Amalan Puasa Asyura
Alhamdulillah, saat ini kita telah berada di bulan
Muharram. Mungkin masih banyak yang belum tahu amalan apa saja yang dianjurkan
di bulan ini, terutama mengenai amalan puasa, seperti amalan puasa asyura.
Insya Allah kita akan membahasnya pada tulisan kali ini. Semoga bermanfaat.
Dianjurkan Banyak Berpuasa di Bulan Muharram
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita
untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang
paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram.
Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.”[1]
An Nawawi
-rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik
bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[2]
Lalu
mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan
Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh An
Nawawi.
Pertama:
Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan
banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
Kedua:
Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti
bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan
Muharram.[3]
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram
(Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram
(syahrullah).”[4]
Sesuai
penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:
Puasa
sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan
Muharram.
Puasa
sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Ini
bukan dinamakan puasa sunnah muthlaq. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari
di bulan Syawal.[5]
Di antara
sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram
adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al
Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram.[6] Bulan haram
adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.
Puasa yang
Utama di Bulan Muharram adalah Puasa ‘Asyura
Dari hari-hari
yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa
pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram[7]. Berpuasa pada hari
tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy
berkata,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ
عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ
الْمَاضِيَةَ
“Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau
menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang
akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau
menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[8]
An Nawawi
–rahimahullah– mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan puasa
‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, -pen) adalah
sunnah dan bukan wajib.”[9]
Sejarah
Pelaksanaan Puasa ‘Asyura[10]
Tahapan
pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura di
Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.
Dari
’Aisyah -radhiyallahu ’anha-, beliau berkata,
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ
شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
”Di zaman
jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di
Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk
melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan
puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan
berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).”[11]
Tahapan
kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlul
Kitab melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun
ikut berpuasa ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para
sahabat untuk ikut berpuasa. Melakukan puasa ‘Asyura ketika itu semakin
ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil
untuk turut berpuasa.
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا
الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى
اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ
مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Ketika
tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang
Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang
Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari
di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan
kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur,
maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama
mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.”[12]
Apakah ini
berarti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam meniru-niru (tasyabbuh dengan)
Yahudi?
An Nawawi
–rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa melakukan
puasa ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy.
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang
Yahudi melakukan puasa ‘Asyura, lalu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun
ikut melakukannya. Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita
mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan
semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu
a’lam.”[13]
Para ulama
berselisih pendapat apakah puasa ‘Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadhan
dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:
Pendapat
pertama: Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, pada masa tahapan kedua, puasa
‘Asyura dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan
Abu Bakr Al Atsrom.
Pendapat
kedua: Pada masa tahapan kedua ini, puasa ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini
adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali.[14]
Namun yang
jelas setelah datang puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan
dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana
disebutkan oleh An Nawawi -rahimahullah-.[15]
Tahapan
ketiga: Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura dan tidak terlalu
menekankannya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang
ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha dalam hadits yang telah
lewat dan dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallahu
’anhuma- mengatakan,
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ
كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا
افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ
عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ
تَرَكَهُ.
“Sesungguhnya
orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ’Asyura. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum
diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala
Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan:
Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa
yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga
silakan.”[16]
Ibnu Rajab -rahimahullah-
mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan lagi untuk melakukan puasa
‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Akan tetapi, beliau meninggalkan
hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Jika puasa
‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dikatakan wajib, maka selanjutnya
apakah jika hukum wajib di sini dihapus (dinaskh) akan beralih menjadi mustahab
(disunnahkan)? Hal ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Begitu pula
jika hukum puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah sunnah
muakkad, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum puasa Asyura beralih
menjadi sunnah saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad
mengatakan, “Kami masih tetap melakukannya.”[17]
Intinya,
puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan masih tetap dianjurkan
(disunnahkan).
Tahapan
keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa
Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya.
Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul
Kitab.
Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai
Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.”
Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Apabila
tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula
pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.”[18]
Menambahkan
Puasa 9 Muharram
Sebagaimana
dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari
kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu
meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan puasa pada hari itu.
Lalu
bagaimana hukum menambahkan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami
sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.
Imam Asy
Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa
dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus;
karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan
berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An
Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada
hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang
Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas
juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini
untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10
Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar
tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu
a’lam.[19]
Ibnu Rojab
mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam
Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh
saja.”[20]
Intinya,
kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10
Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
Tingkatan
yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
Tingkatan
di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[21]
Puasa 9,
10, dan 11 Muharram
Sebagian
ulama berpendapat tentang dianjurkannya berpuasa pada hari ke-9, 10, dan 11
Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan puasa Asy
Syura[22]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
“Puasalah
pada hari ’Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari
sebelumnya atau hari sesudahnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al
Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if
(lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya
Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin
’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata,
”Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak
bisa dijadikan hujjah (dalil).
Namun,
terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil
Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas.
Beliau radhiyallahu ’anhuma berkata,
خَالِفُوْا اليَهُوْدَ
وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالعَاشِرَ
“Selisilah
Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini
adalah shohih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai
perkataan sahabat). [23]
Catatan:
Jika ragu dalam penentuan awal Muharram, maka boleh ditambahkan dengan berpuasa
pada tanggal 11 Muharram.
Imam Ahmad
-rahimahullah- mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan awal Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari
(hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen) untuk kehati-hatian.”[24]
Sebagai
Motivasi
Semoga kita
terdorong untuk melakukan puasa Asyura. Cukup ayat ini sebagai renungan. Allah
Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا
بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada
mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah
kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al Haqqah: 24)
Mujahid dan
selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa. Barangsiapa
meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi
ganti dengan makanan dan minuman yang lebih baik, serta akan mendapat ganti
dengan pasangan di akhirat yang kekal (tidak mati).”[25] Inilah balasan untuk
orang yang gemar berpuasa.
Semoga
Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang
memberi taufik.
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar