MENGENAL KEUTAMAAN SAHABAT NABI
Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
mendalami dan mempelajari kisah-kisah salafush shalih (generasai awal Islam)
serasa mengarungi lautang yang tak bertepi. Berbagai keunikan dan fenomena
hidup telah mereka jalani. Kewajiban orang-orang belakangan adalah memetik
pelajaran dari perjalanan kehidupan mereka, bersegera meraih kebaikan-kebaikan
mereka, dan mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa pahit yang menimpa
mereka.
Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
pembahasan kita akan tertuju pada generasi terbaik umat ini. Merekalah
manusia-manusia terbaik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menemani
Rasul-Nya yang mulia. Mereka telah mengemban tugas berat untuk menumbangkan
berhala, mengikis habis kesyirikan dan hanya mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Merekalah lentera kehidupan, figur panutan dan sanadnya syari’at.
Musuh-musuh Islam merasa gentar dengan kegigihan para sahabat. Karena syahid di
medan jihad adalah salah satu tujuan hidup mereka, kemuliaan tetap mereka
dapatkan baik hidup maupun mati.
Seorang bijak menuturkan “Tirulah, sekalipun kalian tidak
bisa seperti mereka. Karena meniru orang-orang yang mulia adalah
keberuntungan.”
DEFINISI SAHABAT
Secara bahasa, kata ash-shahabah (الصحابة) adalah bentuk plural (jamak) dari
kata shahib (صاحب) atau shahabiy (صحابي) yang
berarti teman sejawat.
Adapun
secara istilah para ulama kita telah mendefinisikan bahwa sahabat adalah setiap
orang yang bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
beriman lalu mati di atas keimanannya tersebut sekalipun diselingi dengan
kemurtadan.
KEUTAMAAN
SAHABAT
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kalian
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali
Imron: 110).
Abdullah
bin Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang
berhijrah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah ke
Madinah.”
Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang benar adalah ayat ini umum mencakup
seluruh umat di setiap zaman. Dan sebaik-baik mereka adalah orang-orang yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus bersama mereka (yaitu para
sahabat), kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.” (Tafsir
Ibnu Katsir 2:83)
Sahabat
Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan sebuah kalimat yang sangat indah, ia
mengatakan, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba,
maka Dia mendapati hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sebaik-sebaik hati para hamba-Nya, lalu Allah memilih dan mengutusnya untuk
menyampaikan syariat-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para
hamba setelah hati Muhammad, maka Dia mendapati hati para sahabatnya adalah
sebaik-baik hati para hamba-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan
mereka para penolong nabi-Nya, memerangi musuh untuk membela agama-Nya. Apa
yang baik menurut kaum muslimin (para sahabat) adalah baik menurut Allah, dan
apa yang menurut kaum muslimin (para sahabat) jelek maka hal itu menurut Allah
adalah jelek.” (Majmu’uz Zawaid lil Haitsumi, 1:177).
Ibnu Umar
mengatakan, “Siapa saja yang ingin meneladani (seseorang), maka teladanilah
orang-orang yang telah meninggal dunia, merekalah para sahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka sebaik-baik umat ini, paling dalam
ilmunya dan paling sedikit bebannya –karena setiap ada masalah mereka bisa
langsung bertanya kepada nabi-, mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala pilih untuk menemani nabi-Nya dan membawa syari’at-Nya, maka
teladanilah akhlak-akhlak mereka dan jalan hidup mereka. Karena mereka para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh mereka berada di atas petunjuk
yang lurus.” (Hilyatul Auliya, 1:205-206).
PERINTAH
MENELADANI PARA SAHABAT
Banyak
sekali dalil-dalil dari Alquran maupun sunah yang memerintahkan kita untuk
meneladani para sahabat, di antaranya:
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).
Dan dalam
hadis:
Dari Abu
Burdah dari bapaknya ia berkata: “Selepas kami shalat maghrib bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami katakan, ‘Bagaimana bila kita
tetap duduk di masjid dan menunggu shalat isya bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.’ Maka kami pun tetap duduk, hingga keluarlah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat isya. Beliau mengatakan, ‘Kalian
masih tetap di sini?’ Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah kami telah melakukan
shalat maghrib bersamamu lalu kami katakan, alangkah baiknya bila kami tetap
duduk di sini menunggu shalat isya bersamamu.’ Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian benar.’ Lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit lalu berkata, ‘Bintang-gemintang
itu adalah para penjaga langit, apabila bintang itu lenyap maka terjadilah pada
langit itu apa yang telah dijanjikan, aku adalah penjaga para sahabatku, bila
aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan, dan para
sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka
akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan.’”(HR. Muslim 7:183).
Al-Imam
An-Nawawi mengatakan, “Makna hadis di atas adalah selama bintang itu masih ada
maka langit pun akan tetap ada, apabila bintang-bintang itu runtuh dan
bertebaran pada hari kiamat kelak maka langit pun akan melemah dan akan
terbelah dan lenyap. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku
adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang
telah dijanjikan’, yaitu akan terjadi fitnah, pertempuran, perselisihan, dan
pemurtadan. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Para sahabatku
adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan
menimpa umatku apa yang telah dijanjikan’, maknanya akan terjadi kebid’ahan dan
perkara-perkara baru dalam agama dan juga fitnah…” (Syarh Shahih Muslim,
16:83).
POTRET
KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA RASULULLAH
Seorang
shahabiyah (sahabat wanita) mulia, yang bapaknya, saudaranya dan suaminya
terbunuh di Perang Uhud tatkala dikabari berita duka tersebut justru ia malah
bertanya bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
dikatakan kepadanya, “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
baik-baik saja seperti yang engkau harapkan.” Dia menjawab, “Biarkan aku
melihatnya.” Tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia
mengatakan, “Sungguh semua musibah terasa ringan wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kecuali bila hal itu menimpamu.” (Sirah Nabawiyyah Libni
Hisyam, 2:99).
Seorang
sahabat mulia yang keluarganya adalah Quraisy, ia ditangkap oleh Quraisy untuk
dibunuh, maka berkata Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Zaid, semoga Allah
menguatkanmu, apakah engkau senang bila Muhammad menggantikan posisimu sekarang
untuk dipenggal kepalanya sedang engkau duduk manis bersama keluargamu..?!!
Maka spontan Zaid menjawab, “Demi Allah, sungguh tidakkah aku senang bila
Muhammad sekarang tertusuk duri di tempatnya, sedang aku bersenang-senang
bersama keluargaku.” Abu Sufyan pun mengatakan, “Saya tidak melihat seorang pun
yang kecintaannya melebihi kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad.”
(Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 3:160).
Abu Thalhah
radhiallahu’anhu pada waktu Perang Uhud, beliau membabi buta melemparkan
panah-panah ke arah musuh hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat ada sedikit rasa iba kepada musuh. Maka Abu Thalhah radhiallahu’anhu,
“Demi bapak dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah, jangan engkau
merasa iba dengan mereka, karena panah-panah mereka telah melukai dan
menusukmu, sesungguhnya leherku jadi tameng lehermu.” (HR. Bukhari, no.3600 dan
Muslim, no.1811).
HUKUM
MENCELA SAHABAT
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ
اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ
لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di
dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS.
al-Ahzab: 57).
Orang-orang
yang menyakiti para sahabat berarti mereka telah menyakiti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan siapa saja yang menyakiti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti telah menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan siapa pun yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang
yang melakukan perbuatan dosa yang paling besar bahkan bisa mengeluarkan
pelakunya dari Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan
kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian
menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai 1 mud mereka atau
setengahnya.” (HR. Bukhari, no.3470 dan Muslim, no.2540).
Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barang
siapa mencela sahabatku, atasnya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para
malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabi, 12:142
dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadis Ash-Shahihah, no.2340).
Masih
banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan kemuliaan para sahabat dan haramnya
mencela apalagi mencaci para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan kewajiban kita adalah memuliakan mereka karena mereka telah memuliakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah manhaj (metode) yang ditempuh
oleh ahlus sunnah wal jama’ah. Siapa saja yang menyimpang dari metode ini
berarti mereka adalah orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar.
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Termasuk hujjah (argumentasi) yang jelas adalah
menyebut kebaikan-kebaikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam seluruhnya, dan menahan lisan dari membicarakan keburukan mereka dan
perselisihan yang terjadi di antara mereka. Siapa saja yang mencela para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah satu di antara mereka,
mencacat dan mencela mereka, membongkar aib mereka atau salah satu dari mereka
maka dia adalah mubtadi (bukanlah ahlussunnah), rafidhi (Syi’ah) yang
berpemikiran menyimpang. Mencintai para sahabat adalah sunah, mendoakan
kebaikan untuk mereka adalah amalan ketaatan, meneladani mereka adalah
perantara (ridha-Nya), mengikuti jejak mereka adalah kemuliaan. Para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, tidak
dibenarkan bagi seorang pun menyebut-menyebut kejelekan mereka, tidak pula
mencacat atau mencela dan membicarakan aib salah satu di antara mereka.”
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 01
Tahun ke-10 1431/2010
0 komentar:
Posting Komentar