar