Berlomba dalam
Meraih Pahala
Berlomba dalam menggapai dunia bukan hal yang asing lagi
di tengah kita. Untuk masuk perguruan tinggi terkemuka, kita dapat menyaksikan
sendiri bagaimana setiap orang ingin dapat yang terdepan. Cita-citanya
bagaimana bisa mendapat penghidupan yang bahagia kelak. Namun amat jarang kita
perhatikan orang-orang berlomba dalam hal akhirat. Sedikit orang yang mendapat
rahmat Allah yang mungkin sadar akan hal ini. Cobalah saja perhatikan bagaimana
orang-orang lebih senang menghafal berbagai tembangan ‘nyanyian’ daripada
menghafalkan Al Qur’an Al Karim. Bahkan lebih senang menjadi nomor satu dalam
hal tembangan, lagu apa saja yang dihafal, daripada menjadi nomor satu dalam
menghafalkan Kalamullah. Di dalam shalat jama’ah pun, kita dapat saksikan
sendiri bagaimana ada yang sampai menyerahkan shaf terdepan pada orang lain.
“Monggo, Bapak saja yang di depan”, ujar seseorang. Akhirat diberikan pada
orang lain(?). Padahal shaf terdepan adalah shaf utama dibanding yang di
belakangnya bagi kaum pria. Demikianlah karena tidak paham dalam hal menjadi
nomor satu dalam kebaikan akhirat sehingga rela jadi yang terbelakang.
Ayat yang patut direnungkan bersama pada kesempatan kali
ini adalah firman Allah Ta’ala,
سَابِقُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21)
Ada
beberapa faedah yang bisa kita petik dari ayat di atas.
Faedah
pertama
Dalam ayat
ini begitu jelas bahwa Allah memerintahkan berlomba-lomba untuk meraih ampunan
dan surga-Nya.
Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Berlombalah menjadi yang terdepan dalam
beramal sholih yang menyebabkan datangnya ampunan dari Rabb kalian, serta
bertaubatlah atas maksiat yang kalian perbuat.”[1]
Syaikh As
Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allah memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam
meraih ampunan Allah, ridho-Nya, dan surga-Nya. Ini semua bisa diraih jika
seseorang melakukan sebab untuk mendapatkan ampunan dengan melakukan taubat
yang tulus, istighfar yang manfaat, menjauh dari dosa dan jalan-jalannya.
Sedangkan berlomba untuk meraih ridho Allah dilakukan dengan melakukan amalan
sholih dan semangat menggapai ridho Allah selamanya (bukan sesaat). Bentuh dari
menggapai ridho Allah tadi adalah dengan berbuat ihsan (berbuat baik) dalam
beribadah kepada Sang Khaliq dan berbuat ihsan dalam bermuamalah dengan sesama
makhluk dari segala segi.”[2]
Faedah
kedua
Dalam
masalah akhirat seharusnya seseorang berlomba untuk menjadi yang terdepan.
Inilah yang diisyaratkan dalam ayat lainnya,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Berlomba-lombalah
dalam kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148).
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ
الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk
yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthoffifin: 26).
Artinya, untuk meraih berbagai nikmat di surga, seharusnya setiap
berlomba-lomba.
Ibnu Rajab
Al Hambali rahimahullah menerangkan, “Para sahabat memahami bahwa mereka harus
saling berlomba untuk meraih kemuliaan di surga. Mereka berusaha menjadi
terdepan untuk menggapai derajat yang mulia tersebut. Oleh karena itu, jika di
antara mereka melihat orang lain mendahului mereka dalam beramal, mereka pun
bersedih karena telah kalah dalam hal itu. Inilah bukti bahwa mereka untuk
menjadi yang terdepan.”[3]
Kita dapat
melihat pula dalam kalam ulama salaf lainnya.
Hasan Al
Bashri rahimahullah mengatakan, “Jika engkau melihat orang lain mengunggulimu
dalam hal dunia, maka kalahkanlah ia dalam hal akhirat.”
Wuhaib bin
Al Ward rahimahullah mengatakan, “Jika engkau mampu tidak ada yang bisa
mengalahkanmu dalam hal akhirat, maka lakukanlah.”
Sebagian
salaf mengatakan, “Jika engkau mendengar ada yang lebih taat pada Allah darimu,
seharusnya engkau bersedih karena telah kalah dalam hal ini.”[4]
Coba kita
bayangkan keadaan kita saat ini. Tidak ada rasa sedih. Tidak ada rasa
dikalahkan. Perasaan hanya biasa-biasa saja jika ada yang mengungguli kita
dalam hal akhirat. Akhirnya, untuk menggapai surga pun menjadi lemah. Kemanakah
hati yang lemah? Yang Allah tunjukilah kami ke jalan-Mu!
Faedah
ketiga
Bagaimanakah
luasnya surga? Lihatlah keterangan dalam ayat selanjutnya,
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ
السماء والأرض
“Dan surga
yang lebarnya selebar langit dan bumi”. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Jika lebar surga saja selebar langit dan bumi. Lantas bagaimanakah lagi dengan panjangnya.”[5] Demikianlah luasnya
surga. Namun sedikit yang mengetahui hal ini, sehingga lihatlah sendiri
bagaimana dunia begitu dikejar dibanding akhirat. Padahal jauh sekali antara
kenikmatan surga dibanding dunia. Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Sahl bin
Sa’ad As Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى
الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Satu
bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.”[6] Seharusnya
kenikmatan di surga lebih semangat kita raih.
Faedah
keempat
Modal surga
adalah dengan beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Iman yang dimaksud di sini
mencakup iman yang pokok (ushulud diin) dan iman yang di luar pokok agama
(furu’).[7] Dari sini, berarti bukan hanya ushulud diin saja yang wajib
diimani. Namun pada perkara yang di luar pokok agama jika telah sampai ilmunya
pada kita, wajib pula diimani. Contohnya, kita punya kewajiban beriman pada
hari akhir secara umum. Namun jika datang ilmu mengenai perinciannya seperti di
antara tanda datangnya kiamat adalah munculnya Dajjal, maka ini juga patut diimani.
Faedah
kelima
Seseorang
tidaklah memasuki surga melainkan dengan rahmat Allah.[8] Sebagaimana pula
disebutkan dalam hadits,
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا
عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ،
وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
Sesungguhnya
Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.”
“Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab,
“Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.”[9]
Sedangkan
firman Allah Ta’ala,
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
“Surga yang
lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya”. Mungkin ayat ini dapat dipahami bahwa
seseorang memasuki surga karena amalannya yaitu beriman pada Allah dan
Rasul-Nya. Bagaimana mengkompromikannya?
Ada
beberapa penjelasan para ulama mengenai hal ini:
Yang
dimaksud seseorang tidak masuk surga dengan amalnya adalah peniadaan masuk
surga karena amalan.
Amalan itu
sendiri tidak bisa memasukkan orang ke dalam surga. Kalau bukan karena karunia
dan rahmat Allah, tentu tidak akan bisa memasukinya. Bahkan adanya amalan juga
karena sebab rahmat Allah bagi hamba-Nya.
Amalan
hanyalah sebab tingginya derajat seseorang di surga, namun bukan sebab
seseorang masuk ke dalam surga.
Amalan yang
dilakukan hamba sama sekali tidak bisa mengganti surga yang Allah beri. Itulah
yang dimaksud, seseorang tidak memasuki surga dengan amalannya. Maksudnya ia
tidak bisa ganti surga dengan amalannya. Sedangkan yang memasukkan seseorang ke
dalam surga hanyalah rahmat dan karunia Allah.[10]
Faedah
keenam
Beriman dan
beramal sholih, itu adalah karunia dan anugerah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana
hal ini dapat kita lihat dalam hadits berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ –
وَهَذَا حَدِيثُ قُتَيْبَةَ أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ أَتَوْا رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ
الْعُلَى وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ. فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا يُصَلُّونَ كَمَا
نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ وَلاَ نَتَصَدَّقُ
وَيُعْتِقُونَ وَلاَ نُعْتِقُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ
بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ وَلاَ يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ
مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ «
تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا
وَثَلاَثِينَ مَرَّةً ». قَالَ أَبُو صَالِحٍ فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ
الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
»
Dari Abu
Hurairah -dan ini adalah hadis Qutaibah- bahwa orang-orang fakir Muhajirin
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Orang-orang
kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Maksud kalian?” Mereka
menjawab, “Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa
sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa
melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa
melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah
aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul
orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului
kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada
kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab,
“Baiklah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertakbir, dan
bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Abu shalih
berkata, “Tidak lama kemudian para fuqara’ Muhajirin kembali ke Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Ternyata teman-teman kami yang
banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan
seperti itu!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah
keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya!“[11]
Muhammad
bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Seorang hamba dilebihkan dari
yang lainnya sesuai dengan kehendak Allah. Tidak ada yang mungkin dapat
menghalangi pemberian Allah dan tidak mungkin ada yang dapat memberi apa yang
Allah halangi. Ketahuilah bahwa kebaikan seluruhnya berada di tangan-Nya.
Allahlah yang benar-benar Maha Mulia, Maha Pemberi dan tidak kikir.”[12]
Begitu
nikmat-Nya semakin merenungkan kalam ilahi. Ya Allah, berilah taufik pada kami
untuk semakin dekat pada-Mu.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
[1] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/156.
[2] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, Muassasah Ar Risalah, 1423 H, hal. 841.
[3] Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab
Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 428.
[4] Idem.
[5] Fathul Qodir, 7/156.
[6] HR. Bukhari no. 3250.
[7] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 841.
[8] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowi, Dar Thoyyibah, cetakan
keempat, 1417 H, 8/40.
[9] HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816.
[10] Disarikan dari Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis
Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, 1430 H,
3/18-19.
[11] HR. Muslim no. 595.
[12] Fathul Qodir, 7/157.
0 komentar:
Posting Komentar