ALI BIN ABI THALIB R.A
Ali bin Abi Thalib lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 Masehi – wafat
21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama
(Assaabiquunal Awwaluun) dan juga keluarga dari Nabi Muhammad saw. Ali adalah
sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad saw, setelah menikah dengan Fatimah
az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah seorang khalifah pada tahun 656 M
sampai 661 M. Beliau adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin.
Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat nabi
yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah saw sangat dekat
sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari nabi S.A.W. Ahlussunnah juga
mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur rasyidin (khalifah
yang mendapat petunjuk) setelah Khalifah Utsman bin Affan.
Kaum Sunni menambahkan nama Ali dibelakang dengan Radhiyallahu Anhu (RA)
atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga
diberikan kepada sahabat nabi yang lain. Sedangkan kaum Sufi menambahkan nama
Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah
me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa
dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang
kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka
memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan
riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila
pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan
meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu
al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau
bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir
seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan
nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan
pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari
Ali bin Abi Thalib melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam
kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak
kitab-kitab lainnya.
RIWAYAT HIDUP
Ali bin Abi Thalib r.a dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab,
pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum
dimulainya kenabian Nabi Muhammad saw, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 Masehi
(perkiraan). Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini,
sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang
30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Ayah Haydar, yaitu Abu Thalib
adalah salah seorang paman dari Nabi Muhammad saw. Haydar yang berarti Singa
adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi
tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi Muhammad
saw memanggil dengan nama ‘Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
KEHIDUPAN AWAL
Ali bin Abi Thalib dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di
mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan
keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi s.a.w karena
Beliau s.a.w tidak punya anak laki-laki.
Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi S.A.W
bersama istri beliau saw, Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra
angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah
mengasuh Nabi saw sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali
sudah bersama dengan Muhammad saw.
MASA REMAJA
Ketika Nabi Muhammad S.A.W menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti
Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu
tersebut atau orang kedua yang percaya setelah Khadijah istri Nabi s.a.w
sendiri. Pada titik ini Ali bin Abi Thalib berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi
S.A.W karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini
berkelanjutan hingga beliaa menjadi menantu nabi. Hal inilah yang menjadi bukti
bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani
(spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah
‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi
khusus kepada beliau tapi tidak kepada sahabat-sahabat yang lain.
nasehat Ali
Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur
ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan
diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada
orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi s.a.w kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam
baik aspek zahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf
menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
KEHIDUPAN DI MEKKAH SAMPAI HIJRAH KE MADINAH
Ali bin Abi Thalib bersedia tidur di kamar Nabi Muhammad saw untuk
mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Dia tidur
menampakkan kesan nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka
mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi
yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
KEHIDUPAN DI MADINAH
PERKAWINAN
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah
az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali bin Abi Thalib tidak menikah dengan wanita
lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu
Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas’ud, Asma binti
Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja’far, Ummu Said
binti Urwah, dan Mahabba binti Imru’ul Qais.
JULUKAN
Ketika Nabi Muhammad saw mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur.
Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu
Nabi Muhammad saw pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata,
“Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah dalam
bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali
PERTEMPURAN YANG DIIKUTI PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
PERANG BADAR
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam
sejarah Islam. Di sini Ali bin Abi Thalib betul-betul menjadi pahlawan di
samping Hamzah, paman Nabi saw. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan
Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan
dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
PERANG KHANDAQ
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib
ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama
dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
PERANG KHAIBAR
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum
Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut
sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang
sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak
mampu membuka benteng Khaibar, nabi S.A.W bersabda:
“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan
melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan
kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah
dan Rasul-Nya”.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan
tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta
mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit
musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga
terbelah menjadi dua bagian.
PEPERANGAN LAINNYA
Hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk, karena mewakili
Nabi Muhammad saw untuk menjaga kota Madinah.
SETELAH NABI SAW WAFAT
SEBAGAI KHALIFAH
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun, masa
pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah
sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat
Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan
pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin
Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, Istri Rasulullah. Perang
tersebut dimenangkan oleh pihak Ali bin Abi Thalib r.a.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai
kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur
meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad S.A.W ketika
dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada
sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim
sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik
berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang
melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer
dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena
kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di
usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang
berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di
masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya
pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di
Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat
lain.
Menurut beberapa Ulama, peperangan yang terjadi antara kaum muslimin di
zaman ini yang melibatkan banyak sahabat Nabi saw, kedua belah pihak, yang
membunuh dan yang terbunuh semuanya masuk syurga dan tidak ada yang masuk
neraka, karena faktor ‘bersahabat’ dengan Nabi saw. Pertempuran yang terjadi
adalah karena hasutan kaum munafiqiin, di saat itu pintu fitnah sudah terbuka
lebar dan sulit sekali dibendung sehingga pertempuran sudah tidak bisa lagi
dicegah. Generasi sahabat Nabi saw adalah generasi terbaik sepanjang zaman
sehingga setiap sahabat Nabi saw adalah orang-orang terbaik setelah Nabi dan
Rasul.
Hal ini didasarkan pada banyak sekali hadits yang menceritakan tentang
keutamaan sahabat Nabi saw di antaranya adalah:
“Sahabat-sahabat ku ibarat bintang di langit, siapapun di antara kalian
ikuti, dia akan mendapatkan petunjuk” (Shahih Muslim, Bab Fadhailus Shahabah;
Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, halaman 398)
“Jangan kalian caci sahabatku, jangan kalian caci maki sahabat-sahabatku.
Demi Zat yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas
sebesar gunung uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau
setengahnya, dari apa yang telah disumbangkan sahabat-sahabatku.” ( HR. Imam
Muslim).
KETURUNAN
Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra. Berikut
keturunan Ali yang diketahui namanya, dari para istrinya:
Fatimah
Hasan
Husain
Muhsin, meninggal ketika masih kecil
Zainab
Ummu Kultsum
Ummu Banin binti Haram
Ja’far
Abbas
Abdullah
Utsman
Laila binti Mas’ud
Ubaidullah
Abubakar
Asma binti Umais
Yahya
Muhammad Ashgar
Sahba binti Rabia
Umar
Rukiyah
Umamah binti Abil Ash
Muhammad Awsad
Haulah binti Ja’far
Muhammad bin al-Hanafiyah
Ummu Said binti Urwah
Ummul Hasan
Ramlah Kubra
Mahabba binti Imru’ul Qais
Banyak keturunan Ali bin Abi Thalib r.a yang tewas terbunuh dalam
Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para
keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak
Haulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Sahba).
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang
merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan
Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati
oleh Sunni dan Syi’ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya
dikenal sebutan dengan Alawiyin atau Alawiyah.
Sumber: Wikipedia dengan beberapa editan penyesuaian.
0 komentar:
Posting Komentar