SEDEKAH UNTUK ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA
Sedekah
yang dikeluarkan seorang anak untuk salah satu atau untuk kedua orang tuanya
yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepada keduanya. Selain
itu segala amal shalih yang diamalkan anaknya maka pahalanya akan sampai kepada
kedua orang tuanya tanpa mengurangi pahala si anak tersebut, sebab si anak
merupakan hasil usaha kedua orang tuanya.
Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ
الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya
sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri,
dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya.[2]
Apa yang
ditunjukkan oleh ayat al-Qur`ân dan hadits di atas diperkuat lagi oleh beberapa
hadits yang secara khusus membahas tentang sampainya manfaat amal shalih sang
anak kepada orang tua yang telah meninggal, seperti sedekah, puasa,
memerdekakan budak, dan lain-lain semisalnya. Hadits-hadits tersebut ialah:
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ
نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ،
فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ»
(فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya
ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan
wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka
apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun
mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya).”[3]
Dari Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ سَعْـدَ بْنَ
عُـبَـادَةَ -أَخَا بَـنِـيْ سَاعِدَةِ- تُـوُفّـِيَتْ أُمُّـهُ وَهُـوَ غَـائِـبٌ
عَنْهَا، فَـقَالَ: يَـا رَسُوْلَ اللّٰـهِ! إِنَّ أُمّـِيْ تُـوُفّـِيَتْ،
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، فَهَلْ يَنْـفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ بِـشَـيْءٍ
عَنْهَا؟ قَـالَ: نَـعَمْ، قَالَ: فَـإِنّـِيْ أُشْهِـدُكَ أَنَّ حَائِـطَ
الْـمِخْـرَافِ صَدَقَـةٌ عَلَـيْـهَا.
Bahwasanya
Sa’ad bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan
ia tidak berada bersamanya, maka ia bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya
ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat
baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebun(ku) yang
berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku.”[4]
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَبِـيْ مَاتَ
وَتَـرَكَ مَالًا، وَلَـمْ يُـوْصِ، فَهَلْ يُـكَـفّـِرُ عَنْـهُ أَنْ
أَتـَصَدَّقَ عَنْـهُ؟ قَالَ: نَـعَمْ.
“Sesungguhnya
ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta, tetapi ia tidak berwasiat.
Apakah (Allâh) akan menghapuskan (kesalahan)nya karena sedekahku atas namanya?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”[5]
Imam
asy-Syaukani t berkata, “Hadits-hadits bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari
anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah kematian keduanya meski
tanpa adanya wasiat dari keduanya, pahalanya pun bisa sampai kepada kedua-nya.
Dengan hadits-hadits ini, keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini
dikhususkan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Tetapi, di
dalam hadits tersebut hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua
orang tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil
usahanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas dikhususkan oleh
hadits-hadits tersebut. Sedangkan yang selain dari anak, maka menurut zhahir
ayat-ayat al-Qur`ân, pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah
meninggal dunia. Maka hal tersebut tidak perlu diteruskan hingga ada dalil yang
mengkhususkannya.[6]
Syaikh
al-Albani rahimahullah mengomentari pernyataan di atas dengan berkata, “Inilah
pemahaman yang benar yang sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah ilmiah, yaitu
bahwa ayat al-Qur`ân di atas tetap dengan keumumannya, sedangkan pahala sedekah
dan lain-lainnya tetap sampai dari seorang anak kepada kedua orang tuanya,
karena ia (anak) hasil dari usahanya, berbeda dengan selain anak…”[7]
Adapun
pengiriman pahala bacaan al-Qur`ân, Yasin, al-Fâtihah, kepada orang yang sudah
meninggal maka tidak akan sampai, karena semua riwayat-riwayat hanya
menyebutkan tentang sampainya pahala sedekah anak kepada orang tua (bukan
bacaan al-Qur`ân). Berdasarkan ayat:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Ketika
menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka
demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada
orang lain, kecuali apa yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini
Imam asy-Syafi’i dan orang (para ulama) yang mengikuti beliau beristinbat
(mengambil dalil) bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân tidak sampai kepada
si mayit karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka. Oleh karena itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyunnahkan ummatnya
(mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada mayyit) dan tidak pernah
mengajarkan kepada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula dengan
isyarat. Dan tidak pernah dinukil ada seorang sahabat pun yang melakukan
demikian. Seandainya hal itu (menghadiahkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada
mayit) adalah baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan
yang baik itu. Tentang bab amal-amal qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah) hanya dibolehkan berdasarkan nash (dalil/contoh dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan tidak boleh memakai qiyas atau
pendapat.”[8]
Apa yang
telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat
sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh
az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369)[9].
Wallâhu
a’lam.
Footnote
[1]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 216-219 dan az-Zakâh
fil-Islâm, hlm. 597-600.
[2]. Shahîh, HR Ahmad (VI/41, 126, 162, 173, 193, 201,
202, 220), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358), an-Nasa-i (VII/241),
Ibnu Majah (no. 2137), dan al-Hakim (II/46).
[3]. Shahîh, HR al-Bukhari (no. 1388), Muslim (no. 1004),
Ahmad (VI/51), Abu Dawud (no. 2881), an-Nasa-i (VI/250), Ibnu Majah (no. 2717),
dan al-Baihaqi (IV/62; VI/277-278).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam
Ahkâmul-Janâ-iz (hlm. 217), “Redaksi ini milik al-Bukhari di salah satu dari
dua riwayatnya, tambahan yang terakhir adalah miliknya dalam riwayat lain. Juga
Ibnu Majah dimana tambahan kedua miliknya, sedangkan tambahan pertama milik
Muslim.”
[4]. Shahîh. HR al-Bukhari (no. 2756), Ahmad (I/333,
370), Abu Dawud (no. 2882), at-Tirmidzi (no. 669), an-Nasa-i (VI/252-253), dan
al-Baihaqi (VI/ 278). Lafazh ini milik Ahmad.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1630), Ahmad (II/371),
an-Nasa-i (VI/252), dan al-Baihaqi (VI/278).
[6]. Nailul-Authâr, Cet. Dâr Ibnil-Qayyim, V/184.
[7]. Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 219.
[8]. Tafsîr Ibni Katsir (VII/465) tahqiq Sami bin
Muhammad as-Salamah. Dan lihat Ahkâmul-Janâ-iz wa Bida’uhâ, Cet. Maktabah
al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 220
[9]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 220.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
0 komentar:
Posting Komentar