Mana Bukti Cintamu pada Nabi?
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan
usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk
membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang
keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah
memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi
lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah,
maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman
keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan
tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَى
بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS.
Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya
kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda
dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2]
Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan
pada diri sendiri.
‘Abdullah
bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar
berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu
kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
berkata,
لاَ وَالَّذِى نَفْسِى
بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
”Tidak,
demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus
lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata,
”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku
sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula
wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Mengapa
Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mencintai
seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan
pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin
sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling
luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara
sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih
sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam
firman-Nya,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
”Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Alasan
kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai
nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:
[1]
Mendapatkan manisnya iman
Dari Anas
radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga
perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya
karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan
dalam api.”[4]
[2] Akan
menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas
bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk
menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.
Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“(Kalau
begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]
Dalam
riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana
rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”
Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena
kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan
mereka.”[6]
[3] Akan
memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
“Seseorang
tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan
orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]
Dengan dua
alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Bukti Cinta
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama:
Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini
dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari
Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ
وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya
Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah
pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik
dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]
Di antara
bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi
rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin
telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya
karena perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua:
Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk
prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan
segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan
akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1)
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2)
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى (4)
”Demi
bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An
Najm: 1-4)
Ketiga:
Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara
bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau
dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang
diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang
paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ
ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang
bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak
bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat:
Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada
petunjuknya.
Allah
Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا
تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena
(ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan
Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]
Kelima:
Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya
berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu
prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan
sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan
syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah
dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan
hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang
diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta
tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]
Keenam:
Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan
menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan
dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ
الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga)
bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al
Hasyr: 8)
Di antara
contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas
bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan
kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu
Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi
Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai
Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad.
Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang,
tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum
musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya
kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk
membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di
antaranya:
[1] Membela
para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah
shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ
أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ
مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
”Janganlah
mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara
kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud
(yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]
Di antara
hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh
aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah
(Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam
Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah
ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka
berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang
itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela
sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka
adalah mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela
para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik
rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas
dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.”
Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab,
”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah
Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah,
pen),
يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ
تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Ketujuh:
Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk
membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang
berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan
membantah syubhat kaum zindiq dan
pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang
membela panji sunnah ini dengan sabdanya,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً
سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ
سَامِعٍ
“Semoga
Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi
berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]
Kedelapan:
Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara
kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ
آيَةً
“Sampaikanlah
dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya.
Bukti Cinta
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana
telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh
karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan
dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah
(ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang
sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk
pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam
ajarannya.[23]
Contoh
cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan
bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan
hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul
Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat
yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.”[24]
Pandangan
Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama]
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan
Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah
mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di
dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied
sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya
beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau
sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan,
maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at
maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam
maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar,
‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti
mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah
kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar
menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau
melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa
diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan
[?]”[25]
[Kedua]
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal
dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah
yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid
fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau
rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari
Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang
dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang
diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu
dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau
mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah
suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu
yang dianjurkan (sunnah). Karena yang
namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang
meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan
ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak
bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam
agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut
mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]
Penutup
Cinta pada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat
cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’)
setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia
juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء
طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ
Tatkala
banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan
bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron:
31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau
mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan
amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya
Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang
dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Artikel www.muslim.or.id
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164,
Muassasah Al Qurthubah.
[2] Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At
Tafaasir.
[3] HR. Bukhari no. 6632.
[4] HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43.
[5] HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639
[6] HR. Bukhari no. 3688.
[7] HR. Muslim no. 44
[8] Pembahasan ini diringkas dari Huququn Nabi bainal
Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa
‘alamatuhu, hal. 13-15. Kami pernah memuat tulisan ini dalam risalah kecil yang
berjudul Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Antara Mencintai dan
Melecehkan, diterbitkan oleh Pustaka Muslim, Jumadats Tsaniyah, 1428 H
[9] HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’
[10] I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.
[11] HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi
mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shahih
[12] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al
Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para
perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.
[13] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[14] HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.
[15] HR. Muslim no. 2541.
[16] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[17] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.
[18] Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.
[19] HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu
Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’
Ya’sub.
[20] HR. Bukhari no. 3461
[21] Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa
Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal
Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd,
cetakan pertama, 1422 H.
[22] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[23] Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.
[24] Majmu’ Fatawa, 25/298.
[25] As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari
wash Sholawat, 138-139
[26] Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183
[27] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu
Syaikh, 1/266, Asy Syamilah.
0 komentar:
Posting Komentar