Keistimewaan Shalat
Sunnah Fajar
Hadits 5/354
وَعَنْهَا
قَالَتْ: (لَمْ يَكُنِ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ
مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ).
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah memperhatikan shalat-shalat sunnah melebihi dua rakaat sunnah
Fajar.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1169 dan Muslim, no. 724, 94)
Hadits
6/355
وَلِمُسْلِمٍ: «رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا
وَمَا فِيهَا».
Dalam
riwayat Muslim disebutkan, “Dua rakaat sunnah Fajar lebih baik daripada dari
dunia dan seisinya.” (HR. Muslim, no. 725)
Faedah
hadits
1.
Nawafil
(nafl) berarti ziyadah (tambahan). Yang dimaksudkan shalat nawafil dalam hadits
yang dibahas ini adalah shalat sunnah rawatib yang mengikuti shalat wajib.
Shalat tersebut disebut demikian karena shalat tersebut adalah tambahan dari
shalat yang wajib.
2.
Pengertian
“lebih baik dari dunia dan seisinya” adalah shalat sunnah Fajar lebih baik
daripada harta, keluarga, anak, dan perhiasan dunia lainnya yang seandainya
manusia memiliki semuanya tetap masih kalah dengan keutamaan shalat sunnah
Fajar. Kebahagiaan akhirat tentu lebih utama daripada kebahagiaan dunia karena
akhirat itu kekal, sedangkan dunia itu akan fana.
3.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat semangat menjaga dua rakaat qabliyah
Shubuh karena keutamaannya adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.
4.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan shalat sunnah Fajar ketika
mukim maupun safar.
5.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertidur dari shalat Shubuh. Ketika
terbangun beliau meminta Bilal mengumandangkan azan untuk shalat, lalu beliau
mengerjakan shalat sunnah Fajar dahulu, kemudian beliau mengerjakan shalat
fardhu Shubuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah.
Sedangkan shalat sunnah rawatib lainnya tidak beliau lakukan saat safar.
Kaidah
Mengenai Shalat Sunnah Qabliyah dan Bakdiyah
Kaidah
untuk shalat sunnah rawatib disampaikan oleh Syaikh Muhammad Musthafa
Az-Zuhaily,
إِنَّ وَقْتَ النَّوَافِلِ
الرَّاتِبَةِ يَدْخُلُ بِدُخُوْلِ وَقْتِ الفَرْضِ وَيَبْقَى وَقْتُهَا إِلَى أَنْ
يَذْهَبَ الفَرْضُ فَإِنْ صَلاَهَا بَعْدَ الفَرْضِ فَهِيَ أَدَاءٌ وَنَوَافِلُ
مَا بَعْدَ الفَرْضِ يَدْخُلُ بِالفَرَاغِ مِنَ الفَرْضِ
“Sesungguhnya
waktu shalat sunnah rawatib (qabliyah) bisa dimulai dengan masuknya waktu
shalat fardhu dan waktu shalat rawatib tersebut terus ada sampai waktu fardhu
itu selesai. Seandainya shalat qabliyah dari sunnah rawatib dilakukan setelah
shalat fardhu, maka itu adalah shalat adaa’ (shalat masih pada waktunya).
Shalat sunnah bakdiyah dikerjakan setelah shalat fardhu dilakukan.” (Fiqh
Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah, 1:583)
Referensi:
·
Minhah
Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh
‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.
3:272-273.
·
Fiqh
Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443
H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar
Al-Bayan. 1:581-582.
—
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar