Memahami Tawassul
Pembaca muslimah yang semoga dirahmati Allah, tawassul
adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh
amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan
suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Tentu
saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan
dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang
terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam
agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul
dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah
berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at
Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
Untuk itulah disini kita akan membahas tentang berbagai
macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar kita.
Kita diperbolehkan melakukan tawassul
yang syar’i karena ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai
dengan apa yang diajarkan Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam. Namun jelas
kita juga dilarang dari melakukann berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi
syirik yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian
orang. Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridha-Nya namun
ternyata sebaliknya, murka Allah-lah baginya. Waliyyadzubillah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya
makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang
terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari
karena kejahilan pada diri kita.
Pengertian Tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau
ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa
berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.
Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185
Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan
dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah
Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari
IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan)
untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya
agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)
Mengenai
ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,”Makna wasilah dalam ayat
tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
Demikian
pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin
Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna
ayat tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan
amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir
Ibnu Katsir III/103).
Adapun
tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
Tawassul
Sunnah
Pertama:
Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika
berdo’a. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya
milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut
asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah,
aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu
dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang
hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih
tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)
Kedua:
Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat
Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber
istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku
kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan
Al-Hakim)
Ketiga:
Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana
yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan
tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul
dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya
berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada
kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada
Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan.
Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang
menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat:
Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah
hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang itu
berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku
(sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa
untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang
tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna
lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan
mengatakan,
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan
nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia
memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah
aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu
kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima:
Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا
مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا
فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ
الأبْرَارِ
“Ya Tuhan
kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman
(yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
Keenam:
Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ
مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن
لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan
(ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang
berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah
termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan
menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang
beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
***
Tawassul
Bid’ah
Pertama:
Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan
orang selain beliau.
Dalam
shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin
Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar
diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin
Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi
kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul
dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah
hujan.” (HR.Bukhari: 1010)
Maksud
bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul
dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya
sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah
bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu
ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak
bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa
paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih
hidup.
Kedua:
Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika
berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah
bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga:
Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang
shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara
menuju kesyirikan.
***
Tawassul
Syirik
Tawassul
yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara
dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon
pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah
untuk kami”.
Perbuatan
ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka
menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu
berdo’a kepada selain Allah.
Penulis: Ummu
Yusuf Nur Indah Sari
Muroja’ah:
Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Maraji’:
Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin
Abdul Qadir Jawas.
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam.
Khudz ‘Aqidataka minal Kitabi wa Sunnatis Shahihi,
Muhammad bin Jamil Zainu.
Buletin At-Tauhid, Jogjakarta.
***
Artikel
muslimah.or.id
Sahabat
muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik
disini. Jazakallahu khaira
0 komentar:
Posting Komentar