Muharram
Asal Penamaan
Nama Muharram berasal dari kata: haram yang artinya suci
atau terlarang. Dinamakan Muharram, karena bulan ini termasuk salah satu bulan
suci.
Keutamaan Bulan Muharram
1. Termasuk empat bulan haram (suci)
Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At Taubah: 36)
Keterangan:
a. Yang
dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga
bulan ini berurutan) dan Rajab.
b. Disebut
bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat arab, sejak zaman jahiliyah
sampai zaman islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.
c. Az Zuhri
mengatakan:
كان المسلمون يعظمون الأشهر
الحرم
“Dulu para
sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 17301)
Dari Abu
Bakrah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ
وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya
zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan
berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku
Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
2.
Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان شهر
الله المحرم
“Sebaik-baik
puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR.
Muslim)
Keterangan:
a. Imam An
Nawawi mengatakan: Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang
paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah. (Syarah Shahih Muslim, 8/55)
b. As
Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tidak
mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami.
Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman
jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan
nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini
dengan Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya
(Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3/252)
c. Bulan
ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر
الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat
terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, hal. 34). karena itu, tidak boleh
ada sedikitpun riak dan konflik di bulan ini.
3. Ada satu
hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari
Asyura’.
Orang
yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa
bersama bani israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibn Abbas
radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ
عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ
، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ »
. فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang
yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya: “Hari apa ini?” mereka
menjawab: Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani israil dari
musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada
Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami (kaum
muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk
puasa. (HR. Al Bukhari)
4. Para
ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia
setelah Ramadlan
Hasan Al
Bashri mengatakan:
إن الله افتتح السنة بشهر
حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم
وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه
Allah
membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun
dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan
Ramadlan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan
ini dinamakan Syahrullah al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat
mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, hal. 34)
Hadis Dlaif
Seputar Muharram
Hadis:
Siapa yang berpuasa sembilan hari pertama bulan Muharram maka Allah akan
bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki empat pintu, tiap pintu
jaraknya satu mil. (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al
Maudlu’at, 2/199, dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
Hadis:
Siapa yang berpuasa hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan
Muharram, berarti dia telah mengakhiri penghujung tahun dan mengawali tahun
baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini sebagai kaffarah selama lima
tahun. (Hadis dusta, karena di sanadnya ada dua pendusta, sebagaimana
keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
Hadis:
Sesungguhnya Allah mewajibkan bani israil berpuasa sehari dalam setahun, yaitu
hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram. Karena puasalah kalian di
bulan Muharram dan berilah kelonggaran (makan enak dan pakaian baru) untuk
keluarga kalian. Karena inilah hari di mana Allah menerima taubat Adam ‘alaihis
salam… (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 46)
Hadis:
Siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram maka untuk satu hari puasa dia
mendapat pahala puasa tiga puluh hari. (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al
Albani dalam Silsilah Hadis Dlaif, no. 412)
Hadis:
Bulan yang paling mulia adalah Al Muharram (Hadis dlaif, sebagaimana keterangan
Al Albani dalam Dlaif Al Jami’ As Shagir, no. 1805)
Hadis:
Pemimpin umat manusia : Adam, pemimpin bangsa arab : Muhammad, pemimpin bangsa
romawi : Shuhaib Ar Rumi, pemimpin bangsa persia : Salman Al Farisi, pemimpin
bangsa Habasyah : Bilal bin Rabah, pemimpin gunung : gunung Sina, pemimpin
pohon : bidara, pemimpin bulan : Muharram, pemimpin hari : hari jum’at….(Hadis
palsu, sebagaimana keterangan Al Albani Dlaif Al Jami’ As Shaghir, no. 7069)
Amalan
sunnah di bulan Muharram
1.
Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر
الله المحرم
“Sebaik-baik
puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR.
Muslim)
Dari Ibn
Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
ما رأيت النبي صلى الله عليه
وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر –
يعني شهر رمضان
“Saya tidak
pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa
yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’,
dan puasa bulan Ramadlan.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
2. Puasa
Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu
Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كان يوم عاشوراء تعده اليهود
عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».
Dulu hari
Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu
Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال
كفارة سنة
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau
menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR.
Muslim & Ahmad)
Dari Ibn
Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا
يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ « أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا
».
Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi
berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang
melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para
sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi),
karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)
Keterangan:
Puasa
Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari
Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
أرسل النبي صلى الله عليه
وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح
صائماً فليصم )) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن،
فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Suatu
ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus
seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan
pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai
maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.”
Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak
anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang
menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai
datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari & Muslim)
Setelah
Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah
radliallahu ‘anha mengatakan:
كان يوم عاشوراء تصومه قريش
في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء
، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه
Dulu hari
Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn
puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan
puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’
boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al
Bukhari & Muslim)
3. Puasa
Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn
Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حين صام رسول الله صلى الله
عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود
والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء
الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله
صلى الله عليه وسلم
Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para
sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan
berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)
Adakah
anjuran puasa tanggal 11 Muharram?
Sebagian
ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah
puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا
فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah
hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).
Hadis ini
dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang
diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah
sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya”.
Dengan
menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”)
sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ
(yang artinya “atau”).
Al-Hafidz
Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini
diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi
Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini
memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah,
hadis no. 2225)
Demikian
keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.
Sementara
itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena
hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib
Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan
puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai
bentuk kehati-hatian.
Imam Ahmad
mengatakan:
Jika awal
bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan
11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu
agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174.
Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).
Disamping
itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam
cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan
Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa
setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Ibnul Qoyim
menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
a. Tingkatan
paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan
sehari setelahnya.
b.
Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan
banyak hadis.
c.
Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul
Ma’ad, 2/72)
Bolehkah
puasa tanggal 10 saja?
Sebagian
ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallamberencana untuk puasa tanggal 9, di tahun
berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan
pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.
Sementara
itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak
makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam
majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah
puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh
untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang
yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.
Beliau
menjawab:
Makruhnya
puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama.
Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10
saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.
Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang
lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal
sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram…..
Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak
makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya
atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)
Bid’ah –
Bid’ah di Bulan Muharram
Ada banyak
bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan Muharram. Baik dalam masalah
aqidah dan keyakinan maupun amal harian. Berikut beberapa amal bid’ah di
sekitar kita, terkait bulan Muharram:
Pertama,
keyakinan bulan Muharram adalah bulan sial
Dalam
bahasa jawa, bulan Muharram sering disebut dengan bulan Syura. Sebagian
masyarakat jawa berkeyakinan bahwa bulan syura adalah bulan sial. Mereka
dihimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apapun ketika bulan syura. Siapa yang
berani mengadakan kegiatan di bulan syura, awas, itu alamat ciloko.
Pada
hakekatnya keyakinan ini adalah keyakinan syirik. Karena berkeyakinan sial
terhadap sesuatu tanpa dalil termasuk thiyarah. Dan thiyarah adalah perbuatan
kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطيرة شرك الطيرة شرك
“Thiyaroh
itu syirik, Thiyaroh itu syirik…” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, dan dishaihkan Al
Albani).
Kita tidak
membahas lebih detail masalah ini, mengingat sudah sangat banyak tulisan yang
mengupas masalah thiyaroh.
Kedua,
Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram
Hari
Asyura’, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin. Bagi orang yang
memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan keluarga
beliau. Di hari Asyura’ Allah memuliakan Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan
syahadah. Beliau dibantai di tanah Karbala’ oleh para penghianat dari irak.
Kita anggap ini adalah musibah.
Namun perlu
diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu, munculnya sikap ekstrim
sebagian kaum muslimin karena motivasi mengkultuskan Husain. Mereka menjadikan
hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.
Pada
sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua cahaya
dimatikan, manusia pada keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan:
wahai Husain,.wahai Husain…bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang
menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang. Sebagai bentuk bela sungkawa yang
mendalam atas kematian Husain. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhutbah
menyampaikan kebaikan-kebaikan Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka
mencela Abu Bakr As Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan.
Merekalah
gerombolan syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang membangun agama dan
keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka syi’ah. Manusia yang
beraqidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan mereka.
Ketiga,
Bergembira di hari Asyura’
Kebalikan
dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini menjadikan hari Asyura’ sebagai hari
raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang yang memproklamirkan menjadi
musuh syiah rafidhah. Mereka adalah kelompok khawarij dan kelompok menyimpang
dari bani umayah. Mereka memiliki prinsip mengambil sikap yang bertolak
belakang dengan syi’ah.
Syaikhul
Islam Ibn taimiyah mengatakan,
“Dulu di
Kufah terdapat kelompok syiah, yang mengkultuskan husain. Pemimpin mereka
adalah al-Mukhtar bin Ubaid ats-Tsaqafi al-Kadzab (Sang pendusta). Ada juga
kelompok an-Nashibah (penentang), yang membenci Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya. Salah satu pemuka kelompok an-nashibah adalah al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi. Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa beliau bersabda,
سيكون في ثقيف كذاب ومبير
“Akan ada
seorang pendusta dan seorang perusak dari bani Tsaqif” (HR. Muslim)
Si pendusta
adalah al-Mukhtar bin Ubaid – gembong syiah – sedangkan si perusak adalah
al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Orang syiah menampakkan kesedihan di hari
asyura, sementara orang khawarij menampakkan kegembiraan. Bid’ah gembira
berasal dari manusia pengekor kebatilan karena benci Husain radliallahu ‘anhu,
sementara bid’ah gembira berasal dari pengekor kebatilan karena cinta Husain.
Dan semuanya adalah bid’ah yang sesat. Tidak ada satupun ulama besar empat
madzhab yang menganjurkan untuk mengikuti salah satunya. Demikian pula tidak
ada dalil syar’i yang menganjurkan melakukan hal tersebut. (Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyah, 4/555)
Dan
demikianlah kebiasaan ahli bid’ah. Mereka memiliki prinsip ekstrim kanan atau
ekstrim kiri. Orang syi’ah menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung
sedunia. Meratapi kematian Husain, menurut anggapan mereka. Di sisi yang
berlawanan, orang khawarij dan kelompok menyimpang di kalangan bani Umayah
justru menjadikan hari tersebut sebagai hari kebahagiaan, sebagaimana layaknya
hari raya. Karena mereka berprinsip untuk tampil ‘beda’ dengan rivalnya
(syiah).
Sementara
sikap ahlus sunnah adalah pertengahan, sebagaimana sifat umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah puji dalam firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
“Demikianlah
kami jadikan kalian umat pilihan pertengahan agar kalian menjadi saksi untuk
seluruh umat manusia (pada hari kiamat), dan Rasulullah akan menjadi saksi bagi
kalian (bahwa dia telah menyampaikan risalah kepada kalian). (QS. Al-Baqarah:
143)
Keempat,
anjuran menyantuni anak yatim di hari Asyura
Terdapat
sebuah hadis dalam kitab Tanbihul Ghafilin,
من مسح يده على رأس يتيم يوم
عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Siapa yang
mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10
Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut
yang diusap satu derajat.”
Hadis ini
menjadi motivator utama masyarakat untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura.
Sehingga banyak tersebar di masyarakat anjuran untuk menyantuni anak yatim di
hari Asyura. Bahkan sampai menjadikan hari Asyura ini sebagai hari istimewa
untuk anak yatim.
Namun
sayangnya, ternyata hadis di atas statusnya adalah hadis palsu. Dalam jalur
sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama: Habib bin Abi Habib, Abu
Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi ini matruk (ditinggalkan).
Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para ulama kibar dalam hadis tentang
Habib bin Abi Habib:
a. Imam
Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady
mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz
Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).
Karena itu,
para ulama menyimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Abu Hatim mengatakan:
“Ini adalah hadis batil, tidak ada asalnya.” (al-Maudhu’at, 2/203)
Keterangan
di atas sama sekali bukan karena mengaingkari keutamaan menyantuni anak yatim.
Bukan karena melarang Anda untuk bersikap baik kepada anak yatim. Sama sekali
bukan.
Tidak kita pungkiri
bahwa menyantuni anak yatim adalah satu amal yang mulia. Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan dalam sebuah hadis,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ
كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ
بَيْنَهُمَا قَلِيلاً
“Saya dan
orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga.”
Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau
memisahkannya sedikit. (HR. Bukhari no. 5304)
Dalam hadis
shahih ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan keutamaan
menyantuni anak yatim secara umum, tanpa beliau sebutkan waktu khusus. Artinya,
keutamaan menyantuni anak yatim berlaku kapan saja. Sementara kita tidak boleh
meyakini adanya waktu khusus untuk ibadah tertentu tanpa dalil yang shahih.
Dalam
masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ‘batasan tata cara ibadah’
yang penting untuk kita ketahui,
كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع
بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم
هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو
بدعة
“Semua
bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat berdasarkan dalil
umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak ini dengan waktu,
tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana akan muncul sangkaan bahwa
batasan ini merupakan bagian ajaran syariat, sementara dalil umum tidak
menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id
Ma’rifatil Bida’, hal. 52)
Karena
pahala dan keutamaan amal adalah rahasia Allah, yang hanya mungkin kita ketahui
berdasarkan dalil yang shahih.
Allahu
a’lam…
***
muslimah.or.id
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
0 komentar:
Posting Komentar