Jumat, 02 Maret 2018

Hak Orang Tua di Masa Hidup & Setelah Wafatnya


Hak Orang Tua di Masa Hidup & Setelah Wafatnya

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Amma ba’du,

Kewajiban anak kepada orang tua pada masa hidupnya dan setelah matinya
Saudaraku, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala setelah kita beribadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang tua merupakan sebab kita mendapat­kan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan merupakan sifat dan amalan mulia para Nabi. Dari sini jelas bahwa orang tua memiliki hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang tua tidak hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup, melainkan harus terus dilakukan setelah keduanya meninggal.

Berbakti kepada orang tua Pada masa hidupnya

Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia

Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan baik. Hal itu tidak hanya terbatas kepada orang tua yang baik dan taat saja, orang tua yang kafirpun –wal ‘iyadzu billah– juga berhak mendapat­kan pergaulan yang baik, karena kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan ketaat­­an seorang anak kepada orang tuanya merupakan kewajiban tersendiri. Allah  berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”   QS. Luqman [31]: 14-15

Dan dalam hadits yang shahih diriwayatkan:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ j فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ ». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا »

Dan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyalllahu'anhu berkata: ”Telah datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, “Aku akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah”, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup?” Orang tersebut menjawab, ”Ya masih hidup, bahkan keduanya masih hidup”. Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?”, maka laki-laki tadi menjawab, ”Ya, aku mengharap­kan pahala”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “kalau demikian maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka dengan sebaik-baiknya.” (HR. Muslim: 2549)

Perhatikanlah ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang tua yang kafirpun tetap diperintahkan agar mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan, apabila kita diperintah untuk berbuat maksiat, maka pada saat itu kita tidak boleh mentaatinya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki agar berbakti kepada orang tua, padahal ketika itu ia hendak pergi dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun memiliki kedudukan  yang tinggi dan merupa­kan dzirwatu sanamil Islam (puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang tua harus kita dahulukan apabila jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ‘ain.

Kedua: Mendakwahi Keduanya

Dengan selalu mendoakan kedua­nya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala daya dan upaya agar Allah  memberikan hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan memberikan hidayah kepada manhaj yang benar.

Inilah jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan generasi awal umat ini, mereka bersemangat dan sangat berharap agar orang tua mereka mendapatkan hidayah dan merasakan manisnya iman sebagaimana yang telah mereka rasakan. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai harapan dan tujuan yang mulia tersebut.

Begitu banyak kisah yang dapat kita jadikan teladan di dalam masalah ini. Oleh karenanya, untuk melengkapi pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman dua contoh kisah yang mudah-mudah­an kita bisa menuai pelajaran darinya.

Kisah pertama, adalah Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, beliau sangat antusias menunjukkan ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan baik, dengan beraneka ragam cara, disertai hujjah-hujjah naqli (dalil syar’i) maupun aqli (logika), dengan tarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar gembira).

Allah Ta'ala telah memberitakan kepada kita tentang hal tersebut, di antaranya adalah dalam firman-Nya:

 وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45) قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46) قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)

“Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang datang dari Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan juga tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu penge­tahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutil­ah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan. Ayahnya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.”    QS. Maryam [19]: 41-47

Dan jika sang anak sudah berusaha secara maksimal untuk mengajak orang tuanya ke jalan yang benar, akan tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah menentang­nya, maka sang anak tidak tergolong durhaka kepada orang tua, selama cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong anak yang cinta kepada orang tuanya, karena mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat paling agung yaitu hidayah. Oleh karena itu, hendaknya sang anak tidak putus asa dan berhenti dalam mendakwahi orang tuanya.

Kisah kedua, adalah sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya yang dahulu masih dalam kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya, walaupun demikian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan beliau sangat semangat mendakwahinya agar mendapat­kan hidayah.

Marilah sejenak kita menyi­mak apa yang telah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu, dan bagaimanakah perjuangan beliau. Beliau menceritakan, ”Aku dahulu men­dakwahi ibuku kepada Islam karena waktu itu dia masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu hari aku mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan yang kurang baik tentang Rasulullah, maka aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis dan aku katakan kepada Beliau, wahai Rasulullah, aku telah mendakwahi ibuku agar masuk Islam tapi  ia enggan, bahkan berbicara tentangmu apa yang tidak aku suka, oleh karena itu doakanlah agar Allah memberi petunjuk kepada ibuku”. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah”. Setelah mendengar doa tersebut aku pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan, tatkala sampai rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala aku sampai rumah dan ibuku mendengar suara sandalku, beliau mengatakan, “berhentilah di tempatmu, wahai Abu Hurairah”. Pada saat itu aku mendengar suara air, beliau mandi, mengenakan pakaiannya lalu membukakan pintu untukku seraya mengucapkan “Wahai Abu Hurairah, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.

Setelah mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Maka aku segera kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis karena kebahagiaan yang aku rasakan lalu kukatakan kepada Rasulullah, “Kabar gembira wahai Rasulullah, Allah telah mengabulkan doamu dan Allah telah memberi petunjuk kepada ibuku”, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya sera­­ya mengucapkan kebaikan.” (HR. Muslim: 2491)

Lihatlah Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha beliau yang begitu gigih dan tak kenal lelah dalam mendakwahi ibunya. Beliau menempuh berba­gai cara untuk mencapai tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan berbicara dengan baik, melalui pendekatan yang baik, sampai pada akhirnya ketika pintu dakwah seakan tertutup setelah mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya tentang Nabi termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, beliaupun tidak lantas berputus asa, justru beliau mencari cara lain dengan mendatangi Rasulullah agar diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala karena Dialah tempat kembali, tempat memohon dan penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam apabila beliau mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan, akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada akhirnya pengharapan beliau terwujud yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.

Inilah di antara contoh prak­tik orang-orang mulia dalam me­wujud­kan birrul walidain, maka hendaknya kita bisa meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:

 أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”            QS. al-An’am [6]: 90

Seorang penyair pun telah ber­­­­senandung dalam syairnya,

فتَشَبَّهُوْا بِاْلكِرَامِ وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
 إِنَّ التَّشَبُّهَ بِاْلكِرَامِ فَلَاحُ

Menirulah orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa seperti mereka,
Sesungguhnya meniru orang-orang mulia adalah sebuah keberuntungan.

Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua, tidak mengangkat suara di hadapan keduanya walaupun sekedar ucapan uf atau ah

Allah  berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24

“Dan Tuhanmu telah memerintah­kan supaya kamu tidak menyembah selain ­Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku masih kecil.”     QS. al-Isra` [17]: 23-24

Dan inilah Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau apabila masuk ke suatu tempat yang orang tuanya tinggal di dalamnya, maka beliau mengucapkan kepada ibunya, “‘Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku”. Ibunya pun menjawab: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abu Hurairah mengatakan: “mudah-mudahan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu aku masih kecil,” dan ibunya pun menjawab, “wahai anakku mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu serta meridhaimu karena engkau telah berbakti kepadaku di masa tuaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 14 dengan sanad yang hasan)

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana bakti sahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana beliau mengungkapkan rasa syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya? Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa sang ibu merasakan bakti anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! Inilah hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang tua merasakan kebaikan, maka orang tua akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan mendapatkan haknya.

Berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya

Ketika orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup kecuali apa-apa yang bisa memberikan manfaat kepada akhirat­nya, berupa pahala dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.

Di antara yang dapat memberikan manfaat kepada orang tua setelah meninggalnya yang dapat dilakukan oleh sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:

1. Amalan shalih yang dilakukan anaknya

Seorang anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, karena setiap amal shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orang tua yang beriman walaupun ia tidak mengatakan, “amal ini aku hadi­ahkan untuk ibu atau ayahku”, ataupun ucapan yang semisal, karena anak meru­pakan bagian dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala sang anak. Sebagaimana yang Allah  firmankan:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”           QS. an-Najm [53]: 39

Dan anak merupakan bagian dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk bagian dari usaha kalian.”)HR. at-Tirmidzi: 1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat Shahih Ibnu Majah: 1854))
Dan apabila seorang anak menjalankan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan amalan ketaatan lainnya, maka tidak perlu sembari mengatakan, “aku berikan pahala ibadah ini untuk kedua orang tuaku”, karena pahala ibadah tersebut akan sampai kepada orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.

