Shalat Berjamaah di Rumah Apakah Mendapatkan Keutamaan?
Apakah jika ada yang mengerjakan shalat berjamaah di
rumah tetap mendapatkan keutamaan pahala dua puluh sekian derajat?
Pahala Shalat Berjamaah
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada suatu malam mengakhirkan shalat Isya sampai tengah
malam. Kemudian beliau menghadap kami setelah shalat, lalu bersabda,
صَلاَةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
berjamaah lebih baik dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian.” (HR.
Bukhari, no. 645 dan Muslim, no. 650)
Shalat
Berjamaah di Mana Saja Tetap Sah
Setiap
muslim boleh mendirikan shalat berjamaah di mana saja, asalkan di tempat yang
suci, baik di rumah, di padang pasir, maupun di masjid. Lihat Al-Mawsu’ah
Al-Fiqhiyyah, 27:171.
Dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan seorang pun dari
Rasul-Rasul sebelumku, yaitu:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ
يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي ، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ
شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ
أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَة ُفَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ ، وَلَمْ
تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي ، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةُ ، وَكَانَ النَّبِيُّ
يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ لِلنَّاسِ عَامَّةً
“(1) aku
diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan
perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk
tayammum, pen.), maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka
hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan
kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan
syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja
sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari, no. 438 dan Muslim,
no. 521, 523)
Dari Yazid
bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ
الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ
لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ عَلَيَّ بِهِمَا فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا
فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا
فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ
فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Aku pernah
shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid
Al-Khaif. Saat beliau telah selesai shalat ketika itu ada dua laki-laki yang
datang belakangan yang tidak shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau berkata, “Panggil mereka berdua.” Lantas keduanya didatangkan
dan mereka berdua dalam keadaan ketakutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun bersabda, “Apa yang membuat kalian tidak shalat bersama kami?”
Mereke berdua menjawab, “Wahai Rasulullah, kami sudah shalat di rumah kami.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Jangan lakukan seperti itu.
Jika kalian berdua shalat di rumah kalian kemudian kalian berdua mendatangi
masjid dan di situ sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah kalian
berdua bersama mereka. Shalat yang dikerjakan ulang ini dianggap sebagai shalat
sunnah.” (HR. An-Nasai, no. 859 dan Tirmidzi, no. 219. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
Shalat
Berjamaah yang Afdal itu di Masjid
Shalat
berjamaah di masjid lebih utama daripada shalat berjamaah di selain masjid.
Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:171.
Masjid yang
dimaksud di sini adalah tempat diselenggarakannya shalat secara rutin di
dalamnya. Lihat Shalah Al-Mu’min, 2:561.
Dari Zaid
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ
فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ
إِلاَّ المَكْتُوبَةَ
“Shalatlah
kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat
adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih,
HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781).
Alasan
shalat berjamaah yang afdal adalah di masjid, yaitu:
Masjid
adalah tempat yang mulia dan suci.
Shalat di
masjid berarti menampakkan syiar Islam dan banyak jamaah.
Jumlah
Jamaah Makin Banyak, Itu Makin Afdal
Dari Ubay
bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مَعَ
الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مَعَ
الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ
فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Shalat
seorang laki-laki bersama seorang laki-laki lebih baik daripada shalatnya
seorang diri. Shalat seorang laki-laki bersama dua orang laki-laki lebih baik
daripada shalat berdua saja. Jika jumlah jamaah lebih banyak, itu lebih disukai
oleh Allah ‘azza wa jalla.” (HR. An-Nasai, no. 844; Ibnu Majah, no. 790.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Syaikh
Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily berkata, “Masjid yang lebih banyak jamaah lebih
utama daripada masjid yang lebih sedikit jamaah. Begitu pula shalat di rumah
dengan jumlah jamaah lebih banyak itu lebih utama daripada jumlah jamaah yang
sedikit. Karena kaidahnya adalah shalat dengan jamaah lebih banyak lebih utama
daripada shalat dengan jamaah sedikit. Dasar dari hal ini adalah hadits Ubay
bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya disebutkan, “Jika jumlah jamaah lebih
banyak, itu lebih disukai oleh Allah ‘azza wa jalla.” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh
Asy-Syafii, 1:407)
Namun, apa
yang dikatakan di atas dikecualikan untuk tiga masalah:
Shalat
berjamaah dengan jumlah jamaah sedikit di masjid lebih utama daripada shalat berjamaah
dengan jumlah jamaah banyak di rumah.
Shalat
berjamaah di masjid terdekat yang sedikit jamaah lebih utama daripada shalat
berjamah di masjid yang jauh walaupun lebih banyak jamaah.
Shalat
jamaah wanita di rumah lebih utama daripada shalat jamaah wanita di masjid
karena shalat wanita terbaik adalah di rumahnya. Shalat wanita di rumah lebih
aman bagi wanita karena luar biasanya godaan wanita jika berada di luar rumah.
Begitu pula tempat shalat wanita yang semakin tertutup itu lebih baik.
Lihat
Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:407-408.
Catatan:
Pertama: Shalat berjamaah bagi wanita
disunnahkan, tetapi tidak di-ta’kid (ditekankan) seperti pada laki-laki. Namun,
jika berjamaah dipimpin imam laki-laki itu lebih baik daripada yang menjadi
imam adalah wanita untuk sesama wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih
paham dalam masalah shalat berjamaah dan laki-laki masih boleh menjaherkan
bacaan shalat dibandingkan wanita. Akan tetapi, seorang wanita tidak boleh
berkhalwat (shalat hanya berdua) dengan laki-laki jika tidak ada hubungan
mahram. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:408.
Kedua: Bagaimana jika berjamaah ke masjid,
malah orang di rumah tidak mau shalat?
Dalam
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (27:171) disebutkan, “Walaupun berjamaah di masjid
lebih utama daripada mendirikan shalat berjamaah di rumah, tetapi jika
seseorang ke masjid dan meninggalkan keluarganya sehingga mereka shalat
sendirian, bisa jadi pula mereka atau sebagian mereka malah mengabaikan shalat,
atau seandainya jika di rumah ditegakkan shalat berjamaah barulah penghuni
rumah mau shalat dan ketika pergi ke masjid ia shalat sendirian, dalam kondisi
semacam ini shalat di rumah itu lebih utama.”
Shalat
Berjamaah di Rumah Apakah Mendapatkan Keutamaan?
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى
جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا
وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
seseorang dalam jama’ah memiliki nilai lebih dua puluh sekian derajat daripada
shalat seseorang di rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar.” (HR. Muslim,
no. 649)
Imam Nawawi
rahimahullah (w. 676 H) ketika menjelaskan hadits di atas menyebutkan,
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي
بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً الْمُرَادُ
صَلَاتُهُ فِي بَيْتِهِ وَسُوقِهِ مُنْفَرِدًا هَذَا هُوَ الصَّوَابُ. وَقِيلَ
فِيهِ غَيْرُ هَذَا، وَهُوَ قَوْلٌ بَاطِلٌ نَبَّهْتُ عَلَيْهِ لِئَلَّا يُغْتَرَّ
بِهِ
“Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam “Shalat seseorang dalam jama’ah memiliki nilai
lebih dua puluh sekian derajat daripada shalat seseorang di rumahnya, juga
melebihi shalatnya di pasar” itu maksudnya jika shalatnya di rumah atau di
pasar dilakukan secara sendirian tanpa berjamaah. Ini adalah yang benar. Adapun
yang menyebut tidak seperti ini, itu adalah pendapat yang batil. Saya ingatkan
agar tidak keliru. (Syarh Shahih Muslim, 5:147, pada Bab “Keutamaan Shalat
Wajib secara Berjamaah …”).
Maka dalam
keadaan aman tanpa ada uzur, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan,
إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي
بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ
الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ
مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل
Ketika
seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau
anaknya, maka ia tetap memperolah keutamaan berjamaah. Akan tetapi, jika
dilakukan di masjid, itu lebih utama. Ingatlah bahwa jamaah semakin banyak di
masjid, itu tentu afdal. (Raudhah Ath-Thalibin, 1:238)
Adapun
kalau ada uzur tidak mengikuti shalat berjamaah (seperti adanya wabah di daerah
berbahaya), moga karena uzur ini tetap mendapatkan pahala shalat berjamaah.
Wallahu
a’lam. Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan
Urusan Islam Kuwait.
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan
pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun
1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
Shalah Al-Mu’min Mafhum wa Fadhail wa Aadab wa Anwa’ wa
Ahkaam wa Kaifiyyah fii Dhau’ Al-Kitaab wa As-Sunnah. Cetakan ketiga, Tahun
1431 H. Syaikh Dr. Said bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.
Raudhah Ath-Thalibin. Cetakan pertama, Tahun 1433 H.
Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah.
—
Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar