Tuntutlah ilmu
dengan mendatangi majelis ‘ilmu
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Råsulullåh bersabda:
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut
ilmu itu WAJIB atas setiap Muslim.”
(Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh
Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu
‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu
‘anhum; sumber)
Imam
al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut
ilmu tentang (tauhid), shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam
riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti
menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd
(qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang
bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat
mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin
semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup
mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan
kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah,
menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan
tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
[Lihat
Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum
menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi
(I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr; sumber]
Keutamaan
Menuntut ilmu DENGAN MENDATANGI MAJELIS ILMU
1. Pahala
besar bagi mereka yang mendatangi masjid untuk menuntut ilmu
Rasuulullaah
shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
من غدا إلى مسجد لا يريد إلا
أن يتعلم خيرا أو يعلمه ، كان له كأجر حاج ، تاما حجته
Barangsiapa
yang pergi ke masjid, tidaklah diinginkannya (untuk pergi ke masjid) kecuali
untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan. Maka baginya pahala
seperti orang yang melakukan haji dengan sempurna.
(Dikatakan
syekh al Albaaniy dalam shahiih at targhiib: “Hasan Shahiih”)
2.
Dimudahkan jalan menuju surga
Råsulullåh
shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barangsiapa
yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya
jalan menuju Surga.
(Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud
(no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no.
78-Mawaarid); sumber)
Di dalam
hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang
berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan
baginya menuju Surga.
“Berjalan
menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama,
Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju
majelis-majelis para ulama.
Kedua,
Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu
seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab
(para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari).
Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu
syar’i.
“Allah akan
memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna.
Pertama,
Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang
tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat
dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.
Kedua,
Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati
“shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan
sesudahnya. Wallaahu a’lam. (sumber)
3. Diampuni
dosanya oleh Allah
Rasuulullaah
shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا جَلَسَ قَوْمٌ
يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فَيَقُوْمُوْنَ حَتَّى يُقَالُ لَهُمْ: قُوْمُوْا
قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَبُـدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
“Tidaklah
duduk suatu kaum, kemudian mereka berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam
duduknya hingga mereka berdiri, melainkan dikatakan (oleh malaikat) kepada
mereka: Berdirilah kalian, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian
dan keburukan-keburukan kalian pun telah diganti dengan berbagai kebaikan.”
(Tsabit;
HR. ath-Thabrani; terdapat dalam Shahiihul Jami’)
4. Diampuni
Allaah, serta diijabahkan doa-doa orang-orang yang ada dalam majelis tersebut
dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ
فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ
بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ
الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ
“Sesungguhnya
Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa
berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka
menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk
bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan
sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu
dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka
mereka pun naik menuju ke atas langit.”
Nabi
berkata,
قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ
“Maka Allah
‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka padahal Dia adalah yang Maha
Mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’.
فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ
عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ
وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ
Para
malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi.
Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan
tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’
قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي
Lalu Allah
bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’.
قَالُوا يَسْأَلُونَكَ
جَنَّتَكَ
Para
malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’
قَالَ وَهَلْ رَأَوْا
جَنَّتِي
Allah
bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’.
قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ
Mereka menjawab,
‘Belum wahai Rabbku.’
قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا
جَنَّتِي
Allah
mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat
surga-Ku?’.
قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ
Para
malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’
قَالَ وَمِمَّ
يَسْتَجِيرُونَنِي
Allah
bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’.
قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا
رَبِّ
Mereka
menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’.
قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي
Maka Allah bertanya,
‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’.
قَالُوا لَا
Mereka
menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’
قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا
نَارِي
Lalu Allah
mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’
قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ
Mereka
mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’
قَالَ فَيَقُولُ قَدْ
غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا
اسْتَجَارُوا
Maka Allah
mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa
yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk
berlindung darinya.’.”
قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ
فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ
Nabi
bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si
fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya
lewat kemudian duduk bersama mereka.’.”
قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ
غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
Nabi
mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni.
Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan
binasa.’.”
[HR. Muslim
dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689,
lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam); sumber: http://abumushlih.com/keutamaan-majelis-dzikir.html/%5D
5. Diridhai
oleh malaikat
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Sunnguh
Para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu”
[Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no.
2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid); Sumber:
sumber]
6.
Dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hinga ikan yang ada didasar laut
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْعَالِمَ
لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ
فِي جَوْفِ الْمَاءِ
Orang yang
berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada
di dasar laut.
[idem]
7. Dengan
menuntut ilmu, kita bisa meraih keutamaan seorang alim
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ
Kelebihan
serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama
atas seluruh bintang.
[idem]
8. Ilmu
merupakan warisan dari nabi, para penuntut ilmu adalah pencari warisan nabi.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا
دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Para ulama
adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah
mengambil bagian yang banyak.
[idem]
Tercelanya orang-orang
yang MENINGGALKAN atau MALAS menghadiri majelis ilmu
Råsulullåh
shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لَا يُوشِكُ رَجُلٌ يَنْثَنِي
شَبْعَانًا عَلَى أَرِيكَتِهِ
“Kiranya
tak akan lama lagi ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang di
tempat duduknya…”
(HR. Ahmad
(dan ini lafazhnya); Abu Dawud, Ibnu Abdil Barr, al-Khatib al-Baghdadiy, Ibnu
Nashr al-Mawarziy, al-Ajurriy, al-Baihaqiy; dari jalur Hariz bin ‘Utsman; juga
jalur ‘Abdullah bin Abi Auf; dan dari jalur al-Miqdam; Dishahihkan syaikh salim
bin ‘ied al-Hilaliy)
Al-Imam
Al-Baghawi menyatakan:
“Yang
dimaksud dengan sifat ini (laki-laki besar perutnya yang bersandar di kursi
sofa) adalah orang-orang yang bergaya hidup mewah dan angkuh yang hanya berdiam
di rumah dan TIDAK MAU MENUNTUT ILMU AGAMA…”
(Syarhus
Sunnah: 1/201; sumber petikan)
Ulama salaf
terdahulu melarang orang yang hanya berguru kepada buku untuk mengajar dan
berfatwa, sebagaimana mereka melarang belajar al qur’an dari orang yang tidak
pernah talaqqi
dari Al
‘Auza’i ia berkata:
مَا زَالَ هَذَا الْعِلْمُ
عَزِيزًا تَتَلَاقَاهُ الرِّجَالُ حَتَّى وَقَعَ فِي الصُّحُفِ فَحَمَلَهُ أَوْ
دَخَلَ فِيهِ غَيْرُ أَهْلِهِ
“Ilmu ini
senantiasa mulia, yang senantiasa digali oleh manusia secara langsung
(talaqqi); hingga (kemudian, ilmu pun) ditulis dalam lembaran-lembaran, lalu ia
(pun) membawanya kepada seseorang yang bukan ahlinya, (hingga orang itu pun) ikut campur tangan”.
(ad-Darimiy)
Abu Zur’ah
berkata :
“Shåhafi
(yang hanya berguru kepada buku) tidak boleh berfatwa…”.
(Al Faqih
wal mutafaqqih 2/97).
Imam Asy
Syafi’I berkata :
“Barang
siapa yang bertafaqquh dari perut buku ia akan menyia siakan hukum “.
(tadzkirotussaami’
wal mutakallim hal 87).
Seorang
penya’ir berkata :
Siapa yang
mengambil ilmu dari mulut guru
Ia akan
terhindar dari penyimpangan dan perubahan.
Dan siapa
yang mengambil ilmu hanya dari buku
Maka
ilmunya disisi para ulama seperti tidak ada.
Dalam kitab
wafayatul a’yan (3/310) Al Hafidz ibnu ‘Asakir rahimahullah bersya’ir :
Jadilah
engkau orang yang mempunyai semangat
Dan jangan
bosan mengambil ilmu dari para ulama
Jangan
engkau mengambilnya sebatas dari buku
Niscaya
engkau akan terkena tashif dengan penyakit yang berat
Nasehat
dari para ulama untuk menuntut ilmu dan mendatangi majelis ilmu para ulama
Fatwa Syaikh
Yahya an-Najmi
Ilmu itu
diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam
ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama,
talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak
di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan
hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan.
Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya.
Dan lebih
dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama : adab, akhlaq, dan sifat
wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah
kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia
akan banyak salahnya sedikit benarnya.
Demikianlah,
inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu
kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.
Syaikh Dr.
Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql
Salah satu
gejala yang berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana
ilmu (seperti buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup
mengambil ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri
dari ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap
Islam yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari
ulama, ia berkata : ‘Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan
lain-lain’. Kemudian ia bekata lagi : ‘Saya mampu belajar melalui sarana-sarana
ini!’.
Jawaban kami
:
‘Tentu
saja, sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata
dua. Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar’i melalui sarana-sarana itu merupakan
kekeliruan dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal
itu akan mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan
memunculkan sosok ahli ilmu yang tidak baik, karena mereka mengambil ilmu tidak
sebagaimana mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan
alim ulama.
Mereka
mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan dan
perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka
menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai
kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia
tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia
tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya”
[Disalin
dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi
Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul
Karim Al-‘Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari;
almanhaj.or.id]
Fatwa
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Beliau
ditanya
bolehkah
belajar ilmu dari kitab-kitab saja tanpa belajar kepada ulama, khususnya jika
ia kesulitan belajar kepada ulama karena jarangnya mereka? Bagaimana pendapat
Anda tentang ucapan yang menyatakan: barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya
maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya?
Beliau
menjawab:
Tidak
diragukan lagi bahwa ilmu bisa diperoleh dengan mempelajarinya dari para ulama
dan dari kitab. Karena, kitab seorang ulama adalah ulama itu sendiri, dia
berbicara kepadamu tentang isi kitab itu. Jika tidak memungkinkan menuntut ilmu
dari ahli ilmu maka ia boleh mencari ilmu dari kitab.
Akan tetapi
memperoleh ilmu melalui ulama lebih dekat (mudah) daripada memperoleh ilmu
melalui kitab, karena orang yang memperoleh ilmu melalui kitab akan banyak
menemui kesulitan dan membutuhkan kesungguhan yang besar, dan akan banyak
perkara yang akan dia fahami secara samar sebagaimana terdapat dalam kaidah
syar’iyyah dan batasan yang ditetapkan oleh para ulama. Maka dia harus
mempunyai tempat rujukan dari kalangan ahli ilmu semampu mungkin.
Adapun
perkataan yang menyatakan:
‘barangsiapa
yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada
benarnya.’
Perkataan
ini tidak benar secara mutlak, tetapi juga tidak salah secara mutlak. Jika
seseorang mengambil ilmu dari semua kitab yang dia lihat, maka tidak ragu lagi
bahwa dia akan banyak salah. Adapun orang yang mempelajarinya bersandar kepada
kitab orang-orang yang telah dikenal ketsiqahannya, amanahnya, dan ilmunya,
maka dalam hal ini dia tidak akan banyak salah bahkan dia akan banyak benarnya
dalam perkataannya.
[Kitabul
‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
Fatwa
Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiy
Pertanyaan
:
Tentang
perkataan al-Imam Malik “ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi” ketika
khalifah Harun ar-Rasyid memintanya untuk mengajari Makmun, ia (al-Imam Malik,
pent) berkata : “datanglah ke masjid an-Nabawi” tempat dimana al-Imam Malik
mengajar. Apakah ini bertentangan dengan perkataan kita tadi bahwa seorang da’i
datang kepada mad’u?
Jawaban :
Ini tidak
bertentangan, dan masalah ini sebagaimana yang telah kami sebutkan pada banyak
masalah bahwa ini ada perinciannya.
Pada
asalnya dahulu, bahkan pada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa
manusia yang berhijrah ke Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mendatanginya dan
Nabi mengajari mereka. Ini adalah asalnya pada manusia.
Akan tetapi
terkadang jika ada penghalang antara manusia dan hijrah hal ini tidak mencegah
dari diutusnya seseorang kepada mereka yang akan mengajari mereka. Oleh karena
itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus sebagian shahabatnya untuk
mengajari manusia. Beliau mengutus Mu’adz ke Yaman dan ke Syam untuk mengajari
manusia. Dan beliau juga mengutus sebagian shahabatnya untuk mengajari manusia
ke Madinah sebelum hijrah.
Maka jika
sebagian masalah rancu bagi kalian, kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Jika ilmu itu harus didatangi, kenapa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam mengirim sebagian orang untuk mengajari manusia. Kemudian setelah
meninggalnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, banyak shahabat keluar dari
Madinah untuk mengajari manusia dan untuk memahamkan mereka. Maka masalah ini
punya perincian.
Pada
asalnya para penuntut ilmu merekalah yang mendatangi para ‘ulama, karena para
‘ulama tidak mungkin datang ke setiap tempat, (para penuntut ilmu) belajar dan
menuntut ilmu pada mereka.
Akan tetapi
jika ada penghalang antara sebagian penuntut ilmu dan sebagian manusia dari
hijrah dan datang kepada para ‘ulama maka tidaklah dilarang bagi seorang ‘ulama
untuk mempertimbangkan dan datang kepada mereka untuk mengajari mereka. Maka
yang ini termasuk Sunnah dan yang itu termasuk Sunnah.
Dan aku
selalu memperingatkan dari mengambil perkataan sebagian Salaf dan tidak
memperhatikan perkataan lainnya yang bertentangan dengannya, dan membuat
hukumnya umum.
Jadi
perkataan ini, ini benar, dan ini adalah pada asalnya, oleh karena itu
perhatikanlah! Manusia berhijrah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan
tetapi apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan : “Tidaklah kami
mengajarkan ilmu kepada manusia yang didatangi kepada mereka dan kita tidak
mengutus seorangpun”? Tidak.
Maka bagi
orang yang mampu datang, belajar dan bertafaqquh. Dan barangsiapa yang
antaranya dengan hijrah terhalang dengan suatu urusan seperti kelemahan dan
yang lainnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus kepada mereka
orang yang mengajari mereka.
Jika rancu
sebagian perkara maka kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa
sallam sehingga jelaslah perkara. Dan kami selalu tidak menganggap ditaqrirnya
sesuatu dari agama ini kecuali dengan dalilnya. Maka ini adalah dalil yang
jelas dan nyata bahwa ditempuh cara yang ini dan yang itu.
Asalnya
bagi para ‘ulama adalah mereka didatangi, akan tetapi jika ada penghalang
antara sebagian manusia untuk datang kepada para ‘ulama, maka para ‘ulama
(hendaknya) mempertimbangkan untuk pergi ke sebagian tempat untuk mengajari
manusia (yang tidak ada, atau sangat jarang ahli ilmu-nya, -ed). Na’am.
https://abuzuhriy.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar