SAID BIN ZAID R A BERKAH DOA
SEORANG AYAH YANG MENCARI KEBENARAN TAPI TIDAK KESAMPAIAN
Masih ingatkah anda kisah ketika Umar bin Khattab mencari dan akan membunuh
Nabi Muhammad saw? Namun langkahnya terhenti ketika diberitahu bahwa adiknya
sendiri Fatimah binti Khattab telah masuk Islam. Fatimah binti Khattab inilah
istri dari salah seorang sahabat Nabi saw yang dijamin masuk syurga, yaitu
Sa’id bin Zaid r.a.
Sa’id bin Zaid r.a adalah termasuk salah satu dari 10 sahabat yang dijamin
masuk syurga. Wafat tahun 51 H / 671 M. Keislaman Sa’id bin Zaid r.a adalah
berkah doa ayahnya yaitu Zaid bin Amr bin Nufail yang sepanjang hidupnya
mencari kebenaran tapi tidak kesampaian untuk bertemu Nabi Muhammad saw yang
baru diangkat menjadi Rasul. Ayahnya ini sangat membenci tradisi kaum Quraisy
yang menyembah berhala dan sikap-sikap tidak terpuji lainnya. Zaid bin Amr
sempat mempelajari Nasrani dan Yahudi, namun kedua agama itu tidak membekas di
hatinya. Hingga suatu saat ketika beliau mencari kebenaran ke negeri Syam,
beliau bertemu dengan seorang Rahib dan memberitahu bahwa seorang Nabi yang
beliau cari akan muncul dari tempatnya, yaitu di bumi Arab.
Maka bergegaslah beliau kembali ke Arab, namun di tengah perjalanan beliau
terbunuh karena perampokan, dan sebelum wafat, Zaid bin Amr sempat berdoa agar
anaknya mendapatkan kebenaran yang beliau cari-cari selama ini.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak kisah menarik tentang Sa’id bin Zaid
r.a ini.
Zaid bin Amr bin Nufail berdiri di tengah-tengah orang banyak yang berdesak-desakan
menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum
pria memakai serban sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman
yang lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan
mengenakan perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan
bermacam-macam perhiasan dan ditarik orang-orang untuk disembelih di hadapan
patung-patung yang mereka sembah.
Zaid bersandar ke dinding Ka’bah seraya berkata, “Hai kaum Quraisy, hewan
itu diciptakan Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya
hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan
supaya hewan-hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih
hewan-hewan itu tanpa menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.”
Al-Khattab, ayah Umar bin Khattab, berdiri menghampiri Zaid, lalu
ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab, “Kurang ajar kau! kami sudah sering
mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami biarkan saja. Kini kesabaran
kami sudah habis!” Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti
Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia
terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke Bukit Hira.
Al-Khattab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk
menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu, Zaid terpaksa pulang dengan
sembunyi-sembunyi.
Kemudian, Zaid bin Amr bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Quraisy
lengah bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits,
dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Muhammad saw. Mereka berbicara tentang
kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Kata Zaid, “Demi Allah!
sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak
memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang
lurus. Karena itu, marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang
jika saudara-saudara ingin beruntung.”
Keempat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan
pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim
yang murni. Kemudian Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani, Abdullah bin
Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa.
Sementara, Zaid bin Amr bin Nufail mengalami kisah tersendiri. Kata Zaid,
“Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya saya tinggalkan
karena saya tidak memperoleh sesuatau yang dapat menenteramkan hati saya dalam
kedua agama tersebut. Lalu, saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama
Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang
Rahib yang mengerti ilmu kitab. Maka, saya datangi Rahib tersebut, lalu saya
ceritakan kepadanya tentang pengalaman saya belajar agama.”
Kata Rahib tersebut, “Saya tahu Anda sedang mencari agama Ibrahim, hai
putra Mekah?” Jawabku, “Betul, itulah yang saya inginkan.” Kata Rahib, “Anda
mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi,
pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seorang nabi di
tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu
dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.”
Zaid berhenti berkelana. Dia kembali ke Mekah untuk menunggu nabi yang
dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang. Allah mengutus Muhammad
menjadi nabi dan rasul dengan agama yang hak. Tetapi, Zaid belum sempat bertemu
dengan beliau, dia dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan
terbunuh sebelum ia kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya
yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah, jika Engkau
mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan
pula daripadanya.”
Allah memperkanankan doa Zaid. Serentak Rasulullah saw mengajak orang
banyak masuk Islam, Sa’id segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor
orang-orang beriman dengan Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad saw.
Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu memperkenankan seruan Muhammad.
Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan
dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar
seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan, dia
mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.
Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia masuk Islam bersama-sama
istrinya, Fathimah binti al-Khattab, adik perempuan Umar bin Khattab. Karena
pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, dipaksa kaumnya
supaya kembali kepada agama mereka. Usaha mereka tidak berhasil. Bahkan
sebaliknya, Sa’id dan istrinya sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang
paling berbobot, baik fisik maupun intelektualnya dalam Islam. Mereka berdualah
yang telah menyebabkan ‘Umar bin Khattab masuk Islam.
Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya
yang muda untuk berkhidmat kepada Islam. Ketika masuk Islam umurnya belum lebih
dari dua puluh tahun. Dia turut berperang bersama Rasulullah saw dalam setiap
peperangan, selain peperangan Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu
tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah saw kepadanya. Dia turut
mengambil bagian bersama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan
menggulingkan kekaisaran Rum.
Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin, dia selalu
memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Agaknya yang paling
mengejutkan ialah reputasinya yang tercatat dalam peperangan Yarmuk. Marilah
kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu.
Berkata Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, “Ketika terjadi perang Yarmuk,
pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang, sedangkan tentara Rum berjumlah
120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap
bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangah-tangan tersembunyi. Di muka sekali
berbaris pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi yang membawa
kayu salib sambil mengeraskan suara membaca doa. Doa itu diulang-ulang oleh
tentara yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur.”
Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuhnya seperti itu, kebanyakan
mereka terkejut, lalu timbul rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah bangkit
mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata Abu Ubaidah dalam pidatonya,
antara lain, “Wahai hamba-hamba Allah, menangkan agama Allah, pasti Allah akan
menolong kamu dan memberikan kekuatan kepada kamu!” “Wahai hamba-hamba Allah!
tabahkan hati kalian, karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan
mencapai keridaan Allah dan menolak kehinaan.” “Siapkan lembing dan perisai!
tetaplah tenang dan diam, kecuali mengingat Allah dalam hati kalian
masing-masing. Tunggu perintah saya selanjutnya, insya Allah!”
Kemudian, Sa’id melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim
keluar dari barisan dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Saya ingin syahid
sekarang, adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah saw?”
Jawab Abu Ubaidah, “Ya, ada! Sampaikanlah salam saya dan kaum muslimin
kepada beliau. Katakan kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa
yang dijanjikan Tuhan kami”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, saya lihat dia menghunus pedang dan
terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah, dan
berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu saya melompat
menghadang musuh. Tanpa terasa perasaan takut lenyap dengan sendirinya di hati
saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu tentara Rum. Akhirnya Allah memenangkan
kaum muslimin.
Sesudah itu Sa’id bin Zaid turut berperang menaklukan Damsyiq. Setelah kaum
muslimin memperlihatkan kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id bin
Zaid menjadi wali di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah
kota itu dikuasai.
Dalam masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang
lama di kalangan penduduk Yatsrib terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang
wanita bernama Arwa binti uwais menuduh Sa’id bin Zaid telah merampas tanahnya
dan menggabungkannya dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan
tuduhannya itu ke seantero kaum muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya
kepada Wali Kota Madinah, Marwan bin Hakam. Marwan mengirim beberapa petugas
kepada Sa’id untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat
Rasulullah saw ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.
Kata Sa’id, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan
dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah
mendengar Rasulullah saw saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil tanah orang
lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi
kepadanya. Wahai Allah! dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu
palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya
dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu
adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”
Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti
itu sebelumnya. Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang
mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’idlah yang benar,
sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut
menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang
dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur.
Kata Abdullah bin Umar, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami
mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, Dibutakan mata kamu seperti
Arwa.”
Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena, Rasulullah
saw saw. bersabda, “Takutilah doa orang teraniaya. Karena, antara dia dengan
Allah tidak ada batas.” Maka, apalagi kalau yang teraniaya itu salah seorang
dari sepuluh sahabat Rasulullah saw yang telah dijamin masuk surga, Sa’id bin
Zaid, tentu lebih diperhatikan oleh Allah SWT.
Sumber: Wikipedia , 10sahabatnabi.blogspot.com, dan tambahan dari sumber
lain.
0 komentar:
Posting Komentar