Bagaimana Cara
Shalawat yang Sesuai Sunnah?
Pertanyaan.
Ana ingin menanyakan masalah amaliyah yang membingungkan,
yaitu masalah shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah shalawat ini banyak macamnya?
Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar
berdasarkan sunnah Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjama’ah, dengan
suara keras atau sirr (pelan)?
Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?
Jawaban.
Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara
Abdullah S.Aga, kami ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh
Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu
dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang
tidak memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan
ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberi taufiq
kepada kita di atas jalan yang lurus.
Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi
merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali
penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi.
Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.
1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara
global dapat dibagi menjadi dua.
a. Shalawat Yang Disyari’atkan.
Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa
macam. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan
ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab
beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan riwayat tentang sifat
shalawat Nabi.
Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ
وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي
رِوَايَةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Ya, Allah.
Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan
kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.
Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada
keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan
kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.
[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya
Al Albani, Maktabah Al Ma’arif].
Dan
termasuk shalawat yang disyari’atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan
ditulis oleh Salafush Shalih.
Syaikh
Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush Shalih,
termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk
yang ringkas, yaitu:
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ (shalallahu
‘alaihi wa sallam) dan
عَلَيْهِ الصّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ
(‘alaihish shalaatu was salaam).
Alhamdulillah,
kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka menulis
wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk
yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah ‘Alan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad]
b. Shalawat
Yang Tidak Disyari’atkan.
Yaitu
shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’
(palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat
(umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau
shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai
ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa
Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah ‘Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli
(wafat th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat Basyisyiyah,
shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa
sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan. [1]
2. Cara
mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
a. Shalawat
yang dibaca adalah shalawat yang disyari’atkan, karena shalawat termasuk
dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid’ah, karena seluruh
bid’ah adalah kesesatan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan do’a-do’a termasuk
ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba’
(mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Tidak seorangpun
berhak men-sunnah-kan dari dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan
(oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan
yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk
membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda
dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan tidak
menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah Wal
Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr].
b.
Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat, terlebih-lebih pada
hari jum’ah, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang
shahih.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ
وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barangsiapa
memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. [HR
Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
c. Tidak
menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh
syari’at.
Seperti
menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum’at duduk antara dua
khutbah, dan lain-lain.
d.
Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama’ah.
Karena
membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sepanjang pengetahuan kami,
tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan berjama’ah. Karena, jika
dilakukan berjama’ah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan
adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.
e. Dengan
suara sirr (pelan), tidak keras.
Karena
membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu
dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan
keras. Allah berfirman,
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي
نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ
وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan
dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf/7 : 205].
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ
الْقَوْلِ
(dan dengan
tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan
yang keras berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].
Al Qurthubi
rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan suara dalam berdzikir
(adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].
Muhammad
Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang
disyari’atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau
mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya
(berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan
mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad
Ahmad Lauh].
Abu Musa Al
Asy’ari berkata.
لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ
فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا
إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ
قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى
كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar,
orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,”Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang
tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar
dan Maha Dekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya,
penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang
hewan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku
mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau bersabda
kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut
panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu
terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan
surga?” Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai
tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR
Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].
3. Membaca
shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini
termasuk bid’ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan
oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang
dinyanyikan dan diringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka
menyebutnya dengan istilah sama’ atau taghbiir.
Berikut ini
di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.
Imam Asy
Syafi’i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir. [2]
(Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq ;
menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Qur’an.” [3]
Imam Ahmad
ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid’ah.” [Riwayat Al Khallal.
Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].
Imam Ath
Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau
ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang
membaca Al Qur’an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya’ir, kemudian
mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling.
Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau
menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah
kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta
(kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri
(pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang
bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan
berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama
orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah
di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan
wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk
menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan
kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi’i, Abu
Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil
dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]
Imam Al
Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits
(wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan
nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan mereka
menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri
kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau
menjawab: Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat
tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka
juga menyelisihi ijma’. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’, (ia) terkena
ancaman firman Allah:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa/4:115] [4]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan telah diketahui secara pasti dari
agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyari’atkan
kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka
berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk tapak-tangan,
atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak
membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti
apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan,
baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang
tertentu.” [5]
Demikianlah
penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara. Alhamdulillah Rabbil
‘alamin, washalatu wassalaamu ‘ala Muhammad wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in.
______
Footnote
[1]. Lihat Mu’jamul Bida’, hlm. 345-346, karya Syaikh
Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah; Fadh-lush Shalah ‘Alan Nabi n , hlm. 20-24,
karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad; Minhaj Al Firqah An Najiyah,
hlm. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam
Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 72-73, karya Ustadz Abdul Hakim
bin Amir bin Abdat
[2]. Sejenis sya’ir berisi anjuran untuk zuhud di dunia
yang dinyanyikan oleh orang-orang Shufi, dan sebagian hadirin memukul-mukulkan
kayu pada bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya
[3]. Riwayat Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis; Al Khallal
dalam Amar Ma’ruf, hlm. 36; dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9/146. Dinukil dari
kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163.
[4]. Fatawa Ibnu Ash Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab
Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 169
[5]. Majmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim
Alat Ath-Tharb, hlm. 165
0 komentar:
Posting Komentar