2. Doa anak yang shalih kepada kedua orang tua dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya

Allah  berfirman:

 رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihi­lah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”                 QS. al-Isra` [17]: 24
 Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

”Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR. Muslim: 1631)

3. Termasuk berbuat baik kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan cara memuliakan teman-temannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ

”Kebaikan yang terbaik adalah jika seseorang menyambung orang yang disenangi bapaknya.”(HR. Muslim: 2552) Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah radhiyallahu'anhu, beliau mengatakan: “Aku datang ke kota Madinah lalu datanglah kepadaku Abdullah Ibnu ‘Umar seraya berkata: ”Taukah kamu kenapa aku datang kepadamu?”, maka aku menjawab: “Aku tidak tahu.” Maka beliau Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alahi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِيْ قَبْرِهِ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيْهِ بَعْدَهُ

”Barangsiapa ingin menyambung orang tuanya setelah meninggalnya, hendaklah ia menyambung teman-teman (saudara) orang tuanya setelahnya dan sesungguhnya antara ayahku (Umar) dan ayahmu memiliki tali persahabatan dan saling mencintai, maka aku ingin menyambung hal itu (setelah matinya, pent).”(HR. Ibnu Hibban: 2/175, termaktub dalam Shahih al-Jami’: 5960)

Sungguh para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya. Sebagai penguat hadits dan contoh di atas adalah apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma juga, bahwasanya beliau memiliki seekor keledai yang biasa beliau tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat kepalanya. Tatkala beliau berada di atas keledai­nya, tiba-tiba lewatlah seorang Arab badui, beliau­pun berkata kepada­nya, “bukankah anda fulan anaknya fulan?” Maka si badui pun berkata: “benar”, kemudian beliau memberikan keledai­nya kepada badui tersebut sambil mengatakan: “naikilah keledai ini dan pakailah imamah ini untuk mengikat kepalamu”. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian sahabatnya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu, kamu memberikan keledai yang senantiasa kamu tunggangi dan imamah yang senantiasa kamu pakai untuk mengikat kepalamu”, maka Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan, “aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ

”Termasuk kebaikan yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan keluarga orang yang dicintai orang tuanya setelah meninggalnya”. (HR. Muslim: 2552)
Dan dahulu bapak orang badui tersebut adalah teman baik ‘Umar.

4. Termasuk berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan bersedekah berupa ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memberi mushaf, dll dari amal jariyah yang akan sampai pahalanya kepada orang tuanya

‘Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba dan tidak sempat berwasiat, dan aku mengira jika dia bisa berbicara maka dia akan bersedekah, apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya dan apakah aku juga akan mendapatkan pahala?”, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Ya”. Kemudian orang tadi mengatakan, “Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya.” (HR. al-Bukhari: 2605 dan Muslim: 1004)

Dan dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada seseorang yang mengatakan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan telah meninggalkan harta dan tidak mewasiatkan apa-apa, apabila aku bersedekah dengan meniatkan untuk orang tuaku, apakah hal itu akan menghapus dosanya?,” Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari: 2605)

Tentang hadits shahih ini, kita tetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak tidak meniatkan pahala untuk orang tuanya pun secara langsung pahala tersebut akan sampai, karena anak merupakan bagian dari usaha orang tua, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.

5. Menunaikan wasiatnya jika tidak melanggar syar’i, membayarkan hutangnya baik harta maupun puasa nadzar

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka walinya yang menunaikannya.”(HR. Bukhari, Muslim, dll)

Nasehat dan kabar gembira BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua
Wahai para anak berbaktilah engkau kepada orang tua kalian, sesungguhnya doa mereka sangat mustajab (terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدُّ: دَعْوَةُ اْلَوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang terdhalimi, doanya orang musafir, dan doanya orang tua kepada anaknya.”(HR. Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami’: 3033)

Maka kabar gembira untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya, apabila setiap hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sebalik­nya, kabar kehinaan bagimu manakala engkau keluar rumah, sedangkan kedua orang tua mendoakanmu dengan kejelekan dan laknat.

Kabar gembira bagi orang tua yang memiliki anak YANG shAlih

1. Amalannya akan terus bertambah dan mengalir sampai hari kiamat,

sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

2. Akan dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala untuknya,

sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh seseorang akan diangkat der ajat­nya di surga, dia mengatakan: dari mana ini? Kemudin dikata­kan kepada­nya, ini adalah disebabkan istighfar anakmu yang shalih.” 

DI TULIS OLEH Ust. Abdurrahman Hadi, Lc
ww.suaraaliman.com

0 komentar:

Posting Komentar