Kebiasaan Nabi dan
Orang Sholih di Pagi Hari
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang
membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah
kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh).
Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang
mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu.
Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari
tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat
penjelasan hadits ini di Fathul Bari). Al Jauhari mengatakan bahwa yang
dimaksud ‘al ghodwah’ adalah waktu antara shalat fajar hingga terbitnya
matahari. (Lihat Fathul Bari 1/62, Maktabah Syamilah).
JELAS sudah bahwa dalam ajaran Islam, waktu pagi
menempati sesuatu yang sangat penting
dalam perjalanan hidup sepanjang hari. Ibaratnya, pagi adalah jenderal. Berikut
adalah kebiasaan Nabi Muhammad SAW dan orang-orang shalih setiap pagi.
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul
‘Keutamaan Tidak Beranjak Dari Tempat Shalat Setelah Shalat Shubuh Dan
Keutamaan Masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang
tabi’in, Simak bin Harb. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya
kepada Jabir bin Samuroh : “Apakah engkau sering menemani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”. Jabir menjawab : “Iya. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah
shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para
sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu
mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum
saja.” (HR. Muslim no. 670).
Al Qadhi mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa
dilakukan oleh salaf dan para ulama. Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut
untuk berdzikir dan berdo’a hingga terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala
Muslim, 8/29, Maktabah Syamilah).
Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
Dari Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami
mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh.
Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk
masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah
budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan
Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.
Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang menghalangi kalian
padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”
Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian
anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud lantas bekata, “Apakah kalian mengira bahwa
keluargaku telah lalai?”. Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia
mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai
budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat
ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya.
Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali
memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit.”
Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan
: “Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari
ini.” (HR. Muslim no. 822)
Keadaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat
menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
suatu saat shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil
berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling
padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir
seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.”
(Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah). []
Sumber:
azwariskandar
0 komentar:
Posting Komentar