Hak Orang Tua di Masa Hidup & Setelah Wafatnya
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Amma ba’du,
Kewajiban anak kepada orang tua pada masa hidupnya dan setelah matinya
Saudaraku, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa berbakti
kepada orang tua adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah
Ta'ala setelah kita beribadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang tua merupakan
sebab kita mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan
merupakan sifat dan amalan mulia para Nabi. Dari sini jelas bahwa orang tua
memiliki hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak sebagai bentuk
ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang
tua tidak hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup, melainkan harus terus
dilakukan setelah keduanya meninggal.
Berbakti kepada orang tua Pada masa hidupnya
Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia
Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan
baik. Hal itu tidak hanya terbatas kepada orang tua yang baik dan taat saja,
orang tua yang kafirpun –wal ‘iyadzu billah– juga berhak mendapatkan pergaulan
yang baik, karena kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri,
sedangkan ketaatan seorang anak kepada orang tuanya merupakan kewajiban
tersendiri. Allah berfirman:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ (15)
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
selama dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah tempat kembalimu dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” QS. Luqman [31]: 14-15
Dan dalam
hadits yang shahih diriwayatkan:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ
j فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ
أَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ
». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ».
قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
»
Dan
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyalllahu'anhu berkata: ”Telah datang
seseorang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, “Aku
akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka mengharapkan pahala dari
Allah”, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
“Apakah salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup?” Orang tersebut
menjawab, ”Ya masih hidup, bahkan keduanya masih hidup”. Rasulullah kemudian
bertanya, “Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?”, maka laki-laki tadi
menjawab, ”Ya, aku mengharapkan pahala”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya,
“kalau demikian maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka
dengan sebaik-baiknya.” (HR. Muslim: 2549)
Perhatikanlah
ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang tua yang
kafirpun tetap diperintahkan agar mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya
selama tidak memerintahkan kemaksiatan, apabila kita diperintah untuk berbuat
maksiat, maka pada saat itu kita tidak boleh mentaatinya. Dalam hadits
tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang
laki-laki agar berbakti kepada orang tua, padahal ketika itu ia hendak pergi
dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan dzirwatu sanamil
Islam (puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang tua harus kita
dahulukan apabila jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ‘ain.
Kedua: Mendakwahi Keduanya
Dengan
selalu mendoakan keduanya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala
daya dan upaya agar Allah memberikan
hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan memberikan hidayah
kepada manhaj yang benar.
Inilah
jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan generasi awal umat ini, mereka
bersemangat dan sangat berharap agar orang tua mereka mendapatkan hidayah dan
merasakan manisnya iman sebagaimana yang telah mereka rasakan. Mereka
mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai harapan dan tujuan yang mulia
tersebut.
Begitu
banyak kisah yang dapat kita jadikan teladan di dalam masalah ini. Oleh
karenanya, untuk melengkapi pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para
pembaca yang budiman dua contoh kisah yang mudah-mudahan kita bisa menuai
pelajaran darinya.
Kisah
pertama, adalah Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, beliau sangat
antusias menunjukkan ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan
baik, dengan beraneka ragam cara, disertai hujjah-hujjah naqli (dalil syar’i)
maupun aqli (logika), dengan tarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar
gembira).
Allah
Ta'ala telah memberitakan kepada kita tentang hal tersebut, di antaranya adalah
dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ
صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا
يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي
قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا
سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ
لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ
مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45) قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ
عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ
وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46) قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي
إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)
“Ceritakanlah
(wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya
ia adalah seorang yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang datang dari
Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai
ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
juga tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah
datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka
ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai
ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka
kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa
kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan
bagi syaitan. Ayahnya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai
Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Ibrahim
berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun
bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah
aku dalam waktu yang lama.” QS. Maryam
[19]: 41-47
Dan jika
sang anak sudah berusaha secara maksimal untuk mengajak orang tuanya ke jalan
yang benar, akan tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah
menentangnya, maka sang anak tidak tergolong durhaka kepada orang tua, selama
cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong anak yang
cinta kepada orang tuanya, karena mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat
paling agung yaitu hidayah. Oleh karena itu, hendaknya sang anak tidak putus
asa dan berhenti dalam mendakwahi orang tuanya.
Kisah
kedua, adalah sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya
yang dahulu masih dalam kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya, walaupun demikian Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan beliau sangat
semangat mendakwahinya agar mendapatkan hidayah.
Marilah
sejenak kita menyimak apa yang telah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu,
dan bagaimanakah perjuangan beliau. Beliau menceritakan, ”Aku dahulu mendakwahi
ibuku kepada Islam karena waktu itu dia masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu
hari aku mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan yang kurang baik tentang
Rasulullah, maka aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis dan aku
katakan kepada Beliau, wahai Rasulullah, aku telah mendakwahi ibuku agar masuk
Islam tapi ia enggan, bahkan berbicara
tentangmu apa yang tidak aku suka, oleh karena itu doakanlah agar Allah memberi
petunjuk kepada ibuku”. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
berdoa, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah”. Setelah
mendengar doa tersebut aku pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan,
tatkala sampai rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala aku sampai rumah dan
ibuku mendengar suara sandalku, beliau mengatakan, “berhentilah di tempatmu,
wahai Abu Hurairah”. Pada saat itu aku mendengar suara air, beliau mandi,
mengenakan pakaiannya lalu membukakan pintu untukku seraya mengucapkan “Wahai
Abu Hurairah, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa
rasuluh”.
Setelah
mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata,
“Maka aku segera kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis karena
kebahagiaan yang aku rasakan lalu kukatakan kepada Rasulullah, “Kabar gembira
wahai Rasulullah, Allah telah mengabulkan doamu dan Allah telah memberi
petunjuk kepada ibuku”, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya seraya
mengucapkan kebaikan.” (HR. Muslim: 2491)
Lihatlah
Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha beliau yang begitu gigih dan tak kenal
lelah dalam mendakwahi ibunya. Beliau menempuh berbagai cara untuk mencapai
tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan berbicara dengan baik,
melalui pendekatan yang baik, sampai pada akhirnya ketika pintu dakwah seakan
tertutup setelah mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya tentang Nabi
termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, beliaupun tidak lantas
berputus asa, justru beliau mencari cara lain dengan mendatangi Rasulullah agar
diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala karena Dialah tempat
kembali, tempat memohon dan penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan
Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
apabila beliau mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan,
akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah
radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada akhirnya pengharapan beliau terwujud
yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.
Inilah di
antara contoh praktik orang-orang mulia dalam mewujudkan birrul walidain,
maka hendaknya kita bisa meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka.” QS. al-An’am
[6]: 90
فتَشَبَّهُوْا بِاْلكِرَامِ
وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
إِنَّ التَّشَبُّهَ بِاْلكِرَامِ فَلَاحُ
Menirulah
orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa seperti mereka,
Sesungguhnya
meniru orang-orang mulia adalah sebuah keberuntungan.
Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua,
tidak mengangkat suara di hadapan keduanya walaupun sekedar ucapan uf atau ah
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ
عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
(24
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku masih kecil.” QS. al-Isra` [17]: 23-24
Dan inilah
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau apabila masuk ke suatu tempat
yang orang tuanya tinggal di dalamnya, maka beliau mengucapkan kepada ibunya,
“‘Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku”. Ibunya pun menjawab:
“Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abu Hurairah mengatakan:
“mudah-mudahan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu
aku masih kecil,” dan ibunya pun menjawab, “wahai anakku mudah-mudahan Allah memberi
balasan kebaikan kepadamu serta meridhaimu karena engkau telah berbakti
kepadaku di masa tuaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 14 dengan
sanad yang hasan)
Lihatlah
wahai saudaraku, bagaimana bakti sahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana beliau
mengungkapkan rasa syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya?
Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa sang ibu merasakan bakti
anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! Inilah hakikat
kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang tua merasakan
kebaikan, maka orang tua akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan
mendapatkan haknya.
Berbakti
kepada orang tua setelah meninggalnya
Ketika
orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup
kecuali apa-apa yang bisa memberikan manfaat kepada akhiratnya, berupa pahala
dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.
Di antara
yang dapat memberikan manfaat kepada orang tua setelah meninggalnya yang dapat
dilakukan oleh sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:
1. Amalan
shalih yang dilakukan anaknya
Seorang
anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah,
karena setiap amal shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan sampai kepada
kedua orang tua yang beriman walaupun ia tidak mengatakan, “amal ini aku hadiahkan
untuk ibu atau ayahku”, ataupun ucapan yang semisal, karena anak merupakan
bagian dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala
sang anak. Sebagaimana yang Allah firmankan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” QS. an-Najm
[53]: 39
Dan anak
merupakan bagian dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ
مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sesungguhnya
sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian, dan sesungguhnya
anak-anak kalian adalah termasuk bagian dari usaha kalian.”)HR. at-Tirmidzi:
1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat Shahih Ibnu Majah: 1854))
Dan apabila
seorang anak menjalankan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan amalan ketaatan
lainnya, maka tidak perlu sembari mengatakan, “aku berikan pahala ibadah ini
untuk kedua orang tuaku”, karena pahala ibadah tersebut akan sampai kepada
orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi
shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.
2. Doa anak
yang shalih kepada kedua orang tua dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya
Allah
berfirman:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidikku waktu kecil.” QS. al-Isra` [17]: 24
Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam
bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
”Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR.
Muslim: 1631)
3. Termasuk
berbuat baik kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan cara
memuliakan teman-temannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya
Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ
صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
”Kebaikan
yang terbaik adalah jika seseorang menyambung orang yang disenangi
bapaknya.”(HR. Muslim: 2552) Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah
radhiyallahu'anhu, beliau mengatakan: “Aku datang ke kota Madinah lalu
datanglah kepadaku Abdullah Ibnu ‘Umar seraya berkata: ”Taukah kamu kenapa aku
datang kepadamu?”, maka aku menjawab: “Aku tidak tahu.” Maka beliau Ibnu ‘Umar
mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alahi wa sallam
bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِلَ
أَبَاهُ فِيْ قَبْرِهِ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيْهِ بَعْدَهُ
”Barangsiapa
ingin menyambung orang tuanya setelah meninggalnya, hendaklah ia menyambung
teman-teman (saudara) orang tuanya setelahnya dan sesungguhnya antara ayahku
(Umar) dan ayahmu memiliki tali persahabatan dan saling mencintai, maka aku
ingin menyambung hal itu (setelah matinya, pent).”(HR. Ibnu Hibban: 2/175,
termaktub dalam Shahih al-Jami’: 5960)
Sungguh
para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya.
Sebagai penguat hadits dan contoh di atas adalah apa yang dilakukan oleh
Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma juga, bahwasanya beliau memiliki seekor
keledai yang biasa beliau tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat
kepalanya. Tatkala beliau berada di atas keledainya, tiba-tiba lewatlah
seorang Arab badui, beliaupun berkata kepadanya, “bukankah anda fulan anaknya
fulan?” Maka si badui pun berkata: “benar”, kemudian beliau memberikan keledainya
kepada badui tersebut sambil mengatakan: “naikilah keledai ini dan pakailah
imamah ini untuk mengikat kepalamu”. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian
sahabatnya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu, kamu memberikan keledai
yang senantiasa kamu tunggangi dan imamah yang senantiasa kamu pakai untuk
mengikat kepalamu”, maka Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan,
“aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ
صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
”Termasuk
kebaikan yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan
keluarga orang yang dicintai orang tuanya setelah meninggalnya”. (HR. Muslim:
2552)
Dan dahulu
bapak orang badui tersebut adalah teman baik ‘Umar.
4. Termasuk
berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan bersedekah berupa
ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memberi mushaf, dll dari amal jariyah
yang akan sampai pahalanya kepada orang tuanya
‘Aisyah
radhiyallahu'anha meriwayatkan, bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi
shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba
dan tidak sempat berwasiat, dan aku mengira jika dia bisa berbicara maka dia
akan bersedekah, apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya dan apakah
aku juga akan mendapatkan pahala?”, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam
bersabda, “Ya”. Kemudian orang tadi mengatakan, “Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah
ini aku sedekahkan atas namanya.” (HR. al-Bukhari: 2605 dan Muslim: 1004)
Dan dalam
hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada
seseorang yang mengatakan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan telah meninggalkan harta dan tidak
mewasiatkan apa-apa, apabila aku bersedekah dengan meniatkan untuk orang tuaku,
apakah hal itu akan menghapus dosanya?,” Rasulullah shallallahu'alaihi wa
sallam menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari: 2605)
Tentang
hadits shahih ini, kita tetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak
tidak meniatkan pahala untuk orang tuanya pun secara langsung pahala tersebut
akan sampai, karena anak merupakan bagian dari usaha orang tua, sebagaimana
yang telah berlalu penjelasannya.
5.
Menunaikan wasiatnya jika tidak melanggar syar’i, membayarkan hutangnya baik
harta maupun puasa nadzar
Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ
صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka walinya yang
menunaikannya.”(HR. Bukhari, Muslim, dll)
Nasehat dan
kabar gembira BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua
Wahai para
anak berbaktilah engkau kepada orang tua kalian, sesungguhnya doa mereka sangat
mustajab (terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لَا
تُرَدُّ: دَعْوَةُ اْلَوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ
الْمُسَافِرِ
“Ada tiga
doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang
terdhalimi, doanya orang musafir, dan doanya orang tua kepada anaknya.”(HR.
Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami’: 3033)
Maka kabar
gembira untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya,
apabila setiap hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan
kebaikan kepadamu. Dan sebaliknya, kabar kehinaan bagimu manakala engkau
keluar rumah, sedangkan kedua orang tua mendoakanmu dengan kejelekan dan
laknat.
Kabar
gembira bagi orang tua yang memiliki anak YANG shAlih
1.
Amalannya akan terus bertambah dan mengalir sampai hari kiamat,
sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
2. Akan
dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada
Allah Ta'ala untuknya,
sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ
دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ
وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh
seseorang akan diangkat der ajatnya di surga, dia mengatakan: dari mana ini?
Kemudin dikatakan kepadanya, ini adalah disebabkan istighfar anakmu yang
shalih.”
DI TULIS OLEH Ust. Abdurrahman Hadi, Lc
ww.suaraaliman.com
0 komentar:
Posting Komentar