Kamis, 07 Januari 2021

Tuntutlah ilmu dengan mendatangi majelis ‘ilmu

Tuntutlah ilmu dengan mendatangi majelis ‘ilmu

 

Hukum Menuntut Ilmu Syar’i

Råsulullåh bersabda:

 

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 

“Menuntut ilmu itu WAJIB atas setiap Muslim.”

(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum; sumber)

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang (tauhid), shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.

[Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr; sumber]

Keutamaan Menuntut ilmu DENGAN MENDATANGI MAJELIS ILMU

1. Pahala besar bagi mereka yang mendatangi masjid untuk menuntut ilmu

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 

من غدا إلى مسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه ، كان له كأجر حاج ، تاما حجته

 

Barangsiapa yang pergi ke masjid, tidaklah diinginkannya (untuk pergi ke masjid) kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan. Maka baginya pahala seperti orang yang melakukan haji dengan sempurna.

(Dikatakan syekh al Albaaniy dalam shahiih at targhiib: “Hasan Shahiih”)

2. Dimudahkan jalan menuju surga

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

 

Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga.

(Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid); sumber)

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:

Pertama, Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

Kedua, Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna.

Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.

Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam. (sumber)

3. Diampuni dosanya oleh Allah

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 

مَا جَلَسَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فَيَقُوْمُوْنَ حَتَّى يُقَالُ لَهُمْ: قُوْمُوْا قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَبُـدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ

 

“Tidaklah duduk suatu kaum, kemudian mereka berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam duduknya hingga mereka berdiri, melainkan dikatakan (oleh malaikat) kepada mereka: Berdirilah kalian, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian dan keburukan-keburukan kalian pun telah diganti dengan berbagai kebaikan.”

(Tsabit; HR. ath-Thabrani; terdapat dalam Shahiihul Jami’)

4. Diampuni Allaah, serta diijabahkan doa-doa orang-orang yang ada dalam majelis tersebut

dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

 

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ

 

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka mereka pun naik menuju ke atas langit.”

Nabi berkata,

 

قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ

 

“Maka Allah ‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka padahal Dia adalah yang Maha Mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’.

 

فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ

 

Para malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi. Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’

 

قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي

 

Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’.

 

قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ

 

Para malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’

 

قَالَ وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي

 

Allah bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’.

 

قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ

 

Mereka menjawab, ‘Belum wahai Rabbku.’

 

قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي

 

Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat surga-Ku?’.

 

قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ

 

Para malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’

 

قَالَ وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي

 

Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’.

 

قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ

 

Mereka menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’.

 

قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي

 

Maka Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’.

 

قَالُوا لَا

 

Mereka menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’

 

قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي

 

Lalu Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’

 

قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ

 

Mereka mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’

 

قَالَ فَيَقُولُ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا

 

Maka Allah mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk berlindung darinya.’.”

 

قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ

 

Nabi bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya lewat kemudian duduk bersama mereka.’.”

 

قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ

 

Nabi mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni. Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan binasa.’.”

[HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689, lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam); sumber: http://abumushlih.com/keutamaan-majelis-dzikir.html/%5D

5. Diridhai oleh malaikat

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

 

“Sunnguh Para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu”

[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid); Sumber: sumber]

6. Dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hinga ikan yang ada didasar laut

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ

 

Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut.

[idem]

7. Dengan menuntut ilmu, kita bisa meraih keutamaan seorang alim

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

 

Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang.

[idem]

8. Ilmu merupakan warisan dari nabi, para penuntut ilmu adalah pencari warisan nabi.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

 

Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.

[idem]

Tercelanya orang-orang yang MENINGGALKAN atau MALAS menghadiri majelis ilmu

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 

لَا يُوشِكُ رَجُلٌ يَنْثَنِي شَبْعَانًا عَلَى أَرِيكَتِهِ

 

“Kiranya tak akan lama lagi ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang di tempat duduknya…”

(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya); Abu Dawud, Ibnu Abdil Barr, al-Khatib al-Baghdadiy, Ibnu Nashr al-Mawarziy, al-Ajurriy, al-Baihaqiy; dari jalur Hariz bin ‘Utsman; juga jalur ‘Abdullah bin Abi Auf; dan dari jalur al-Miqdam; Dishahihkan syaikh salim bin ‘ied al-Hilaliy)

Al-Imam Al-Baghawi menyatakan:

“Yang dimaksud dengan sifat ini (laki-laki besar perutnya yang bersandar di kursi sofa) adalah orang-orang yang bergaya hidup mewah dan angkuh yang hanya berdiam di rumah dan TIDAK MAU MENUNTUT ILMU AGAMA…”

(Syarhus Sunnah: 1/201; sumber petikan)

Ulama salaf terdahulu melarang orang yang hanya berguru kepada buku untuk mengajar dan berfatwa, sebagaimana mereka melarang belajar al qur’an dari orang yang tidak pernah talaqqi

dari Al ‘Auza’i ia berkata:

 

مَا زَالَ هَذَا الْعِلْمُ عَزِيزًا تَتَلَاقَاهُ الرِّجَالُ حَتَّى وَقَعَ فِي الصُّحُفِ فَحَمَلَهُ أَوْ دَخَلَ فِيهِ غَيْرُ أَهْلِهِ

 

“Ilmu ini senantiasa mulia, yang senantiasa digali oleh manusia secara langsung (talaqqi); hingga (kemudian, ilmu pun) ditulis dalam lembaran-lembaran, lalu ia (pun) membawanya kepada seseorang yang bukan ahlinya, (hingga  orang itu pun) ikut campur tangan”.

(ad-Darimiy)

Abu Zur’ah berkata :

“Shåhafi (yang hanya berguru kepada buku) tidak boleh berfatwa…”.

(Al Faqih wal mutafaqqih 2/97).

Imam Asy Syafi’I berkata :

“Barang siapa yang bertafaqquh dari perut buku ia akan menyia siakan hukum “.

(tadzkirotussaami’ wal mutakallim hal 87).

Seorang penya’ir berkata :

Siapa yang mengambil ilmu dari mulut guru

Ia akan terhindar dari penyimpangan dan perubahan.

Dan siapa yang mengambil ilmu hanya dari buku

Maka ilmunya disisi para ulama seperti tidak ada.

Dalam kitab wafayatul a’yan (3/310) Al Hafidz ibnu ‘Asakir rahimahullah bersya’ir :

Jadilah engkau orang yang mempunyai semangat

Dan jangan bosan mengambil ilmu dari para ulama

Jangan engkau mengambilnya sebatas dari buku

Niscaya engkau akan terkena tashif dengan penyakit yang berat

Nasehat dari para ulama untuk menuntut ilmu dan mendatangi majelis ilmu para ulama

Fatwa Syaikh Yahya an-Najmi

Ilmu itu diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya.

Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama : adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya.

Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql

Salah satu gejala yang berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana ilmu (seperti buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup mengambil ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri dari ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap Islam yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari ulama, ia berkata : ‘Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan lain-lain’. Kemudian ia bekata lagi : ‘Saya mampu belajar melalui sarana-sarana ini!’.

Jawaban kami :

‘Tentu saja, sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata dua. Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar’i melalui sarana-sarana itu merupakan kekeliruan dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal itu akan mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan memunculkan sosok ahli ilmu yang tidak baik, karena mereka mengambil ilmu tidak sebagaimana mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan alim ulama.

Mereka mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan dan perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya”

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari; almanhaj.or.id]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Beliau ditanya

bolehkah belajar ilmu dari kitab-kitab saja tanpa belajar kepada ulama, khususnya jika ia kesulitan belajar kepada ulama karena jarangnya mereka? Bagaimana pendapat Anda tentang ucapan yang menyatakan: barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya?

Beliau menjawab:

Tidak diragukan lagi bahwa ilmu bisa diperoleh dengan mempelajarinya dari para ulama dan dari kitab. Karena, kitab seorang ulama adalah ulama itu sendiri, dia berbicara kepadamu tentang isi kitab itu. Jika tidak memungkinkan menuntut ilmu dari ahli ilmu maka ia boleh mencari ilmu dari kitab.

Akan tetapi memperoleh ilmu melalui ulama lebih dekat (mudah) daripada memperoleh ilmu melalui kitab, karena orang yang memperoleh ilmu melalui kitab akan banyak menemui kesulitan dan membutuhkan kesungguhan yang besar, dan akan banyak perkara yang akan dia fahami secara samar sebagaimana terdapat dalam kaidah syar’iyyah dan batasan yang ditetapkan oleh para ulama. Maka dia harus mempunyai tempat rujukan dari kalangan ahli ilmu semampu mungkin.

Adapun perkataan yang menyatakan:

‘barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya.’

Perkataan ini tidak benar secara mutlak, tetapi juga tidak salah secara mutlak. Jika seseorang mengambil ilmu dari semua kitab yang dia lihat, maka tidak ragu lagi bahwa dia akan banyak salah. Adapun orang yang mempelajarinya bersandar kepada kitab orang-orang yang telah dikenal ketsiqahannya, amanahnya, dan ilmunya, maka dalam hal ini dia tidak akan banyak salah bahkan dia akan banyak benarnya dalam perkataannya.

[Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

Fatwa Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiy

Pertanyaan :

Tentang perkataan al-Imam Malik “ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi” ketika khalifah Harun ar-Rasyid memintanya untuk mengajari Makmun, ia (al-Imam Malik, pent) berkata : “datanglah ke masjid an-Nabawi” tempat dimana al-Imam Malik mengajar. Apakah ini bertentangan dengan perkataan kita tadi bahwa seorang da’i datang kepada mad’u?

Jawaban :

Ini tidak bertentangan, dan masalah ini sebagaimana yang telah kami sebutkan pada banyak masalah bahwa ini ada perinciannya.

Pada asalnya dahulu, bahkan pada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa manusia yang berhijrah ke Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mendatanginya dan Nabi mengajari mereka. Ini adalah asalnya pada manusia.

Akan tetapi terkadang jika ada penghalang antara manusia dan hijrah hal ini tidak mencegah dari diutusnya seseorang kepada mereka yang akan mengajari mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus sebagian shahabatnya untuk mengajari manusia. Beliau mengutus Mu’adz ke Yaman dan ke Syam untuk mengajari manusia. Dan beliau juga mengutus sebagian shahabatnya untuk mengajari manusia ke Madinah sebelum hijrah.

Maka jika sebagian masalah rancu bagi kalian, kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika ilmu itu harus didatangi, kenapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim sebagian orang untuk mengajari manusia. Kemudian setelah meninggalnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, banyak shahabat keluar dari Madinah untuk mengajari manusia dan untuk memahamkan mereka. Maka masalah ini punya perincian.

Pada asalnya para penuntut ilmu merekalah yang mendatangi para ‘ulama, karena para ‘ulama tidak mungkin datang ke setiap tempat, (para penuntut ilmu) belajar dan menuntut ilmu pada mereka.

Akan tetapi jika ada penghalang antara sebagian penuntut ilmu dan sebagian manusia dari hijrah dan datang kepada para ‘ulama maka tidaklah dilarang bagi seorang ‘ulama untuk mempertimbangkan dan datang kepada mereka untuk mengajari mereka. Maka yang ini termasuk Sunnah dan yang itu termasuk Sunnah.

Dan aku selalu memperingatkan dari mengambil perkataan sebagian Salaf dan tidak memperhatikan perkataan lainnya yang bertentangan dengannya, dan membuat hukumnya umum.

Jadi perkataan ini, ini benar, dan ini adalah pada asalnya, oleh karena itu perhatikanlah! Manusia berhijrah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan : “Tidaklah kami mengajarkan ilmu kepada manusia yang didatangi kepada mereka dan kita tidak mengutus seorangpun”? Tidak.

Maka bagi orang yang mampu datang, belajar dan bertafaqquh. Dan barangsiapa yang antaranya dengan hijrah terhalang dengan suatu urusan seperti kelemahan dan yang lainnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus kepada mereka orang yang mengajari mereka.

Jika rancu sebagian perkara maka kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga jelaslah perkara. Dan kami selalu tidak menganggap ditaqrirnya sesuatu dari agama ini kecuali dengan dalilnya. Maka ini adalah dalil yang jelas dan nyata bahwa ditempuh cara yang ini dan yang itu.

Asalnya bagi para ‘ulama adalah mereka didatangi, akan tetapi jika ada penghalang antara sebagian manusia untuk datang kepada para ‘ulama, maka para ‘ulama (hendaknya) mempertimbangkan untuk pergi ke sebagian tempat untuk mengajari manusia (yang tidak ada, atau sangat jarang ahli ilmu-nya, -ed). Na’am.

https://abuzuhriy.wordpress.com

 


0 komentar:

Posting Komentar