Shalat Sunnah
Rawatib yang Mengikuti Shalat Wajib
Hadits 2/351
عَنِ
ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ،
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ،
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ،
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايةٍ لَهُمَا:
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمعَةِ فِي بَيْتِهِ.
Dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sepuluh rakaat, yaitu: dua rakaat qabliyah Zhuhur, dua rakaat
bakdiyah Zhuhur, dua rakaat bakdiyah Maghrib di rumahnya, dua rakaat bakda
Isyak di rumahnya, dan dua rakaat qabliyah Shubuh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR.
Bukhari, no. 1180 dan Muslim, no. 729]
Dalam
riwayat Bukhari dan Muslim, “Dua rakaat bakda Jumat di rumahnya.” [HR. Bukhari,
no. 937 dan Muslim, no. 729]
Hadits
3/352
وَلِمُسْلِمٍ: كَانَ إذَا
طَلَعَ الْفَجْرُ لاَ يُصَلِّي إلاَّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْن.
Menurut
riwayat Muslim disebutkan, “Apabila telah terbit fajar, beliau tidak shalat
kecuali dua rakaat yang ringan.” [HR. Muslim, no. 723, 88, dari jalur Zaid bin
Muhammad, ia berkata bahwa ia mendengar Nafi’ berkata dari Ibnu ‘Umar, dari
Hafshah].
Hadits
4/353
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ
يَدَعُ أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ. رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
meninggalkan shalat sunnah empat rakaat qabliyah Zhuhur dan dua rakaat qabliyah
Shubuh. (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1182]
Faedah
hadits
1.
Hadits
ini jadi dalil mengenai anjuran melaksanakan shalat rawatib yang disebutkan
dalam hadits di atas: (a) dua rakaat qabliyah Zhuhur, (b) dua rakaat bakdiyah
Zhuhur, (c) dua rakaat bakdiyah Jumat, (d) dua rakaat bakdiyah Maghrib, (e) dua
rakaat bakdiyah Isyak, (f) dua rakaat ringan qabliyah Shubuh.
2.
Menurut
hitungan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, shalat rawatib itu ada sepuluh
rakaat. Dua rakaat rawatib Jumat menggantikan shalat sunnah rawatib Zhuhur, di
mana shalat rawatib Jumat tidak diulangi tiap hari.
3.
Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menghafalkan shalat sunnah rawatib dari yang ia
saksikan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid atau di rumah
saudara Ibnu ‘Umar yaitu Hafshah binti ‘Umar yang menjadi istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau beliau saksikan juga di tempat lainnya.
Yang jelas, Ibnu ‘Umar itu bukan tinggal di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tetapi di rumah bapaknya, yaitu ‘Umar.
4.
Hadits
Ummu Habibah menunjukkan bahwa shalat sunnah rawatib itu ada dua belas rakaat
dalam sehari. Faedahnya akan dibangunkan rumah di surga.
5.
Ibnu
‘Umar mengatakan bahwa shalat rawatib itu ada sepuluh rakaat dalam sehari,
sedangkan hadits Ummu Habibah dan ‘Aisyah menyatakan ada dua belas rakaat.
Kesimpulannya adalah kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
rawatib dalam sehari sebanyak sepuluh rakaat, kadang beliau melakukannya dua
belas rakaat.
6.
Hadits
ini menunjukkan bahwa rawatib Jumat, Maghrib, dan Isyak dilakukan di rumah, itu
lebih utama (afdal). Demikian pula, shalat sunnah qabliyah Shubuh dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya dan sudah masyhur seperti
itu. Shalat sunnah rawatib Zhuhur juga di hadits lainnya menunjukkan kalau Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di rumah.
7.
Shalat
sunnah di rumah itu memiliki keutamaan yang besar yaitu: (a) menyempurnakan
khusyuk, ikhlas, dan jauh dari riya’; (b) kebaikan yang banyak muncul di rumah
yaitu datang rahmat, jauh dari setan, pahala semakin banyak, dan ada pula suri
tauladan dalam hal shalat yang diberikan di rumah; (c) agar rumah tidak menjadi
seperti kuburan; (d) mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang melakukan shalat sunnah di rumah.
8.
Syaikh
Muhammad Az-Zuhaily berkata bahwa shalat sunnah malam afdalnya dilakukan di
rumah daripada di masjid. Hal ini berbeda dengan shalat sunnah di siang hari,
ada ikhtilaf di dalamnya.
9.
Shalat
ini disebut dengan shalat sunnah rawatib yang mengikuti shalat wajib. Hikmahnya
adalah untuk menutupi kekurangan pada shalat wajib (seperti kekurangan dalam
hal khusyuk, kurang dalam tadabbur).
10. Shalat sunnah rawatib yang sepuluh
rakaat (dalam hadits Ibnu ‘Umar) disebut shalat rawatib muakkad.
11. Yang paling utama dari shalat rawatib
adalah shalat sunnah Fajar (qabliyah Shubuh).
12. Mengerjakan shalat sunnah selain
qabliyah Shubuh di waktu Shubuh tidaklah makruh. Demikian pendapat dalam
madzhab Syafii karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang.
13. Disunnahkan mengerjakan shalat sunnah
rawatib Zhuhur qabliyah maupun bakdiyah masing-masing sebanyak empat rakaat
dengan pengerjaan setiap dua rakaat salam.
Manfaat
Lain Shalat Sunnah di Rumah: Bumi Jadi Saksi pada Hari Kiamat
Mengerjakan
shalat sunnah di rumah adalah supaya mendapat banyak saksi pada hari kiamat.
Sebagaimana keutamaan ini disebutkan oleh Prof. Dr. Musthofa Al-Bugha dalam
Al-Fiqh Al-Manhaji (1:159) ketika menjelaskan amalan sunnah sesudah shalat.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca ayat,
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ
أَخْبَارَهَا
“Pada hari
itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4).
Rasul lalu
bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”
Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ
تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ
تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا
“Sesungguhnya
yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan
manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka
bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada
hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi, no.
2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Namun, hadits ini punya penguat dalam
Al-Kabir karya Ath-Thabrani 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan
sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah
An-Nazhirin, 1:439).
Referensi:
·
Minhah
Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh
‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga.
3:268-271.
·
Fiqh
Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443
H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar
Al-Bayan. 1:576-581.
—
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar