USTMAN BIN AFFAN R.A
Setelah Rasulullah SAW wafat di
Madinah pada tahun 11 H / 632 M, empat di antara para sahabatmya yang dekat,
baik melalui darah maupun melalui perkawinan menggatikannya sebagai pemimpin
umat Islam dan mereka menyandang gelar khalifah.[1]
Abu Bakar adalah ayah istri Muhammad
yang bernama Aisyah, dan juga salah seorang pendukungnya yang paling tua dan
terpercaya. Umar bin Khattab mempunyai seorang putri yang menikah dengan Nabi,
dan Umar pula yang memakai gelar Amirul Mu’minim yang menyiratkanelemen spritualdan
politis murni dalam kepemimpinannya. Utsman yang menjadi topik pembahasan
makalah ini adalah menantu Nabi Muhammad SAW.[2]
Utsman bin Affan berasal dari keturunan Bani Umayyah salah satu suku
Quraisy yang banyak mewarnai sejarag perjalanan bangsa Arab di samping Bani
Hasyim, baik sebelum kedatangan Islam maupun sesudah Rasulullah SAW diutus.
Dalam syariah Islam, Utsman bin Affan dipilih sebagai Khalifah ke tiga menggantikan Umar bin
Khattab melalui sidang musyawarah formatur yang telah di bentuk dan ditetapkan
anggotanya oleh khalifah Umar bin Khattab sebelum wafat. Ditetapkan Utsman bin
Affan sebagai khalifah yang lain yaitu Abu Bakar al-Sidiq, Umar bin Khattab,
maupun Ali bin Abi Thalib.
Dalam masa pemerintahannya, dia berhasil melanjutkan perluasan wilayah yang
telah dirintis sebelumnya oleh Umar bin Khattab, bahkan meluas sampai
kewilayah-wilayah di seberang lautan.
Namun, dalam penataan sistem sosial ekonomi dan pemerintahan secara kuantitatif
dianggap berhasil dan keberhasilannya itu tidak berarti, dikarenakan
pengelolaannya tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
oleh Umar bin Khattab.
Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah kaum keluarga dan kerabatnya,
dia tidak kuat menentang ambisi keluarganya yang kaya raya dan sangat
berpengaruh pada waktu itu. Pada pemerintahannya dia banyak mengangkat
kerabatnya sebagai penguasa di daerah (propinsi), sehingga tindakan-tindakan
ini di pandang sebagai sebuah oleh kaum muslimin yang memberikan reaksi yang
sangat keras dalam bentuk umjuk rasa bahkan pembenrotakan yang pada akhirnya
merengut nyawanya sendiri.
Makalah ini akan mencoba menelusuri dan membedah kebijakan pemerintah
Khalifah Utsman bin Affan dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kaum
muslimin dianngap menyimpang sehingga melahirkan protes bahkan pemberontakan
yang menjadi titik awal noda perjalanan sejarah umat Islam.
Berdasarkan uraian teoritis yang ada, maka pada bagian yang ini penulis
mengemukakan masalah utama yaitu :
BIOGRAFI SINGKATAN KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN
Nama lengkap Utsman bin Affan bin al- Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin
Abdu Manaf bin Qushay al-Amawi Al- Quraisy dilahirkan pada tahun 573 M dari
kelahiran Rasulullah SAW. Ibunya bernama al-Baida binti Abdul al- Muthalib,
bibi Rasulullah SAW, yakni saudari kembar Abdullah ayah Rasulullah SAW.[3]
Berdasarkan silsilah ini, Utsman bin Affan masih memiliki jalinan keluarga
dengan Rasulullah, yakni silsilah keturunan yang bertemu pada Abdul al-Manaf
bin Qushay al- Amawi al-Quraisy. Bahkan jalinan kekerabatan ini diperkuat lagi
dengan tali pernikahan yang menempatkan Dia sebagai menantu Rasulullah. Karena
itu, hubungannya dengan Rasulullah bukan hanya dalam hal keagamaan,tetapi juga
Dia dihadapan Rasulullah adalah seorang keluarga, menantu dan saudara seagama. Utsma
bin Affan masuk Islam melalui Abu Bakar dan termasuk kelompok pertama yang
masuk Islam. Rasulullah sangat mengaguminya karena keserderhanaan, kesalehan,
kedermawaan dan kepandaiannya menjaga kehormatan diri (Iffal), serta dikenal
sebagai dahabat yang terbaik dalam bacaan al-Qur’an menurut kaca mata
Rasulullah SAW, sehingga Rasulullah memberikan dua putrinya untuk dinikahi
secara olehnya berurutan. Setelah istrinya yang pertama dan ke dua meninggal
dunia, Rasulullah berkata, “Seandainya beliau mempunyai putri yang lain, pasti
Dia telah menikahkannya dengan Utsman bin Affan.[4]
BIOGRAFI DAN KISAH KEPEMIMPINAN KHALIFAH USMAN BIN AFFAN
Kesetiaan dan pengorbanan Utsman bin Affan terhadap pengembangan Islam tidak dapat diragukan,
demikian pula kepada Rasulullah cintanya amat mendalam. Dia melaksanakan
tugas-tugasnya dengan baik bagi tujuan Islam. Ia menderita penganiyaan bersama
Nabi di tangan orang-orang Quraisy, dan Dia menyertai emigran ke Abesinia
bersama istrinya, Utsman adalah orang yang sangat kaya, dan dia menyerahkan
kekayaan itu kepada Rasulullah untuk melayani Islam, di antaranya mendanai
pembangunan mesjid, sumur di Madinah dan memberikan bantuan keuangan yang
paling besar dalam peperangan Islam setelah Abu Bakar, sehingga Dia memproleh
kedudukan yang terhormat di antara para sahabat Rasulullah. Selama kedudukan Abu Bakar dan Umar bin
Khattab, Utsman merupakan salah seorang dari penasehat dan pembantu utama di
dalam urusan negara.[5]
Pengorbanan Utsman bin Affan terhadap Islam dan kaum muslimin tidak hanya
dalam bentuk harta, melainkan lebih dari itu, jiwa dan pikirannya dicurahkan
demi pengembangan syiar Islam dan keselamatan kaum muslimin sehingga beliau
beberapa kali ikut perang bersama Rasulullah SAW kecuali perang Badar. Karena
sedang sibuk melayani dan merawat isterinya yang sakit keras sampai ia wafat
dan dimakamkan pada hari kemenangan kaum muslimin dan perang tersebut.[6]
Rasulullah pernah menunjuk Utsman sebagai duta Rasululah pada saat
perundingan antara pemimpin Islam dan pemuka-pemuka Quraisy pada tahun 6 H
ketika kaum mislimin hendak memasuki kota Mekkah untuk melaksanakan umrah dan
tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan dibunuh atau setidaknya telah ditahan oleh
orang-orang kafir Quraisy, sebab Dia tidak kembali sampai pada malam hari, maka
kaum muslimin mengadakan sumpah setia untuk membela Utsman bin Affan yang
terkanal dengan “Bait’at al-Ridwan”.[7]
Jadi jelas bahwa pengorbanan dan perjuangan Utsman bin Affan dengan segala
kemampuan, harta benda dan jiwanya adalah semata-mata dalam rangka pengembangan
risalah Islam dan kemaslahatan kaum Muslimin.
PROSES PENGANGKATAN UTSMAN BIN AFFAN SEBAGAI KHALIFAH
Ketika Umar sedang sakit akibat dari tikaman seorang budak Persia yang
bernama Fairuz yang lebih dikenal dengan nama Abu Lu’lu’ah, sekelompok sahabat datang menjenguknya dan sekaligus
menanyakan dan mendiskusikan penggantinya Dia sebagai khalifah, pertanyaan dari
para sahabat ini tidak mendapatkan jawaban pasti dari.Umar bin Khattab, sesudah
itu, sahabat beranjak meninggalkan Khalifah Umar bin Khattab.
Para sahabat Rasulullah merasa takut andai Umar wafat tanpa meninggalkan
pesan tentang penggantinya. Oleh karena itu, mereka mendatangunya lagi untuk
mendesak Umar bin Khattabmenentukan penggantinya.[8]
Di tempat tidurnya, Umar mengambil keputusan dengan menunjuk badan
musyawarah yang terdiri dari orang-orang yang diridhoi dan dijanjikan oleh
Rasulullah sebagai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka itu adalah
Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Waqah, Adurahman bin Auf, Zubair
bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah bin Umar. Untuk memeilih seorang khalifah
diantara mereka.[9] Namun khusus untuk Abdullah bin Umar tidak dicalonkan
apalagi dipilih berdasarkn wasiat khalifah Umar. Adapun kriteria pemilihan
telah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab yaitu :
Khalifah yang di pilih adalah dari anggota Syura kecuali Abdullah bin Umar
yang tidak punya hak pilih dan bertindak sebagai penasihat. Bilamana suara dari
anggota tim sama hendaknya keputusan diserahkan kepada Abdullah bin Umar sebagai
anggota tim tersebut. Jika keputusan Abdullah bin Umar tidak disetujui oleh
anggota mengikuti keputusan yang diambil oleh Abdurrahman bin Auf. Bila ada
anggoat tim yang tidak mau mengambil bagian dalam pemilihan maka anggota
tersebut harus dipenggal kepalanya. Bila dua calon mendapatkan dukungan yang
sama maka calon yang didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang dianggap menang.
Apabila seorang telah terpilih dan minoritas (satu atau dua) tidak mau
mengikutinya maka kepala mereka harus dipenggal. Jadwal pelaksanaan musyawarah
selama tiga hari ke empat sudah ada pemimpin. [10]
Tatkala Umar wafat, berkumpullah orang-orang yang dipilihnya menjadi
formatur dikepalai oleh Abdurrahman bin Auf di dalam salah satu rumah kepunyaan
mereka. Tiga hari lamanya musyawarah yang amat penting itu, dan sudah tiga hari
rupanya belum juga dapat diputuskan karena sejak awal jalannya pertemuan itu
sangat alot, maka Abdurrahman bin Auf berusaha memperlancar dengan himbauan
agar sebaiknya mereka dengan sukarela mengundurkan diri dan menyerah kepada
orang yang lebih pantas (memenuhi syarat) untuk dipilih sebagai khalifah.
himbauan ini tidak berhasil, tidak ada satupun yang mau mengundurkan diri,
kemudian Abdurrahman bin Auf sendiri menyatakan mengundurkan diri tetapi tidak
ada seorang pun dari empat sahabat Nabi yang mengikutinya.[11]
Dalam kondisi macet itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif melakukan
musyawarah dengan sahabat dan tokoh-tokoh masyarakat selain yang termasuk dalam
anggota badan musyawarah, dan suara terbelah menjadi dua kubu yaitu pendukung
Ali dan pendukung Utsman. Pada pertemuan berikutnya, Abdurrahman bin Auf
menempuh cara dengan menanyakan masing-masing angggota formatur dan di dapatlah
skor suara tiga banding satu, dimana Zubair, dan Ali mendukung Utsman, sedangkan
Utsman mendukung Ali.[12]
Meskipun suara terbanyak dari anggota formatur jatuh pada Utsman, namun
Abdurrahman tidak serta merta membai’at Utsman. Tetapi pada subuh hari sesudah
semalaman ia berkaliling memantau pendapat masyarakat, ia berdiri setelah kaum
Muslimin memenuhi mesjid dan menyampaikan pengantar tentang pelaksanaan
pemilihan khalifah. Di sini terlihat kembali persaingan dua kubu yaitu kubu Ali
dan kubu Utsman.[13]
Pada saat itu Abdurrahman menunjukkan keahliannya menghadapi masalah yang sulit
ini. Dia memanggil Ali dan Utsman secara terpisah untuk dimintai kesanggupannya
bertindak berdasarkan al- Qur’an dan sunnah Rasul-Nya serta berdasarkan
langkah-langkah yang diambil oleh dua khalifah sebelumnya. Ali bin Abi Thalib
bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan kekuatan yang ada pada dirinya,
sedangkan Utsman bin Affan menyanggupinya, sehingga Abdurrahman mengucapkan
bai’atnya dan diikuti oleh orang banyak menyatakan bai’at, termasuk juga Ali
pada akhirnya juga menyatakan bai;atnya kepada Utsman bin Affan.[14]
Orang keenam tim formatur, Thalhah bin Ubaidillah tiba di Madinah setelah
pemilihan itu berakhir. Dia juga menyatakan sumpah setia kepada Utsman bin
Affan.[15]
Mencermati proses pemilihan tersebut, nampak dengan jelas upaya pemilihan khalifah
dilakukan secara musyawarah dengan memperhatikan suara dari berbagai pihak, dan
hal ini pula yang membedakan antar proses pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq,
Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Karena itu Utsman bin Affan
ditetapkan menjadi khalifah, pada hari Senin, akhir bulan Dzulhijjah tahun 23
H. dan resmi menjadi khalifah yang ketiga dari Khulafa al-rasyidin pada tanggal
1 Muharram tahun 24 H.[16]
PRESTASI YANG DICAPAI KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN
Pada saat amirul Mu’minim Umar bin Khattab wafat dan digantikan oleh
Khalifah Utsman bin Affan. Banyak daerah melakukan pembangkangan, untuk meredam
pembangkangan, Khalifah Utsman bin Affan membentuk pasukan dalam rangka
mengamankan wilayah dan sekaligus memperluas wilayah kekuasaan Islam sebagai
penyempurnaan penaklukan di masa pemerintahan Umar bin Khattab, baik itu
melalui jalur darat maupun jalur laut.[17]
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
umat Islam mempunyai angkatan laut. Wilayah-wilayah yang dikuasai pada
masa pemerintahannya adalah Barqah, Tripoli Barat, bagian Selatan negeri Nubah,
Armenia, dan beberapa wilayah di Thabaristan, kemudian negeri-negeri Balkh
Harah, Ghaznah di Turkistan, Kabul, wilayah-wilayah sungai Hindustan dan
Jurjan.[18]
Salah satu peristiwa pertempuran besar di laut pada masa pemerintahan
Utsman adalah peperangan Dzatis Safari (Pertempuran tiang kapal). Peristiwa ini
terjadi pada tahun 34 H di laut Tengah di kota Iskandariah antara tentara
Romawi yang berada di bawah pimpinan Kaisar Constantine dan tentara Islam di bawah
pimpinan Abdullah Ibnu Abi Sarah (Gubernur Mesir), yang melibatkan 1.000 kapal
perang, dan 200 di antaranya kepunyaan kaum Muslimin yang berhasil memenangkan
pertempuran ini.[19] Demikian bangsa Arab menancapkan keunggulan mereka dilaut.
NEPOTISME DAN PEMBERONTAKAN MASA KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN R.A
Pada masa awal pemerintahan Utsman bin Affan menuai berbagai keberhasilan
dan kejayaan, yang ditandai dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam,
pengukuhan angkatan laut pertama tentara Islam, penyeragaman penulisan
al-Qur’an, namun pada masa-masa akhir pemeritahannya timbul kritikan dan protes
rakyat, terutama di daerah Kuffah, Basrah dan Mesir. Mereka menilai bahwa
Utsman bin Affan telah melakukan “Nepotisme” dan “favoritisme”.
Mereka berkata bahwa Dia menguntungkan sanak familinya Bani Umayyah, dengan
jabatan-jabatan tertinggi dan harta kekayaan. Mereka menuduh gubernur-gubernur
Umayyah tidak efisien, suka menindas dan menyalahgunakan Harta Baitul Mal.[20]
Khalifah Utsman juga mengangkat Marwan bin Hakam sebagai sekretaris
utamanya, mengangkat Walid bin Aqba sebagai gubernur Kuffah, Mu’awiyah sebagai
gubernur Syiria, Abdullan bin Abu Sarah (saudara sepupunya) sebagai gubernur
Mesir dan masih banyak lagi yang lain diturunkan dari jabatannya.[21]
Khalifah Utsman juga dituduh terlalu boros mengeluarkan belanja dari Baitil
Mal dan kebanyakan diberikan kepada sanak familinya, sehinga hampir semuanya
menjadi orang yang kaya raya.[22]
Padahal Khalifah Utsman sebelum dan sesudah
masuk Islam merupakan salah seorang yang terkaya, dan bahkan Dia sama sekali
tidak mengambil uang yang menjadi haknya dari Baitul Mal.[23]
Sebenarnya kebijakan-kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan lebih banyak
dikendalikan oleh Marwah bin Hakam, sehingga Utsman dituduh menganut politik
nepotisme dan pilih kasih, sehingga hal ini dibesar-besarkan oleh tukang fitnah
yang rakus akan kekuasaan dan kedudukan serta keinginan untuk memecah belah
kesatuan umat Muslimin, Abdullah bin Saba yang berkeliling di berbagai kota
untuk menaburkan keraguan aqidah, mengecam Khalifah Utsman dan gubenurnya,
serta mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan menggatikannya dengan
Ali bin Abi Thalib sebagai usaha menaburkan bibit fitnah dan perpecahan.[24]
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman menjalar dan seketika segala
kritik terhambur kepada Utsman dengan kedatang orang-orang dari Mesir dibantu
oleh orang-orang dari Kuffah dan Basrah dengan tujuan yang sama memaksa
khalifah untuk melepaskan jabatannya. Mereka masing-masing mendatangi Ali,
Thalhah dan Zubair dan ketiganya menolak menurungkan khalifah, dan sepikiran
hendak memprbaiki perbuatan-perbuatan Utsman yang dianggap keliru, dan Ali bin
Abi Thalib sebagai moderator khalifah menyampaikan kepada mereka bahwa
tuntutannya yaitu mencopot para gubernur dan Marwan bin Hakam dari jabatannya
diterima oleh Khalifah, dan mereka diminta untuk kembali kedaerahnya
masing-masing.[25]
Tidak lama kemudian mereka kembali dari perjalanannya setelah ditengah
perjalanan mereka mencegat seseorang pembatu khusus Khalifah yang membawa surat
berstempel khalifah yang berisi perintah terhadap gubernur Mesir agar pembunuh
mereka sesampainya mereka di Mesir.[26]
Mereka kembali dengan tekad membunuh
Khalifah Utsman karena menurut prsangka mereka, Khalifah Utsman
telahmempermainkan mereka. Setibanya di Madinah, mereka menuntut pertanggung
jawabannya atas surat tersebut di atas.[27]
Para pemberontakan melakukan pengepungan atas rumah Khalifah Utsman bin
Affan dan menuntut satu di antara dua hal :
Marwan bin Hakam dihukum qisas
Khalifah Utsman melepaskan jabatannya sebagai khalifah.
Kedua tuntutan di atas ditolak oleh Khalifah Utsman dengan alasan :
Marwah bin Hakam baru berencana membunuh, dan belum benar-benar membunuh.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada mereka, ”Bahwasanya engkau Utsman
akan mengenakan baju kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan baju itu,
janganlah engkau lepaskan”.[28]
Sikap Utsman di dalam peristiwa-peristiwa yang dihadapi termasuk
pengepungan pemberontak tidak bergeming sedikitpun untuk menyerahkan otoritas kepemimpinan,
namun juga tidak berinisiatif untuk melakukan tindakan refressif sebab itu
bukan watak beliau. Bisa saja belia umempertahankan dan menyelamatkan dirinya
sendiri, namun beliau menginginkan persatuan umat tetap terjaga tanpa
pertumpahan darah antara sesama kaum muslimin meski nyawa beliau sendiri
menjadi taruhannya.[29]
Sikap seperti di atas, dia meminta para sahabat yang bersamanya agar tidak
memerangi kaum pemberontak.[30]
Sehingga kepungan dan desakan semakin hebat,
apalagi setelah mendengar berita bahwa ribuan pasukan bantuan akan segera tiba
di Madinah untuk melepaskan Utsman dari pengepungan. Hal ini membuat keadaan
semakin tak terkendali dan pasukan pemberontak kian menguasai keadaan akhirnya
tragedi berdarah yang sangat memilukan dalam sejarah Islam pun tidak dapat
dielakan. Dia dibunuh oleh Muhammad bin Abu Bakar selaku kepala pemberontak dan
al-Ghifari ketika sedang membaca al-Qur’an pada waktu subuh tepatnya terjadi
pada tanggal 17 Juni 651 M / 35 H dalam usia 84 tahun.[31]
Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan bukanlah tujuan utama dari
rentetan-rentetan pengepungan para pemberontak. Oleh sebab pembunuhan itu
merupakan tujuan utamanya, tentu fitnah akan berhenti dan stabilitas negara
akan pulih kembali dengan terbunuhnya Utsman dan setelah pengganti Utsman ke
tahta khalifah. Para penyebar fitnah itu sebetulnya mempunyai tujuan yang lebih
berbahaya ketimbang hal-hal di atas, yaitu meruntuhkan pondasi Islam agar umat
Islam berpaling dari ajaran-ajarannya serta menebarkan perselisihan dan perpecahan
tengah-tengah umat Islam.[32]
Demikian khalifah Utsman bin Affan yang dikenal jujur, pemalu, sederhana,
dermawan, lemah lembut, usianya yang sudah lanjut, dan perhatiannya terhadap
rakyat dimanfaatkan oleh musuh maupun kerabatnya demi kepentingan pribadi
maupun golongan.
KESIMPULAN
Proses pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah berbeda dengan
pengangkatan Abu Bakar, Umar bin Khattab maupun Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatannya secara demokratis didasari oleh asas musyawarah.
Pada awal masyarakat pemerintahannya, Utsman bin Affan menuai masa
keberhasilan dan kejayaan, namun diakhir masa pemerintahannya timbul kritikan
dan pemberontakan akibat dari tiduhan orang munafik yang memprofokasi rakyat
kepada beliau melakukan nepotisme dan favoritisme yang berakhir dengan kematian
beliau.
SARAN
Sejarah memang peristiwa masa lalu, tetapi ia adalah cermin dalam konteks
kekinian. Oleh karena itu kajian dan telaah sejarah harus di pahami dalam
konteksnya agar tidak terjebak pada asumsi yang menyimpang dari konteks sejarah
itu sendiri.
DAFTAR MARAJI
Al-Usairy,
Ahmad, At-Tharikh al-Islamy,
diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Sejarah Islam Sejak Nabi
Adam Hingga Abad XX. Cet. I; Jakarta; Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Bosworth, C.E., Dinasty-Dinasty Islam, Cet. I,
Bandung, Mizan, 1993
Ghazali, Adeng Muchtar, Drs., M.Ag, Perjalanan
Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah. Cet. I, Bandung Pustaka Setia, 1994
Mahzmum, Muhammad, Dr. , Tahqiq Mawaqif
ash-Shabah fi al-Fitnah, diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul, Studi
Kritis Peristiwa Ttakhim, Cet. I, Bandung Pustaka Setia, 1994
Hasan, Ibrahim Hasan, Dr., Tarikh al-Islam
as-Siyasi wa ats Tsaqafi wa al-Utima, diterjemahkan oleh A. Baharuddin dengan
judul, Sejarah dan Kebudayaan Islam , Cet. I, Jakarta, Kalam Mulia,2001
Ibrahim, Mahyudin, Nasehat 125 Ulama Besar, Cet.
IV, Bandung, Darul Ulum Press, 1993
Hamka, Prof. , Dr. , Sejarah Umat Islam, Cet. I,
Singapura, Pustaka Nasional, PTE LTD, 1994
Mahmuddannaris, Syed, It’s Consept & History,
diterjemahkan oleh Adang Afandi dengan judul, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,
Cet. IV, Bandung, Remaja Rosda, 1994
Catatan Kaki
[1] Khalifah secara harfiah artinya yang
mengikuti atau pengganti, lihat C.E. Bosworth, The Islamic Dynastieas,
diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Dinasti-Dinasti Islam,( Cet. I,
Bandung; Mizan 1993,) h.23.
[2] Ibid., h. 23-2
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam As Siyasiwa wa ats wa al utima,
diterjemahkan oleh A. Baharuddin, dengan judul Sejarah Kebudayaan Islam (Cet.
I, Jakarta, Kalam Mulia, 2001), h. 480.
[4] Utsman bin Aggan di helar dengan Dzun Nur Ain
yang berarti orang yang dapat anugrah memperistri dua putri Rasulullah. Lihat
Syed Mahmudunnasir, it’s concepts & History, diterjemahkan oleh Adang
Afandi dengan judl Islam dan Konsepsi Sejarahnya (Cet. IV bandung, Remaja Rosda
Karya, 1994), h. 185
[5] Mahmudunnasir, Lot. Cit, h. 185
[6] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h. 481
[7] Ahmad al-Usairy, al-Tharikh al-Islamy,
diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi
Adam Hingga Abad XX. (Cet. I Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 165
[8] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit, h. 484
[9] Syed Mahmudunnasir, op. cit, h. 186
[10] Hasan Ibrahim Hasan, op. cit, h. 485
[11] Hamka, Syarah Umat Islam, (Cet. I,
Singapura, Pustaka Nasional PT LTD, 1994), h. 226-227
[12] Lihat Hasan Ibrahim Hasan, op. cit, h. 487
[13] Ibid., h. 488
[14] Lihat Hamka, op. cit, h. 229
[15] Syed Mahmudunnasir, lot. Cit, h. 186
[16] Hamka, lot. Cit, h. 229
[17] Ahmad al-Usaity, op.cit, h. 167
[18] Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik
Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. I, Bandung, Pustaka Setia, 2004), h. 21
[19] Ibid, h. 22
[20] Nepotism adalah sistem famili dan
favoritisme adalah pilih kasih. Lihat, Syed Mahmudunnasir, op.cit, h. 188
[21] Ibid, h. 190
[22] Hamka, op.cit, h. 223
[23] Syed Mahmudunnasir, op.cit, h. 189
[24] Ahmad al-Usairy, op.cit, h. 169
[25] Hamka, op. cit, h. 234
[26] Syed Mahmudunnasir, op. cit, h. 192
[27] Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar (Cet.
IV, Bandung, Darul Ulum Press, 1993), h. 35.
[28] Ibid, h. 36
[29] Muhammad Mahzum, Tahqiq Mawaqif ash-Shabah
fi al-Fitnah, diterjemahkan oleh Rosihan Anwar, dengan judul Studi Kritis
Peristiwa Tahkim (Cet. I, Bandung, Pustaka Setia, 1994) h. 143
[30] Ahmad al-Usairy, op.cit, h. 170.
[31] Syed Mahmudunnasir Mahzum, lot.cit, h. 192
[32] Muhammad Mahzum, lot.cit, h. 143
Demikianlah Biografi singkat dan Kisah
Kepemimpinan Khalifah yang layak untuk dijadikan contoh. Muda-mudahan
bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar