Cepat dalam Melangkah dan Tergesa-Gesa
jalan_cepatTergesa-gesa
biasa berujung tidak baik. Namun cepat-cepat atau bersegera dalam bertindak ini
berbeda. Bahkan cepat-cepat kadang juga masih memiliki ketenangan. Namun di
sini bukan berarti kami memaksudkan untuk shalat dengan banter -sangat cepat-
sehingga tidak ada thuma’ninah sebagaimana kelakuan keliru sebagian jama’ah
yang di bulan Ramadhan melakukan shalat tarawih. Itu bukan maksud kami. Dalam
shalat tetap harus ada thuma’ninah atau sikap tenang karena thuma’ninah bagian
dari rukun shalat. Namun kalau seseorang bergerak cepat dalam beramal, itu bisa
jadi terpuji sebagaimana yang terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamsuatu waktu.
Hadits berikut ini dibawakan
oleh Imam Nawawi dalam karya beliau Riyadhus Sholihin dalam Bab “Bersegera
dalam kebaikan dan anjuran kepada orang yang menuju kebaikan supaya
menghadapinya dengan sungguh-sungguh tanpa keragu-raguan“. Berikut salah satu
hadits yang beliau rahimahullah bawakan.
Dari Abu Sirwa’ah yaitu
‘Uqbah bin Al Harits radhiyallahu ‘anhu, ia pernah berkata,
صَلَّيْتُ
وَرَاءَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ
ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا ، فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِلَى بَعْضِ حُجَرِ
نِسَائِهِ ، فَفَزِعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتِهِ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ ، فَرَأَى
أَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ فَقَالَ « ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ
عِنْدَنَا فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِى ، فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
»
“Aku pernah shalat ‘Ashar di belakang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Ketika salam, beliau dengan
cepat berdiri. Lalu beliau melangkahi leher para jama’ah untuk menuju ke
sebagian kamar istri-istri beliau. Para sahabat pun terkejut dengan gerak
cepatnya Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu. Lantas beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar. Beliau pun mengetahui bahwa mereka
itu heran atas cepat geraknya beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Aku itu teringat akan sepotong emas (yang belum
dibentuk) yang kami miliki (dan
diniatkan untuk disedekahkan). Aku tidak suka ditahan lama-lama. Oleh karenanya,
aku memerintahkan agar emas itu segera dibagikan.” (HR. Bukhari no. 851).
Al Jauhari mengatakan bahwa “tibr”
yang disebutkan dalam hadits tidak dimaksudkan dalam hadits tidak dimaksudkan
kecuali pada emas sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath, 2: 337.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengatakan bahwa “tibr” adalah potongan
emas atau perak.
Faedah Hadits
Berikut beberapa faedah dari Ibnu
Hajar yang disebutkan dalam Fathul Bari (2: 337).
1- Diam sebentar setelah salam dalam
shalat tidaklah wajib sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas, beliau tidak berdzikir setelah shalat ketika itu.
2- Melangkahi para jama’ah lainnya
ketika ada hajat (keperluan) masih dibolehkan.
3- Berpikir tentang perkara lain di
luar shalat tidak mencacati shalat dan tidak mengurangi kesempurnaan shalat
sebagaimana Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepikiran akan sedekah yang
belum dibagikan saat itu.
4- Bertekad di pertengahan shalat
untuk melakukan hal lain setelah shalat dirampungkan juga tidak mencacati
shalat.
5- Mewakilkan pada yang lain untuk
membagikan sedekah atau zakat padahal mampu melakukan sendiri masih dibolehkan.
Syaikh Salim bin ‘Ied memberikan
faedah lainnya sebagai berikut.
1- Bolehnya heran atau takjub pada
orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak biasanya sebagaimana herannya para
sahabat pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang baru kali ini terlihat
bergerak cepat.
2- Barangsiapa yang lihat sesuatu yang
aneh di mata para sahabatnya, maka hendaklah ia menghilangkan syubhat atau
keanehan tersebut.
3- Bersegera melakukan amalan
kebajikan sebagaimana dicontohkan oleh Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
yang tidak mau menunda-nunda pembagian sedekah.
4- Disunnahkan untuk berlepas diri dari
hal-hal yang mengganggu pikiran yang bisa memalingkan dari dekat pada Allah.
5- Melangkah cepat bukan berarti tidak
tenang.
Semoga faedah berharga dari hadits di
atas bisa kita peting dan ambil pelajaran. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis
Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi,
cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 151.
Fathul Bari bi Syarh Shahih Al
Bukhari, Al Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al ‘Asqolani, terbitan Dar Thiybah,
cetakan keempat, tahun 1432 H, 2: 337.
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar