Niat Puasa Sunnah
Boleh di Pagi Hari
Mengenai niat puasa wajib sudah dibahas harus di malam
hari. Adapun untuk puasa sunnah ada keringanan boleh berniat di pagi hari, asal
sebelumnya belum menyantap makanan apa pun atau belum melakukan
pembatal-pembatal puasa.
Hadits no. 657 dari kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar
disebutkan hadits,
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ «
فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ
صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari
‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki
sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata,
“Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau
menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays
(jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau
bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat
puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim no. 1154).
Beberapa
faedah dari hadits di atas:
1- Boleh
berniat puasa sunnah di pagi hari. Hal ini menandakan bahwa puasa sunnah
tidak disyaratkan tabyiytun niat
(berniat di malam hari). Namun ini berlaku untuk puasa sunnah mutlak. Sedangkan
puasa sunnah tertentu (mu’ayyan) yang dikaitkan dengan waktu tertentu, maka
sama dengan puasa wajib harus ada tabyiytun niat, yaitu niat di malam hari
sebelum fajar Shubuh. Misalnya seseorang yang melaksanakan puasa sunnah ayyamul
bidh (13, 14, 15 H), maka ia harus ada niat puasa sunnah sejak malam. Jadi
berlaku untuk puasa mu’ayyan (tertentu) baik puasa wajib maupun sunnah, harus
ada niat puasa sejak malam hari. Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah.
2- Sah jika
berniat puasa sunnah mutlak dari pagi hari, misal dari jam 10 pagi asal
sebelumnya tidak melakukan pembatal puasa di antaranya makan dan minum. Namun
pahala yang dicatat adalah dari niat mulai berpuasa karena setiap amalan itu
tergantung pada niatnya dan setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang ia
niatkan. Lihat penjelasan Syarh Bulughil Marom karya Syaikh Muhammad Al
‘Utsaimin mengenai hadits ini.
3- Batasan
waktu niat puasa sunnah ini ada dua pendapat: (1) tidak boleh setelah
pertengahan siang sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, (2)
boleh sebelum atau sesudah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat)
karena tidak disebutkan batasan dalam hal ini. Inilah al qoul jadid (pendapat
terbaru) dari Imam Syafi’i dan jadi pegangan Imam Ahmad.
4- Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memakan hadiah. Adapun sedekah tidak halal
bagi beliau.
4- Boleh
membatalkan puasa sunnah, namun jika ada maslahat atau kebutuhan, demikian kata
para ulama. Akan tetapi, apakah ada qodho’ dalam hal ini? Jawabanya, tidak ada
keharusan qodho’.
5- Boleh
menampakkan amalan sholih yang sebenarnya bisa disembunyikan. Seperti dalam
hadits ini disebutkan, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku
sudah berniat puasa.” Dan bisa saja Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
tidak menyebutkan perihal niatan puasanya pagi hari. Namun beliau menyebutkan
demikian dalam rangka pengajaran pada kita selaku umatnya.
6- Setiap
amalan sunnah boleh dibatalkan jika ada maslahat atau dalam keadaan butuh (ada
hajat). Adapun untuk jihad sunnah, maka jika sudah berhadapan dengan musuh
tidak bisa melarikan diri. Begitu pula haji dan umrah yang sunnah tidak boleh
diputus kecuali jika dalam keadaan darurat, terhadang atau ada syarat yang
dipersyaratkan ketika berniat ihram.
Semoga
sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom,
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 92-107.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh
‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun
1432 H, 5: 22-26.
Fiqhul Islam Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdul Qadir
Syaibah Al Hamd, cetakan ketujuh, tahun 1432 H, 3: 194-195.
—
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
Sumber https://rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar